1. When I was a king

29 5 0
                                    

Kali ini sudah pukul 02.48 AM, saat Serena menutup bukunya dan memutuskan untuk segara menyudahi kegiatannya. Kantuk sungguh ramai-ramai sudah menyuarakannya untuk segara pergi tidur. Selepas beranjak dari meja, Serena membaringkan badan ringkihnya di kasur putih itu, mencari sebuah kenyamanan lalu disusul dengan mimpi-mimpi yang mulai terajut tak beraturan jauh di sana.

Angin berhembus sedikit lebih kencang malam itu. Lembaran buku yang ada di mejanya terseok-seok didorong hembusan angin. Serena kembali lupa mengunci jendelanya, membiarkan angin masuk tanpa permisi ke tempatnya beristirahat. Angin itu mengusik tidurnya, memberikan udara dingin pada ujung-ujung tubuhnya, lantas dengan sigap ia menaikkan selimut menghalau usikan angin. Serena terlelap.

***

Serena menghembuskan napasnya yang kesekian kali, ketika dia menemukan dirinya kembali berada di sini, di sebuah mimpi. Serena sebut mimpi yang menyebalkan. Sebab sudah berulang kali peristiwa ini ditampilkan pada layar mimpinya setiap malam.

Ini merupakan satu dari sekian alasan Serena sering memutuskan tidur lebih larut dari jam tidur manusia seharusnya. Dia terlalu lelah menyaksikan bagian-bagian ini. Selalu saja menimbulkan celah untuk memberikan pertanyaan tanpa jawaban masuk ke dalam kepala kecilnya.

Serena mengambil posisi di ujung sana, di bawah pohon yang teduh. Ia membaringkan tubuhnya lelah. Menutup sebagian wajahnya dengan lengan kecilnya.

Di sana--sedikit jauh dari tempat Serena saat ini berteduh--terdengar sautan-satuan manusia dan pekikan kuda yang dipacu. Begitu memekikan telinga. Serena diam, sesekali menyaksikan sesak dan tegangnya pertikaian di sana dengan tenang.

Itu adalah perang besar antara dua kerajaan, dari pengamatan Serena peristiwa itu berlatar sekitaran abad ke-17. Darah dan bagian tubuh manusia yang tak utuh berceceran di tanah tandus itu. Terik matahari tak pernah mengusik segerombolan manusia itu.

Serena memfokuskan pandangannya pada seorang pria di sebrang sana, pria itu maju dengan kudanya di barisan paling depan. Tampak sangat gagah dan tangguh. Matanya menyorot tajam ke arah musuh. Pria itu menghiraukan aturan strategi perang dan segala pekikan protes dari arah belakangnya, memberitahukannya agar segera berpindah posisi demi keamanannya. Pria itu tak perduli, dia menulikan pendengarannya.

Perempuannya ada di seberang sana, di dalam penjara musuh. Pria itu mengerang keras. Serena pastikan pria itu saat ini penuh akan emosi tak terkendali yang siap akan pecah atau memang sudah pecah sedari tadi. Auranya begitu kuat dan mengerikan, Serena bahkan masih ketakutan ketika memperhatikannya dari jarak sejauh ini.

Selanjutnya yang disaksikan Serena hanya dipenuhi aksi saling membunuh, seperti hewan buas di hutan, siapa yang kuat maka dia yang menjadi pemenang.

Pria itu melesat lihai dengan kudanya dan tangannya yang membidik titik vital musuh dengan pedangnya. Ia tumbangkan begitu banyak nyawa di tanah tandus itu, menuju perempuannya di seberang sana.

Serena sudah menebaknya pasti, bahwa perempuan ringkih di ujung sana adalah salah satu alasan perang besar ini bisa terjadi. Perempuan itu terlihat semakin melemah, wajah dan tubuhnya kotor, banyak sekali luka di tubuh ringkih nya, wajahnya tertutupi rambut panjangnya yang kering dan kusut.

Malang sekali nasib perempuan itu. Serena tak pernah berani memfokuskan matanya pada perempuan itu. Serena merasa ketika pandangannya jatuh kepada perempuan itu maka jantungnya akan berdegup dengan tak beraturan, ia akan selalu panik dan takut, dadanya akan selalu sesak.

Perang itu berjalan cukup lama, bau besi dan amis sudah menguasai tempat itu. Setengah pasukan musuh dari pria tangguh itu sudah mati berserakan. Pasukannya maju menyerang seluruh sisanya. Sedangkan pria yang memimpin pasukan itu maju ke arah perempuannya.

Ah, Serena selalu tak sanggup untuk melihat bagian ini. Walau sudah berulang kali peristiwa ini terputar di mimpinya, Serena tak pernah terbiasa, selalu ada sakit yang menyelinap masuk. Jantungnya berdegup kencang, tangan dan tubuhnya mengalirkan keringat lebih banyak, tubuhnya bergetar, matanya memanas sudah akan menumpahkan isinya. Serena menutup matanya, memeluk tubuhnya sendiri erat-erat.

Pria tangguh itu melaju dengan sangat kencang, memacu kudanya. Sedikit lagi. Dia akan sampai sedikit lagi. Semoga perempuannya bertahan sedikit lagi saja.

"SERENA!!" suara keras itu menyita atensi beberapa orang, memberikan celah pada lawannya untuk menyerang.

Perempuannya mati. Mati sebelum pria itu sampai. Perempuan itu tergeletak di tanah tandus dan terik, penuh bau amis darah. Ia ditusukkan pedang tepat di jantungnya.

Serena Dandelion de Eder seorang ratu yang mati di tanah tandus negeri Eder. Menyisakan kenangan paling pelik kepada pria tangguh yang berbaris paling depan dalam perang tadi, raja Theodore de Eder.

Nama perempuan yang mati itu Serena, sama seperti perempuan yang saat ini sedang menangis memeluk dirinya sendiri di bawah pohon, yang sedari tadi menyaksikan peristiwa pelik itu dengan sesak yang terus menyebar.

***
cr pict. Pinterest

LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang