Elzie duduk dengan kepala bersandar di kaca bus. Ia hanya menatap jalanan yang ramai di tengah kota tanpa ada rasa semangat untuk pergi ke taman wahana.
Sudah satu pekan ini Arel tak kunjung pergi ke sekolah.
Beberapa kali pula Elzie sempat mendatangi rumahnya, namun keadaan di sana seperti rumah kosong tak berpenghuni.
Hari Elzie jadi tidak lagi sempurna rasanya. Meski Mahen sudah diperbolehkan pulang besok, tak dipungkiri jika rasa kesepian itu semakin hinggap di dirinya.
Harsel sudah kembali sibuk dengan kuliah dan Mahen dengan kesehatan. Di sekolah, Elzie jarang sekali memiliki seseorang yang mengajak bicara. Bahkan orang yang dulu pernah berkali kali ia lindungi dari perundungan tiba tiba memutuskan untuk pindah sekolah.
Elzie benar benar sendirian.
Hal yang sering ia takuti ketika sendirian di rumah hanyalah kedatangan ayah. Ia tidak tahu penyebab ayah menjadi cukup kasar seperti itu, tapi mungkin Elzie merasa ia harus menjaga jarak.
Bus berhenti di halte tujuan Elzie turun.
Ia melangkah maju di trotoar pinggir jalan dengan setelan sederhana.
Berdirinya beberapa saat di depan pintu masuk taman bermain untuk meyakinkan diri apa ia harus masuk? Karena sejujurnya, ini pertama kali untuk Elzie berpergian sendiri ke sini, ke tempat yang terbilang jauh dari rumah.
Hingga kaki jenjang Elzie memasuki area taman bermain. Ia melihat betapa banyak wahana ekstrim dan para penjual makan minuman.
Setelah hampir setengah jam hanya mengelilingi taman, Elzie tersadar bahwa ia terlalu takut untuk memainkan wahana di sana. Ia berakhir duduk di depan kios penjual sosis bakar.
Wajah Elzie terlihat sekali tidak berminat dengan apapun. Padahal, taman bermain adalah impiannya sejak kecil.
Dulu sekali, saat keluarga kandungnya masih utuh. Elzie selalu melihat semuanya dengan pandangan berbinar.
"Permisi."
Seorang pekerja mendatanginya. Dia pengantar makanan, membawa dua sosis bakar dan satu lemon tea pesanan Elzie.
Tak berselang lama setelah remaja itu melamun, Elzie memakan satu sosis dalam waktu 10 menit.
Matanya yang sejak tadi tertuju pada beberapa wahana, kini tertarik untuk memandang penjual yang memiliki banyak balon.
Duduknya menjadi tegak, seakan mengartikan bahwa hanya balon tersebut yang membuatnya tertarik.
Dia melihat balon tersebut dihiasi oleh lampu warna warni dan ada juga yang lampunya berwarna emas.
Elzie mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar uang berwarna biru. Ia beranjak dari tempat duduk seraya membawa minuman dan satu sosis sisanya.
"Pak, saya mau beli balonnya dua. Berapa?" Kata Elzie pada si penjual.
Bapak itu seketika tersenyum hangat dan memberinya dua buah balon.
"Dua puluh ribu mas."
Elzie memberikan uangnya. Lalu mendapatkan kembalian.
Sudah cukup malam, Elzie berniat pulang saja daripada tidak tahu harus ngapain lagi di sini. Tapi sebelum berjalan ke pintu keluar, seseorang menyebut namanya.
"Kak Elzie!"
Boleh dong, Elzie sedikit merasa terpanggil meski diawali 'kak'? Yang baginya cukup asing.
Ia berbalik dan ternyata benar ia yang dipanggil oleh seorang remaja laki laki.
Wajahnya tampan dan dia tinggi. Pakaiannya tidak begitu ramai, juga auranya teduh. Namun Elzie kurang kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hey, Zie!
Teen FictionLelaki dengan sejuta masa kelam itu telah diberi takdir untuk bertemu dengan dua pasang saudara yang tak terbayang seberapa besarnya mereka menyayangi si bungsu, Zie.