ENAM: Terima Kasih (END)

46 7 0
                                    

Setelah puas menikmati suasana puncak yang sangat indah ini, kami semua melakukan foto bersama dibantu dengan pendaki lain untuk menjadi fotografer. Semilir angin yang menyejukkan membelai kakiku yang tidak tertutup sepenuhnya, membuatku sedikit kedinginan dibuatnya.

"Bang, ini yakin lewat jalan yang kemarin?" Tanyaku memastikan lagi, karena aku sama sekali belum siap untuk melewati jalur menyeramkan itu, bahkan aku merengek tidak mau turun jika harus melewati jalan yang sama.

Bang Willy yang memiliki kulit putih sedikit pucat itu meletakkan segelas kopi yang tadi ia minum lalu memegang pergelangan tanganku, "Kita gak lewat jalan yang kemarin, Han. Kita lewat jalan pintas biar cepet sampe bawah." Mendengar itu diriku merasa sedikit lega, apalagi ketika bang Willy mengatakan kami akan lewat jalan pintas.

Jam menunjukkan pukul sepuluh, kami semua bersiap-siap untuk turun, pendaki yang ada di puncak juga sudah mulai turun satu-persatu meninggalkan tempat cantik ini.

"Gem, gue pake celana pendek gak apa-apa kan ya?" Tanyaku pada Gema yang kebetulan berdiri tak jauh dari diriku.

"Ya gak boleh lah, nanti kalo ada tumbuhan duri terus kaki lo lecet gimana? Terus kalo tiba-tiba hujan lagi gimana? Gak, gak boleh pake celana pendek." Aku terkejut mendengar jawabannya yang cukup berlebihan dari yang aku kira.

"Tapi kan celana gue basah semua." Aku mengeluarkan seluruh pakaianku yang masih basah akibat badai semalam, padahal semuanya belum aku pakai sama sekali. Sebenarnya aku berharap Gema akan meminjamkan celananya, tapi alih-alih meminjamkan celana panjang, ia malah memberikanku celana dari jas hujan dengan bahan yang cukup tebal.

Tapi dari pada aku harus berdebat dengan Gema yang akan menghabiskan banyak energi, aku pun menerima dan memakai celana plastik itu, lagipula benar kata Gema, bagaimana kalau nanti aku harus melewati jalanan yang penuh dengan tumbuhan berduri yang bisa membuat kulit mulusku penuh luka.

Setelah semua sudah siap, kami mulai berangkat untuk turun, memang benar apa kata bang Willy, kami tidak melewati jalur yang kemarin. Jalur ini tidak terlalu curam, tapi kami harus menebang lebih banyak pohon untuk membuka jalan.

Anehnya vegetasi di jalur ini tidak serimbun jalur sebelumnya, hanya rumput ilalang yang tingginya melebihi kami semua, beberapa kali pun kami harus berpegangan tangan agar tidak terpisah satu sama lain karena jika ada yang tertinggal akan langsung tertutup oleh rumput membuatnya tidak terlihat sama sekali saking rapatnya.

Setelah berjalan cukup jauh membelah ilalang yang seakan tanpa ujung ini, akhirnya kami berhasil keluar dan langsung berada di tanah luas terbuka tanpa pohon. Aku langsung terpana saat memandang sesuatu yang tak kalah indah, gunung Papandayan terpampang jelas tanpa penghalang dari tanah landai ini.

Ku lihat sekeliling ada banyak semak-semak yang dipenuhi bunga yang sangat cantik, di salah satu sudut juga terdapat saung kecil yang entah apa isinya.

Pandanganku yang masih terpana dengan pemandangan di sini langsung buyar ketika Gema mengejutkanku dengan menepuk pundakku, "Liat ke belakang." Ucapnya, dengan sedikit bingung aku memutar tubuhku, mataku berbinar, rasa bangga langsung menyeruak.

Di hadapanku saat ini, gunung yang baru saja aku taklukkan berdiri gagah dengan sangat indah, aku masih tidak menyangka kalau tadi pagi aku berada di sana, aku yang mengenal diriku sebagai anak manja ini ternyata bisa menginjakkan kaki di sana.

Gema yang berada di sebelahku mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, menyuruhku untuk berpose, mengabadikan diriku bersama gunung pertamaku.

Tanpa terasa kami sudah sampai di perkampungan tempat bapak kemarin, bertepatan dengan matahari yang mulai mengeluarkan cahaya jingga nya yang sangat indah, menyambut kembalinya kami dengan selamat semuanya.

Catatan Farhan (1) : 2821mdplTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang