Di Rumah Sakit

4 0 0
                                    

"Baiklah, aku setuju. Bawalah ibuku ke rumah sakit," kata Vara.

Zavina lantas tersenyum, ia kemudian mengangguk. Segeralah dipanggil Andrea yang sedang menunggu di ambang pintu. Sepertinya memang Andrea sudah menunggu Zavina memanggil namanya, Andrea pun lantas mendekat.

"Bawalah tante Fanara ke rumah sakit, Ndre. Sepertinya sakitnya parah," ujar Zavina.

"Kita bawa sekarang ini juga?" tanya Andrea.

Zavina mengangguk untuk menjawab pertanyaan Andrea. Melihat anggukan Zavina, Andrea lantas mengerti. Dia segera membawa ibu Vara dan lekas digendongnya. Dimasukkannya ibu Vara ke dalam mobil.

Setelah menaruh ibu Vara di jok belakang mobil, Andrea menyusul Zavina. Sesudah mereka bertemu, Andrea segera menggenggam tangan Zavina.

"Ayo berangkat sekarang. Ibu Vara sudah ada di dalam," ucap Andrea.

"Aku ikut," ujar Vara.

Zavina lekas mengangguk. Mereka bertiga kemudian segera melangkah menuju mobil. Segera dibukanya pintu mobil dan masuk ke dalam. Andrea langsung menginjak pegas dan melajukan mobilnya ke jalan raya.

Kecepatan lajunya dia tambah agar cepat sampai di rumah sakit. Setelah 35 menit kemudian, mobil Andrea sampai di depan rumah sakit. Turunlah mereka, Andrea menggendong ibu Vara dan lekas dibawanya ke dalam.

Ketika di dalam rumah sakit daerah, barulah perawat membawakan brankar. Andrea segera meletakkan ibu Vara ke atas brankar. Vara mengurus masalah administrasi, sementara Zavina dan Andrea berdiri di sebelahnya.

Usai urusan administrasi selesai, mereka bertiga bergegas menuju ke ruangan kenanga putih. Di ruangan tersebutlah ibu Vara dirawat. Vara dan Zavina masuk ke dalam, sementara Andrea memutuskan untuk menunggu di luar.

Melihat ibunya yang diinfus dan dirawat oleh sang perawat, membuat Vara berlari mendekat. Vara lekas mengelus lembut dahi dan rambut ibunya. Kejadian yang nampak di depan matanya itu membuat Zavina menjadi iba.

Zavina pun berjalan menghampiri Vara. Ditepuknya punggung Vara dengan lembut, Zavina lantas menatap kepada Fanara, ibu dari Vara yang sedang terbaring lemah di brankar rumah sakit.

"Tenanglah, Var. Ibu kamu pasti baik-baik saja," ujar Zavina.

"Bagaimana aku bisa tenang, Zav? Melihat ibu yang sudah lemah dan tak berdaya seperti ini," kata Vara.

Zavina hanya bisa diam dan menelan ludah. Ia tidak mengira kalau ternyata Vara bisa sesayang itu pada ibunya. Padahal selama ini Vara terlihat sebagai gadis penggembira yang sama sekali tidak membutuhkan kehadiran sang ibu.

Melihat kesedihan dalam wajah Vara, Zavina hanya bisa mencebik. Tak lama kemudian, datanglah seorang dokter yang memasuki ruang rawat. Sang dokter pun segera menghampiri ibu Vara dan lekas memeriksanya.

Setelah setengah menit memeriksa, akhirnya dokter berdiri menghadap Vara. Mimik mukanya yang serius seolah menandakan bahwa penyakit Fanara tidak main-main. Baik Zavina maupun Vara, keduanya tak menunjukkan muka bercanda.

"Sebenarnya ibu saya sakit apa, Dok?" tanya Vara.

"Ibu anda sakit anemia. Kekurangan darah yang berlebihan memang tidak baik untuk tubuh. Itulah sebabnya ibu anda jadi lemas begini," kata dokter.

Dokter berhenti bicara, dia kemudian memandang kepada Vara. Wajahnya sangat meyakinkan seolah ingin membicarakan hal serius. 

"Apa anda keluarganya? Bisa ikut saya sebentar ke ruangan saya," ucap dokter.

Vara mengangguk dan kemudian mengekor di belakang dokter. Tinggal lah Zavina sendiri di dalam ruangan. Ia memutuskan untuk memanggil Andrea ke dalam.

"Ndre, sini. Temani aku," kata Zavina.

Andrea menoleh dan menatap pada Zavina. Dia bergegas melangkah mendekati Zavina dan menggenggam tangannya. 

"Ke mana Vara?" tanya Andrea.

"Dia tadi dipanggil dokter. Jadi sekarang Vara ada di ruangan medis. Aku sendirian di sini, karena itulah aku memanggil kamu, Ndre," kata Zavina.

