Suasana Kota Surabaya siang menjelang sore ini cukup panas. Belum lagi, keadaan jalanan yang macet, beuh ... makin membuat para pengendara tak sabaran. Angin yang berembus pun tak begitu terasa menyejukkan karena sudah berbaur dengan polusi. Nyala AC bagi pengendara mobil-mobil yang memiliki fasilitas pendingin tersebut, juga tak mampu menghilangkan gerah. Terpaksa, jendela-jendela kendaraan itu dibuka meski ada yang hanya sedikit. Maklum, polusi juga tidak begitu baik untuk kesehatan.
Salah dua pengendara yang terjebak dalam lautan manusia dengan berbagai kendaraannya itu, ialah Ra Alif dan Neng Anisa.
Sudah lebih 45 menit keduanya mendekam dalam Toyota Innova silvernya, tetapi belum juga keluar dari jalan nasional Surabaya. Padahal, perjalanan dari MA Al Mujāhidun menuju jalan nasional ini hanya butuh waktu 15 menit. Alhasil, mereka pun harus rela jika waktu perjalanan dari Surabaya--Sumenep itu molor. Yang biasanya bisa tiba di rumah dengan jarak tempuh sekitar 2½ sampai tiga jam, harus lebih dari itu.
Si pengemudi pun tak urung merasa kesal. Apalagi lelaki bercambang tipis itu memang tipe orang tidak tahan gerah, hingga karena itulah istrinya memberi julukan "temannya angin"; sebab dia suka sekali menempel dengan alat-alat pendingin atau penyejuk ruangan. Hanya saja, lelaki itu enggan mengeluh karena melihat sang istri diam saja. Jika dirinya merasa kesal, bagaimana mungkin istrinya tidak kesal? Toh, mereka berada di mobil yang sama.
Namun, mungkin karena kondisi hati yang sedang tidak baik-baik saja, lelah secara fisik akibat macet, tak lagi dia pedulikan.
Pikiran Ra Alif pun dengan cepat menebak: jika sudah cosplay jadi patung begitu, suka ada yang "salah" dengan istrinya. Jadi, daripada menimbulkan masalah baru---misalnya Neng Anisa malah makin marah dan berujung bertengkar di dalam mobil---dia memilih menahan kekesalannya sendiri.
Ra Alif mengembuskan napas berat. Tangan kirinya yang tidak memegang setir diangkat untuk menggerakkan kerah kemeja demi mengurangi gerah yang mendera. Kopiah hitamnya pun sudah tak lagi bertengger di kepala sehingga rambut ikalnya yang hitam legam terekspos sempurna. Keringat di pelipis hingga lehernya tampak membentuk bulir-bulir kecil. Habis diseka sekali, muncul lagi keringat yang lain. Ya, memang sebegitu tak tahannya suami Neng Anisa itu terhadap gerah.
"Kalau begini terus ketika kita ke luar, Mas kayaknya mesti beli kipas nonelektrik, Neng," ucap Ra Alif setelah bosan dengan keadaan hening di dalam mobilnya. "Gerah banget ini. Andai saja Mas keturunan garam, sudah pasti mencair saking derasnya keringat."
Ra Alif menghela napas ketika mendapati sang istri tetap saja bergeming. Tentu saja sisi lelakinya merasa tak terima diabaikan seperti itu. Kekesalannya kian memuncak. Namun ... akhirnya, agar tidak berlarut-larut dalam kekesalan, suami Neng Anisa itu pun mulai bersenandung kecil dengan membawakan selawat Bahibbak wa Baridak. Suaranya yang jernih menjadi salah satu warna berbeda di antara bisingnya bunyi klakson yang bersahut-sahutan. Sesekali dia memajukan mobil ketika ada space untuk maju. Lalu ketika mobil mandek lagi, tangannya kembali mengipas-ngipas tubuh.
Sementara itu, Neng Anisa memang tampak tak terusik sama sekali oleh "masalah" ini. Dia masih betah berada dalam keheningan. Padahal, dalam keadaan seperti ini, biasanya dia sigap menjadi kipas pembantu dadakan bagi sang suami. Namun, bagaimana? Ketika ada hal yang lebih menyita pikiran, dia malas mempermasalahkan persoalan macet yang sudah biasa di kota ini dan segala konsekuensinya.
Dari tadi, sejak keluar dari MA Al-Mujāhidun, putri bungsu Kiai Rifki itu kepikiran pada salah satu pengurus OSIM di MA tersebut. Yang lebih tepat, otaknya menolak lupa tentang kejadian menjengkelkan yang dilakukan pembina OSIM-nya. Padahal seharusnya dia tak mengingat-ingat peristiwa itu terus demi kesehatan mental dan pahalanya. Dia tahu konsekuensinya jika terus menerus kesal kepada orang lain sampai "misuh-misuh". Namun, iblis sepertinya tak pantang menyerah untuk menghasut pikiran perempuan itu agar terus berada dalam kemaksiatan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Validasi (Mahabbah sang Lora Vokalis) Terbit di AE Publishing √
Romance"Sampeyan yang mengkhitbah saya duluan, Neng. Bahkan dengan cara yang cukup ekstrem. Kalau saya tidak menaruh simpati sama sampeyan dan seluruh keluarga besar, tidak akan ada kata "kita" hari ini. Lalu, sekarang sampeyan meragukan saya dengan alasan...