Mbak Nayla terpingkal-pingkal mendengar akhir cerita dari Neng Anisa yang digantung dengan pertanyaan itu. Sudut matanya bahkan sampai mengeluarkan cairan bening.
"Ya Allah, Neng. Abdhina tidak menyangka bahwa model-model perempuan seperti itu bisa berbuat kepada kalangan kiai juga. Ternyata beneran ada toh."
Neng Anisa hanya bisa menanggapi dengan senyum.
Tadi, karena Mbak Nayla seperti kurang percaya pada keterangan Neng Anisa---mengingat yang jadi objek pembahasan adalah kalangan yang paham agama, gampangnya---akhirnya, cerita itu diangkat kembali. Lagi pula, namanya juga manusia yang tidak pernah memiliki kesempurnaan. Terlepas dari status dan gelar yang disandang, tidak bisa dimungkiri bahwa ada sebagian dari mereka yang "nakal" kepada orang lain, siapa pun dan kalangan mana pun.
"Terus Ra Alif jawabnya apa, Neng?"
Dan ya, di luar ruangan khusyuk mengikuti acara perayaan Isra' Mikraj, di dalam ruangan khusyuk mengikuti forum dadakan untuk curhat.
"Kalau sampeyan yang dikacangin, akan ada hal tak terduga yang pasti bikin Mas seperti ditempeli alat kejut jantung." Neng Anisa meniru kalimat sang suami. Dan itu sukses memantik rasa penasaran Mbak Nayla.
"Memangnya Neng ngapain kalau lagi seperti itu?"
Neng Anisa tersenyum, tetapi tampak seperti seringai. Otaknya kembali mengingat momen ketika dirinya memberi "pelajaran" kepada pembina OSIM MA Al-Mujāhidun itu.
Beberapa saat setelah mendapat nasihat dari suaminya soal cara menegur orang lain, ponsel Ra Alif berdering. Karena sedang menyetir, alhasil si lora meminta istrinya untuk mengangkat telepon tersebut. Yang membuat kerutan di kening Ra Alif muncul ialah, ketika melihat seberkas senyum kecil di wajah sang istri yang diikuti oleh gelengan kecil.
"Sudah kuduga sebelumnya." Ra Alif makin kebingungan. "Dan dia memang seberani itu ternyata."
"Habibati, siapa yang nelpon?" sela Ra Alif karena istirnya malah mendiamkan panggilan yang masih berdering.
Neng Anisa menoleh ke arah sang suami. "Mas, kayaknya yang dibutuhkan dia adalah Mas Alif. Aku bantu pegangin ponsel selama Mas ngomong sama dia. Tapi, nanti setelah Mas ngomong, izinkan aku memberi sedikit "oleh-oleh" buat dia, ya?"
Perasaan Ra Alif langsung tidak nyaman. Baru saja bilang bahwa suka ada kejutan dari istrinya kalau dia dikacangi, sudah datang saja momennya.
Ra Alif menatap sang istri dengan raut keberatan.
"Cuma mau kasih pesan sedikit aja, kok, Mas. Enggak usah tegang gitu." Neng Anisa mengerucutkan bibir. "Kalau ekspresi Mas kayak gitu, aku malah negative thinking duluan, lo."
Ra Alif mendesah berat. Tangan kirinya bergerak menyeka bulir keringat di pelipis.
"Bukan orang lain yang Mas pikirkan. Sampeyan, Neng. Mas enggak mau habibati dimusuhi banyak orang."
"Mending mana, bertindak lalu dimusuhi banyak orang, atau membiarkan begitu saja terus nanti terjadi apa-apa di antara kita?"
Neng Anisa meletakkan ponsel Ra Alif yang masih menunjukkan panggilan dari nomor baru tersebut di dashboard. Dia tolehkan kepalanya kepada sang suami yang masih berjuang keluar dari kemacetan.
"Lagian, ya, Mas. Yang namanya pembenci atau musuh itu sudah hukum alam. Mau sebaik apa pun kita, pasti punya haters. Nabi Muhammad saja, makhluk paling mulia, banyak dimusuhi orang. Tinggal bagaimana kita menyikapi orang-orang itu."
Ra Alif diam.
"Aku begini hanya berusaha mencegah munculnya masalah dalam hubungan kita, Mas. Apa aku salah?" Helaan napas kasar menjadi penjeda kalimat Neng Anisa. "Aku yakin nomor itu punyanya dia, Mas. Makanya aku langsung sensitif. Teguran Mas kurang mempan kali, atau dia memang perempuan yang sangat pemberani sehingga tak gentar buat nelpon suami orang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Validasi (Mahabbah sang Lora Vokalis) Terbit di AE Publishing √
Romantik"Sampeyan yang mengkhitbah saya duluan, Neng. Bahkan dengan cara yang cukup ekstrem. Kalau saya tidak menaruh simpati sama sampeyan dan seluruh keluarga besar, tidak akan ada kata "kita" hari ini. Lalu, sekarang sampeyan meragukan saya dengan alasan...