Andrea kemudian menatap pada ibu Vara yang sedang terbaring lemas di brankar. Andrea mendengkus dan kemudian menghela. Ia lalu menatap ke arah Zavina dan mengecup keningnya.

"Kamu nggak mau istirahat, Zav? Tampaknya kamu lelah malam ini," kata Andrea.

Zavina menggeleng sebagai jawaban dari perkataan Andrea. Ia kemudian menyenderkan kepalanya di lengan tangan Andrea. Sesaat kemudian Zavina beranjak bicara.

"Aku tidak bisa istirahat, Ndre. Kau lihat sendiri bagaimana Vara kalang kabut mengurus ibunya," ucap Zavina.

Zavina mengembuskan napasnya. Beberapa saat kemudian, ia mengerjap dan matanya mengerling. Zavina menegapkan lagi dirinya, dan beringsut bicara.

"Aku tidak tega membiarkan Vara sendirian seperti ini. Sebagai temannya, aku harus selalu ada di sampingnya," imbuh Zavina.

"Aku tahu, Zav. Tapi wajah kamu sudah kelelahan seperti itu. Aku juga tidak mau melihat kamu seperti ini. Mengertilah, Zav," kata Andrea.

Usai percakapan singkat itu, terdengarlah suara pintu terbuka. Zavina dan Andrea menoleh ke ambang pintu dan mendapati Vara dengan muka kusutnya. Zavina segera mendekati Vara, dan memegangi tangannya.

"Bagaimana, Var? Apa yang dikatakan dokter tadi?" tanya Zavina.

Terlihat kecemasan dalam raut wajah Zavina. Ia memandangi wajah Vara dengan rasa yang khawatir. Zavina takut jika sakit yang diderita ibu Vara cukup parah. Apalagi jika melihat ke arah wajah Vara yang tampak tak begitu semangat.

Vara tidak langsung menjawab pertanyaan Zavina. Ia hanya tertunduk lesu dan sesaat kemudian menatap ke arah ibunya yang sedang tertidur di atas brankar. Vara kemudian mengalihkan pandangan ke arah Zavina.

"Aku menyesal telah mengabaikan kesehatan ibu, Zav. Tidak menyangka kalau ternyata ibu harus diperhatikan pola makannya," kata Vara.

"Maksudmu apa, Var? Apa kamu tidak menjaga pola makan ibumu?" tanya Zavina.

Vara lantas menggeleng. Kedua matanya memandang nanar kepada Zavina. Dalam hatinya sangat menyesal karena telah abai dengan kesehatan ibunya sendiri.

"Selama ini aku hanya mengurus diriku sendiri, tanpa mempedulikan keadaan ibuku," kata Vara.

Melihat kesedihan di mata Vara, Zavina langsung mengelus punggungnya. Tidak lama kemudian, Vara meneteskan air mata di kedua sudut matanya. Menyaksikan Vara yang sedang menangis, membuat Zavina jadi tidak tega.

"Sudahlah, Var. Tidak usah menangis. Aku tahu hatimu sedang bersedih, tapi tidak perlu sampai disesali seperti ini," ucap Zavina.

"Gara-gara aku, Zav. Gegara abaiku sampai ibu tidak berdaya seperti ini," cecar Vara.

Melihat Vara yang meracau, Zavina kemudian memeluknya. Kedua teman itu lalu saling berpelukan satu sama lain. Zavina tampak sabar menenangkan emosi Vara, sebelum akhirnya ia melepaskan pelukannya.

"Sudah kau tebus obatnya, Var? Apa kau kelupaan? Sepertinya ibumu perlu obat sekarang," kata Zavina.

Vara langsung menepuk dahinya. Ia terlupa akan membeli obat di bagian ruang obat-obatan. Seketika Vara langsung melepaskan genggaman tangan Zavina dan bergegas mundur selangkah.

"Aku belum menebus obatnya, Zav. Kelupaan karena tadi terlalu gopoh-gopoh," kata Vara.

"Ya sudah, sekarang kau tebus saja. Aku dan Andrea yang akan menunggu ibumu di sini," ujar Zavina.

Vara kemudian menoleh ke arah Andrea. Tampaknya Andrea memasang muka datar, seolah menunjukkan bahwa dirinya tidak keberatan untuk menjaga ibunya. Vara menelan ludah, sesaat kemudian ia beranjak bicara.

"Apa kau mau menunggu di sini, Ndre?" tanya Vara.

"Tentu. Aku mau menemani Zavina. Aku tidak tega melihat tunanganku sendirian di sini," ujar Andrea.

Vara kemudian mengangguk. Sesaat kemudian, ia memalingkan wajahnya. Kakinya kemudian melangkah keluar dari ruang rawat.

Pernikahan Impian ZavinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang