EMPAT: Jadi yang Pertama

53 5 1
                                    

Selesai memasak mie, kami berenam membuat lingkaran di tanah tanpa alas lalu memakan dengan khidmat, benar kata orang; memakan mie kuah ketika di gunung itu nikmatnya bertambah berkali-kali lipat.

Aku menjadi orang yang pertama selesai memakan mie dan mencuci mangkuk yang aku pakai menggunakan tissue basah dan menyimpannya kembali ke dalam tas milik bang Satya.

Setelah itu aku mengeluarkan satu box madu saset yang aku beli sebelum berangkat, seperti biasa Gema menertawakanku setelah melihat box madu yang aku keluarkan, tapi aku juga sudah terbiasa untuk menghiraukan tawa nya yang menyebalkan itu.

Setelah membagikan madu ke semuanya, aku membuka ponsel, ternyata masih terdapat sinyal walau satu batang. Aku pun mengabarkan ke kedua orangtua ku kalau aku menikmati perjalannya.

“Sebenernya ini jalur yang udah ditutup lima tahun lalu, jadi kalian yang pertama lewatin jalur ini lagi setelah lima tahun kosong.” Jelas bang Nando tiba-tiba, membuatku terkejut dan menjatuhkan ponselku ke tanah.

“Serius bang?” Pertanyaanku hanya dijawab dengan anggukan oleh bang Nando dan bang Willy.

Aku yang sebelumnya sudah pede karena bisa sampai di pos dua tanpa hambatan kembali menciut mendengar info tersebut, bisa-bisanya mereka memberitau disaat aku sudah ada di sini, kenapa tidak nanti saja setelah sampai di rumah, pikiran jelek yang sebelumnya hilang kembali datang ke kepalaku.

Selesai beristirahat, kami melanjutkan perjalanan lagi dengan posisi yang masih sama seperti di awal. Namun kali ini Gema menjadi lebih sering mengajakku ngobrol, seperti mencoba membuatku melupakan omongan bang Nando tadi.

Jalur makin lama semakin terjal, beberapa kali bang Nando yang berada di depan mengeluarkan golok untuk menebang beberapa pohon yang menutup jalan. Terkadang juga ada batang pohon melintang menutup jalan yang membuat kami harus ekstra berhati-hati.

Vegetasi semakin rapat membuat hanya sedikit cahaya matahari yang bisa masuk, hingga tiba-tiba langkah kami semua terhenti karena ada dua batang pohon menyilang menutup jalan. Aku yang melihat itu mulai mengeluh, pemikiran mengenai dilarangnya buka jalan di gunung menghantuiku saat ini.

Gema yang menyadari perubahan raut wajahku langsung menyuruhku untuk duduk di salah satu batang pohon yang sudah tumbang, ia mengeluarkan sesuatu dari saku jaketnya, “Makan nih, pas tadi lo bagi-bagi gak gue makan, soalnya gue gak doyan.” Katanya sembari menyodorkan markisa ke arahku.

Seperti biasa aku pun menerimanya dan langsung memakannya, sedikit membuatku melupakan masalah ini.

Di depan aku melihat bang Nando dan bang Willy mencoba memotong batang pohon yang lumayan besar itu.

Aku menarik tangan Gema mengisyartkannya untuk menyetarakan tingginya dengan tubuhku yang sedang terduduk, “Bukannya gak boleh buka jalan ya, Gem?” Tanyaku dengan suara pelan, takut terdengar dengan bang Marko dan bang Satya yang juga berada di depan.

“Ini motong pohon biar gak ngalingin jalan yang emang udah ada, bukan buka jalur. Kan kata bang Nando tadi ini emang dulu jadi jalur pendakian tapi ditutup, karena kita yang pertama jadi banyak pohon yang udah nutup jalur. Jadi gak usah dipikirin ya, kita bukan buka jalan.” Jelas Gema.

Benar juga apa yang dikatakan Gema, dengan itu aku tidak perlu lagi merasa takut. Setelah jalan kembali terbuka, kami melanjutkan perjalanan, cahaya matahari sama sekali tidak masuk ke jalur ini karena tertutup dengan rimbunnya vegetasi di sekitar.

Saat fokus mencari pijakan yang tepat saat tanjakkan, dari sebelah kanan terdengar suara seperti langkah kaki yang cepat, membuatku panik tidak karuan, pandanganku mencari sumber suara namun yang kutemukan hanya batang-batang pohon yang lebih besar dari tubuhku.

Catatan Farhan (1) : 2821mdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang