Prolog

15 2 14
                                    

"Di situasi seperti ini, aku harusnya bisa berpikir jernih."

"Ah! Ayolah ...."

Aku menepuk-nepuk kepalaku yang sudah berlumuran darah. Mulai dari hidung, cakaran di antara kening dan mataku juga tubuhku yang mulai lelah menahan serangan itu.
Serangan yang membuatku hampir mati.

"Satu ..., Dua ..., Tiga ...." Aku menghembuskan napas, menyerah dengan keadaanku yang sekarang, menghitung mundur untuk napas terakhirku yang akan disebabkan oleh golok besar yang hampir mengenai kepalaku.

Prakk!

Tiga sosok besar yang muncul entah darimana tiba-tiba membanting sosok nenek bongkok yang hampir membacokku. Nenek itu terpelanting menabrak pecahan-pecahan kaca bekas pergulatan kami sedaritadi.

"Syukurlah." pujiku dalam hati, sembari terus memperhatikan tatapan penuh amarah sang nenek yang menyorot tajam.
Matanya melihat ketiga sosok pria yang berdiri tak jauh dari hadapannya, lalu berpaling dan menyunggingkan seulas senyum penuh arti padaku.

.........

Aku membuka mata, bernapas lega atas keadaanku.
Meski keringat dingin membasahi seluruh tubuhku, syukurlah, setidaknya bukan darah yang mengalir di tempat tidurku.

"Mereka lagi."

Sejenak aku mengingat-ingat mimpi yang baru saja aku alami, siapa sebenarnya nenek penuh dendam itu, dan kenapa ia menghajarku habis-habisan.
Lalu, ketiga sosok pria tinggi besar berbadan kekar dengan wajah berbulu itu, sudah beberapa kali muncul di mimpiku.

Mungkin kalian mengira aku sudah gila. Tapi, percayalah! Aku memang menganggap dunia mimpi itu, seperti dunia lain. Dunia yang sama dengan kehidupan kita, dunia tempat mahkluk-mahkluk aneh muncul dalam berbagai rupa. Bahkan aku pernah melihat, kematian adikku sendiri di depan mataku. Rasanya mengerikan, ketika aku tertunduk seperti manekin tanpa nyawa yang hanya bisa memandangi bagaimana adikku diperkosa oleh dua sosok pria bertopeng.

Kejadian itu, aku masih terus mengingatnya. Itu memang kejadian nyata 2 tahun yang lalu, tetapi aku sudah memimpikannya 3 malam sebelum perampokan sadis itu menewaskan adikku, sekarang aku mulai putus asa. Bukan, bukan sekarang. Rasa itu muncul 2 tahun lalu, ketika aku merasa sama sekali tidak berguna, kupikir.

Untuk apa? Untuk apa aku punya indra ke-6, berkomunikasi dengan hantu, bisa melihat masa depan ataupun masalalu. Yah! Terkadang, meski melalui mimpi.
Tetapi, itu sama sekali tidak bisa membatalkan apa-apa. Kejadian-kejadian yang kulihat tidak bisa kuprediksi kapan akan terjadi, meskipun sebelumnya aku mengabaikan pengelihatan-pengelihatan itu, tapi setelah tragedi perampokan tersebut aku merasa hidupku memang tidak berguna dan Tuhan menghukumku dengan memberikan Indra ke-6 ini.

"Jangan sedih, sayang."

Suara itu mengagetkanku. Ibu?


Aku lupa, ibuku juga telah meninggalkanku. Lewat pesan singkat di layar HP, tanpa berpamitan.

Kau pikir aku bercanda? Adakah orang seserius itu dalam bercanda? Aku harap ibuku juga bercanda saat bilang akan menghilang. Tapi sampai saat ini, tidak ada jejak yang ia tinggalkan. Sepertinya, dia benar-benar tidak ingin kuganggu lagi hidupnya.

Kring!  Kring! Kring!

Aku segera bangkit untuk menerima telepon.
Telepon rumah yang usang, berdebu dan kuno.
Sejak ibuku meninggalkanku, aku membuang seluruh kehidupan sosial dan mengurung diri di kamar bersama 'mereka yang tak terlihat'

"Anna, kamu baik-baik saja?" tanya seseorang di seberang sana.

"Ibu?" Reflek aku menjawab suara yang terdengar mirip ibuku itu, tapi orang di telepon itu terdengar tidak nyaman.

"Bukan, Anna. Ini tante, Rosita."

Oh, dia. Dia adalah adik dari ayahku. Yah! Bahkan hubungan kami tidak sedang baik-baik saja ketika terakhir kali aku bertemu dengannya. Untuk apa dia memanggilku semanis itu.

"Halo, Anna?"

"Iya, Tante. Ada apa?" jawabku datar. Sama sekali terdengar tidak sopan, dan aku suka melakukannya.

"Anna, bisa tolong bantu tante, Nak?"

Ah! Orang ini pasti sama saja dengan manusia-manusia lain.
Manis ketika ada maunya.

"Kalo Tante suruh aku usir hantu, maaf. Aku nggak bisa, mereka temanku."

Oh God! Suara itu mendengus pelan. Hampir tak terdengar, tapi siapa aku? Mana mungkin aku tidak mendengar.

"Anna. Tante tau, tapi. Tolong ya? Kali ini bener-bener penting banget. Ada an-"

Aku meletakkan gagang telepon itu di tempatnya bersemayam. Kini tak ada lagi suara rengekan si lampir muda yang memohon untuk aku mengusir hantu.
Ini hidupku, aku yang mengaturnya. Tapi orang itu, Rosita namanya. Sejak kemampuanku melihat dan berkomunikasi dengan hantu saat usiaku menginjak 5 tahun, ia terus saja memintaku membantu orang-orang disekitarnya. Yang sampai sekarang, bahkan aku tidak menerima sepeserpun fee yang ternyata ia tarik dari orang yang aku bantu.

Tuhan ..., Kenapa kau ciptakan wanita jalang seperti itu.

Teror Nenek Gayung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang