"Maaf, Zie. Gue buat lo kerepotan." Ucap Arel menunduk dalam.
Elzie menggeleng cepat, tidak setuju dengan kalimat temannya satu ini.
"Enggak, kok! Justru gue seneng! Malem ini jadi ada yang nemenin gue di rumah, jadi gak sendirian lagi kayak kemarin kemarin." Jelas Elzie berhasil membuat wajah Arel kembali menghadap ke arahnya.
"Tapi, gue beneran gakpapa nginep semalam di sini?"
Elzie mengangguk diiringi senyuman lebar, "iya. Nanti kita tidur di ruang keluarga, ya! Bentar bentar, lo duduk dulu gue mau ambil kasur tambahan."
Arel masih berdiri sambil menatap punggung Elzie yang hilang memasuki ruangan. Lalu kembali dengan satu kasur lipat.
Setelah Elzie simpan tepat di samping sofa yang modelnya bisa dijadikan tempat tidur juga. Elzie mempersilahkan Arel untuk beristirahat malam ini.
Semua barang barang milik Arel sudah di simpan dengan rapi tak jauh dari tempat mereka akan tidur nanti.
"Lo udah ngantuk, Rel?"
"Belum. Kenapa?"
"Ke rooftop, yuk? Lo pasti suka, deh. Gue jamin!" Elzie yang awalnya sudah dalam posisi tiduran langsung berdiri.
Melihatnya, membuat Arel mengikuti kemana Elzie berjalan.
Di ujung dapur terdapat sebuah tangga, dan ruangannya cukup sempit.
Meski agak sesak bagi Arel, dirinya seketika menjadi lega saat ia melewati pintu penghubung ke lantai rooftop.
Langit malam saat ini begitu gelap, tapi masih ada bulan purnama yang bersinar paling terang.
"Bagus, kan?" Arel mengangguk.
"Lo selalu kesini setiap malam, Zie?"
"Enggak. Kalau lagi mau aja."
Elzie mengajak Arel duduk di tiga kursi yang ada di dekat pagar pembatas rooftop.
"Gimana? Perasaan lo udah tenang?" Tanya Elzie pada akhirnya setelah lama menahan rasa cemas sejak Arel meminta izin untuk menginap di rumahnya.
"Sedikit."
"Mungkin kalau cerita, seluruh hati lo bakal tenang, Rel. Gue mau kok, dengerin lo. Sampai besok pagi juga gakpapa, selagi lo siap."
Arel menghembuskan napas pelan. Matanya hanya tertuju pada sinar rembulan di depannya. Penglihatan Arel perlahan buram, disebabkan oleh air mata yang Arel tahan.
Sementara Elzie belum menyadarinya.
"Menurut lo, gue harus ikut ibu atau ayah? Atau gue harus tinggal sendirian?"
Elzie menoleh, suara Arel bergetar hebat kala remaja itu berbicara. Dan benar saja, setelah nya air mata jatuh membasahi wajah Arel.
"Gue bingung. Padahal bukan ini yang gue harapin. Gue cuma pengen mereka baikan lagi, terus jadi keluarga yang gak pernah ada luka setiap harinya."
Arel mengusap kasar matanya. Isak tangis mulai terdengar perih bagi siapapun pendengar nya.
Elzie tidak mengerti tentang apa yang harus ia lakukan. Seumur umur, Elzie tidak pernah menangis di hadapan orang lain, dan jarang sekali melihat seseorang menangis.
Elzie jadi tidak tahu caranya menenangkan Arel.
Kalau yang Elzie sadari, mungkin sedikit sentuhan dapat membuat kita menjadi lebih merasa disayangi, contohnya seperti pelukan.
Dulu sekali, bunda sering memberi Elzie sebuah elusan lembut di puncak kepalanya, dan mengusap punggungnya ketika sedang dipeluk. Dan itu berhasil membuat Elzie merasa nyaman dan tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Zie!
Teen FictionLelaki dengan sejuta masa kelam itu telah diberi takdir untuk bertemu dengan dua pasang saudara yang tak terbayang seberapa besarnya mereka menyayangi si bungsu, Zie.