Bab 1

20 10 0
                                    

***

[HAPPY READING]

***

Hampir tiga jam lamanya Arvan senantiasa berkutat dengan laptopnya di kursi halte. Jarinya terus-menerus menari di atas tombol-tombol kotak kecil itu. Sesekali berhenti hanyalah untuk meraih botol minumnya yang ia simpan di sebelahnya. Meneguk air, lalu kembali meletakannya cepat. Begitu pula pandangannya tak sedikitpun lepas dari layar yang berisikan aksara-aksara yang ia susun. Dunianya seakan terjerumus dalam ilusinya sendiri.

Hidup butuh cerita, dan cerita bisa menjadi karya.

Ya, itu Arvan. Seorang penulis dengan beberapa karyanya yang sudah merajalela. Kini ia memutuskan untuk hidup sendiri di kota besar dan menjadikan tulisannya sebagai pekerjaan utamanya. Mungkin bagi kebanyakan penulis, memilih tempat untuk menuangkan isi pikiran yang baik hanyalah berada di tempat yang sunyi dan tenang. Namun, berbeda dengan Arvan, menurutnya tempat tenang bukanlah tempat di mana harus selalu sunyi, tetapi tempat di mana tak seorang pun dapat dikenali.

Bhushhh!!!

Tepat di depan kursi halte, bus berhenti perlahan menghampiri para penumpang yang telah menunggu kedatangannya. Setelah pintu bus terbuka, mereka; para penumpang pun segera melangkahkan
kaki memasuki bus secara teratur.

Mendengar sedikit keributan, Arvan pun terbangun dari ilusinya dan kembali sadar jika ia tengah hidup di dunia nyata, dunianya sendiri. Dunia di mana Tuhan yang membuat skenarionya.

Dengan cepat Arvan melepas kacamata yang terpaut di hidungnya dan segera mengemasi beberapa barang ke dalam tas yang ia pangku di atas pahanya. Tak banyak penumpang yang menaiki bus kali ini, mungkin hanya berkisar antara 5-7 orang saja, termasuk Arvan. Sebelum berdiri dari duduknya yang lama, ia menengadahkan pandangannya ke atas langit, menjadikan otot-otot rahangnya mengeras. Terlihat jika semburat awan merah telah merekah dari arah barat. Spontan Arvan melirik jam di pergelangan tangannya.

Huffhhh!

Ia menghembuskan napasnya panjang, menyadari jika bus pertama yang ditunggunya sudah terlewatkan. Ia tertinggal saking asyik dengan imajinasinya sendiri. "Gapapa, deh, asal bisa pulang. Haha," gumamnya diiringi tawaan miris.

Saat mengangkat tubuhnya, ia sesekali mengucek-ngucek mata elangnya yang sayu sambil melangkahkan kaki untuk memasuki bus. Saat ia berdiri terlihat jelas jika tubuhnya sangatlah tinggi dan tegas.

Bukghh!!!

Baru saja kakinya melangkah dua kali, badannya sudah ditubruk seorang wanita yang tengah berjalan cepat melewatinya.

Arvan terkesiap, "Hei!" panggilnya.

Mulut Arvan seketika membungkam setelah melihat pakaian wanita yang baru saja menghentikan langkahnya, sebab ia panggil.

Sejenak wanita itu terdiam lalu menengok siapa orang yang memanggilnya. Ia memberikan tampang tanda tanya dengan raut wajahnya yang terlihat resah.

Dalam sedetik mungkin Arvan dibuat kagum dengan rupanya yang cantik.

Ia memang cantik. Tubuh ramping yang lumayan tinggi itu terlihat sempurna dengan rambut panjangnya yang terurai, dibalut dengan jepitan kecil di atas telinga kirinya. Kulitnya yang putih kemerahan, hidungnya yang lancip, bibir mungilnya yang melekuk sempurna, pun kedua netra coklatnya membuat siapapun yang menatapnya akan dibuat luluh dan merasa tenang. Kecantikannya pun kian bertambah saat kilauan senja menyentuh lembut parasnya dan angin ikut meniup kecil helaian rambut yang menyapu wajahnya.

Tasbihku dan Rosariomu [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang