Tiga

105 16 1
                                    

Raia melihatku dan tersenyum. "Baiklah. Saya senang mendengarnya. Berarti Yang Mulia tidak dalam keadaan yang mengkhawatirkan."

Tabib tersebut membereskan alat-alatnya yang entah apa. Barang-barangnya berbeda dengan yang biasa dokter bawa.

"Apakah ada hal lain yang harus kami hindari agar keadaan Yang Mulia tak semakin memburuk?"

"Tidak ada," tabib tersebut menggeleng. "Oh, iya. Ada satu hal yang harus saya sampaikan." Dia mengajak Raia dan kedua lelaki lainnya untuk berkerumun di sudut ruangan.

"Beritahu Yang Mulia Raja agar jangan terlalu bersikap keras kepala kepada Ratu. Biar bagaimana pun Ratu adalah istrinya. Perlakukan dengan baik dan penuh kasih agar Ratu tak semakin terpuruk keadaannya," si tabib berbisik-bisik.

Dia kira aku tidak mendengarnya apa?!

"Saya tidak berani memberitahu hal itu pada Yang Mulia Raja. Menakutkan! Tadi saja Ratu ditatap setajam itu, apalagi saya," Raia membalas dengan bisikan juga.

"Tidak apa-apa, biarkan kami yang menyampaikan ini pada Yang Mulia Raja," salah satu lelaki mengusulkan diri.

Apa Devon memang semenakutkan itu?!

Setelah acara bisik-bisik dengan suara keras itu mereka berbalik menghadapku. Seolah tidak terjadi apa-apa.

Huh! Sungguh menyenalkan!

"Kalau begitu saya pamit undur diri. Semoga keadaan Ratu lekas membaik."

Kepergian tabib diikuti dua orang lelaki yang aku perkirakan adalah utusan Devon.

"Yang Mulia, ini minumnya." Raia memindahkan air dari teko ke sebuah gelas, lalu memberikannya kepadaku.

"Aku sudah haus sedari tadi," gerituku sebal.

"Maaf," Raia tertawa kecil, "saya lupa karena kedatangan tabib."

Aku juga sebenarnya lupa. Fokusku langsung pada si tabib sok tahu itu.

"Raia, apa yang sebenarnya terjadi kepadaku? Sebelum aku terbangun dalam keadaan tak ingat apapun begini?" tanyaku setelah memberikan gelas yang sudah kosong isinya.

Raia membawa kursi dari sudut ruangan lalu ditempatkan dekat ranjang.

"Yang Mulia--"

"Kemala. Namaku Kemala. Tidak usah pakai Yang Mulia-Yang Mulia segala! Aku muak mendengarnya!"

"Maaf, Yang Mulia, tidak bisa begitu."

"Kenapa? Aku yang menyuruhmu." Kutatap tajam matanya agar dia ada rasa takut.

"Ti-tidak bisa Ya-Ratu, maafkan saya."

Dia malah menggantinya dengan kata ratu. Aku benar-benar kesal mendengarnya. Aku manusia biasa, bukan konglomerat apalagi bangsawan!

Namaku Kemala! Apa susahnya memanggilku begitu?!

"Panggil aku Kemala!" ucapku memaksa.

"Baik, Ratu Kemala. Akan saya ceritakan apa yang terjadi sebelumnya."

Kenapa kata Ratu masih saja disematkan sebelum namaku?!

Ya sudahlah biarkan saja, yang penting dia menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Tadi pagi saat fajar baru menyingsing, anda ditemukan tergeletak di teras belakang," Raia mulai bercerita.

"Pingsan?"

"I-ya, tak sadarkan diri," Raia mengangguk. "Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada Ratu sebelumnya. Mungkin saat itu kepala Ratu terbentur sesuatu."

Aku tidak mengerti, kenapa aku pingsan di sana? Dan lebih anehnya lagii, untuk apa aku keluar pagi-pagi buta begitu?

Aku tidak habis pikir. Apa mau cari udara segar? Atau aku tidur sambil berjalan?

"Untung saja saat itu saya sudah terbangun dan melewati teras belakang untuk sampai ke istana utama."

Istana? Ini benar-benar di istana? Aku benar-benar masih tidak percaya.

"Jadi yang menolongku adalah kamu?"

"Betul, Ratu." Raia melanjutkan, "Karena saya tidak bisa membopong Ratu sendirian, saya pergi meminta bantuan Raja Devon.

Syukurnya Raja sudah menuruni tangga. Dengan begitu tak butuh waktu lama untuk mendapatkan pertolongan."

***
Cijeungjing, 24 Juni 2024
Putri Kemala Devi Yusman

Kisah KemalaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang