Kritis

258 23 0
                                    

Elzie duduk termenung di depan ruang operasi. Butuh beberapa saat untuk mereka menunggu agar Mahen dapat segera dapat pertolongan lebih dari pihak rumah sakit.

Remaja itu menoleh ke arah Harsel yang hanya melamun sambil menyandarkan kepalanya ke dinding yang terasa dingin.

"Kak, gue mau ke ayah dulu, ya?"

Harsel melirik sekilas, ia mengangguk singkat bersamaan dengan raut kesedihannya.

Lantas, Elzie pun segera berjalan menuju parkiran mobil. Ia lihat, ayahnya yang baru menyelesaikan beberapa hal di dalam rs masih sibuk menghisap rokok dekat tempat pembuangan sampah.

"Ayah." Panggil Elzie mendekat.

Pria paruh baya tersebut seketika menjatuhkan rokoknya lalu ia injak, tak mau asma anak bungsunya kambuh saat ini.

"Kenapa?"

"Ayah tau kenapa bang Mahen bisa di sini?" Elzie bertanya meski sedikit takut dengan tanggapan sang ayah.

"Memang kakak mu itu gak ngasih tau?" Jawabnya dengan ketus. Membuat Elzie bungkam dan menunduk dalam.

Pria dengan jas biru dongker itu berjalan mendekati Elzie, "Abang mu ditusuk sama orang asing. Bilang ke Harsel, jaga kembarannya baik baik kayak yang dia janjiin ke ayah waktu itu."

Lalu, Elzie ditinggal seorang diri tanpa kata pamit. Penglihatannya mulai buram, ia mendongak menatap langit malam dihias oleh begitu banyak bintang dan satu bulan purnama.

Tangisan Elzie tertahan. Ia beralih dari parkiran menuju kursi depan gedung rumah sakit. Kemudian duduk tanpa seorang pun menemaninya, tanpa siapapun yang tahu bahwa napasnya kian sesak dan sulit untuk diatur.

Asma pada tubuh Elzie kambuh. Ia kesakitan, ditambah ketika isak yang tiba tiba datang menyelimuti nya. Pada malam itu, akhirnya air mata si bungsu lolos membasahi pipi. Meski Elzie sudah bertemu dengan sosok yang selalu ia rindu, ayahnya. Tapi nyatanya pertemuan itu pula menjadi awal luka besar di hati Elzie.

°•°

"Kondisi abang gimana, kak?"

Harsel menatap adiknya lekat dengan mata sembab. Sudah ketebak bahwa semalaman ia sama hancur nya dengan Elzie.

"Kritis. Gue gak tau harus ngapain sekarang selain tunggu pengobatan dokter lebih lanjut."

Elzie kembali menatap lantai rumah sakit, dengan tangan setia memegang tali tas ranselnya.

"Lo sendiri? Sekolahnya gimana?"

"Gak gimana-gimana. Gak ada– oh, ini, kak!" Elzie tersenyum tipis seraya merogoh sakunya.

Dapat Harsel lihat ada dua plastik permen karet di tangan adiknya, "permen?"

Elzie mengangguk semangat, "dikasih sama Arel."

"Arel siapa? Temen lo?"

"Emm ... Gak tau. Tiba tiba dia ngasih ini waktu lagi makan di kantin. Mau?"

Harsel menggeleng, "buat lo aja. Inget, jangan langsung dihabisin dua duanya."

"Iya iya."

°•°

Hari hari telah berlalu. Tetapi kondisi Mahen belum juga jauh dari kata kritis. Harsel dan Elzie melewati semuanya dengan senyum paksa, mereka ingin terlihat baik baik saja seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Karena dengan begitu, mereka akan saling merasa tenang.

Seperti sekarang contohnya.

Harsel mengernyitkan dahi, "siapa?"

"Arel! Temen gue di sekolah! Sama temen kelompok yang lain mau nginep semaleeem aja! Boleh, ya?" Ucap Elzie diiringi senyum lebar.

"Boleh, sih. Tapi kenapa lo gak ngomong dulu ke gue?"

"Hehe, gak apa apa. Gue balik ke kamar dulu ya, kak. Entar kabarin pas udah di rumah sakit soal kondisi abang Mahen!" Elzie langsung pergi menuju ruang tujuannya.

Begitu pintu kamar terbuka cukup lebar, Arel menepuk tempat kosong  memberi kode agar Elzie duduk di sebelahnya saja.

"Sekarang udah bisa di mulai, kan?" Tanya Arel. Semua mengangguk menanggapi.

Dan empat puluh menit berlalu, terasa sudah seperti dua jam menurut Elzie. Ia berdiri hendak pergi keluar untuk mengambil minum, karena minuman yang disediakan telah habis.

Arel ikut dengan Elzie, karena ia tahu kemungkinan besar temannya akan kesulitan membawa nampan berisi enam gelas dan satu teko isi minuman buah.

"Lo berarti sendirian, ya, kalau di rumah?" Tanya Arel begitu diceritakan bahwa anggota keluarga Elzie jarang berada di rumah.

"Iya, tapi kadang kakak gue selalu temenin gue semalaman walau besok subuhnya berangkat keluar lagi."

"Lo gak kesepian?"

Elzie tersenyum tipis, "enggak."

Mereka kembali menuju kamar, niatnya untuk membuka pintu, Arel urungkan.

"Kenapa?" Tanya Elzie bingung.

Arel tampak sangat bingung, ia mendadak menarik tangan temannya keluar dari rumah ini.

"Eh eh, lo mau kemana, sih? Nanti mereka nungguin sambil kehausan loh." Kata Elzie dengan polosnya tanpa tahu hal yang disembunyikan Arel ketika ia tak sengaja mendengar samar samar percakapan teman sekolompok nya.

"Gue gerah. Lo temenin gue aja disini, cari angin."

"Yaudah, gue ambil karpet dulu buat alas duduk."

"Ah, gak usah deh, makasih. Bentaran doang kok gue."

Elzie duduk begitu melihat Arel yang sudah lebih dulu duduk sila dan menaruh teko minuman.

"Zie, gue boleh enggak sering sering main ke rumah lo?" Pertanyaan itu membuat Elzie diam beberapa saat.

"Entar gue tanya abang sama kakak dulu."

"Hehe, kabarin kalau boleh, ya. Rumah gue sumpek banget, ditambah rame tapi gak ada satupun yang ajak gue ngobrol, jadi bosen kalau tiap pulang sekolah. Kan kalau ada lo, gue bisa lebih bebas dan gak bosen."

Sejujurnya, Elzie sangat senang mendengar kalimat terakhir Arel. Ia merasa berguna meski mungkin hanya sedikit.

"Gue ganggu gak, sih, Zie?"

"Hah? Enggak, kok. Kenapa mikir gitu? Gelagat gue aneh ya? Apa ekspresi gue diluar ekspektasi lo?"

Arel diam, dan tiba tiba tertawa singkat, "Bukan. Gue takut lo terganggu karena cerita cerita yang sering gue aduin ke elo. Gitu aja, sih."

Elzie menggeleng cepat, "Justru gue seneng ada yang percaya sampai nyeritain semuanya ke gue. Gue merasa spesial!" Diikuti cengir lebar di akhir kata.

Arel belum bisa melunturkan senyuman nya, kecuali beberapa hal yang ia dengar ketika di depan pintu kamar Elzie. Senyum itu hilang dalam hitungan detik.

"Zie, kalau ada kata kata orang yang ngehina lo, nyakitin lo, bilang ke gue, ya!"

"Kenapa? Gue bisa bilang juga ke kakak sama abang."

"Iya, sih ... Tapi gue bakal langsung buat mereka gak gitu lagi ke lo. Entar gue tonjok mukanya pake batu bata."

"Kakak gue juga bisa lakuin itu."

Karena ucapannya, Elzie berhasil mendengar decakan sebal dari Arel. Hal tersebut membuatnya terkekeh pelan meski masih agak bingung, "iya. Gue bakal ngasih tau kalian bertiga di menit yang sama. Makasih, ya."

Hey, Zie!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang