Part Two.

660 26 0
                                    

Sebuah buku dengan halaman terbuka tergeletak di meja, terdapat beberapa kalimat yang berisi tentang catatan harian seseorang.

Catatan 1 :

Kemarin lusa ada yang mengetuk ruangan ini, aku senang sekali karena selama 17 tahun baru saat ini ada yang mencoba mengetuknya. Dan yang sudah jelas ku tahu itu bukanlah Ayah atau Ibu karena mereka tidah pernah mengetuk pintu bahkan untuk sekalipun, biasanya mereka langsung membuka pintu lalu mewanti-wanti agar aku tidak pernah menunjukkan diri pada siapa pun. Namun kini pesan Ibu telah ku langgar dan aku tidak perduli apa yang akan terjadi setelah Ibu mengetahuinya.

Catatan 2 :

Malam ini ku dengar Dia membicarakan ku, tapi sesaat kemudian aku kecewa karena Ibu berusaha mengalihkan pembicaraan dengan dalih menyuruh gadis itu belajar. Menyebalkan.

Catatan 3 :

Benar saja dugaanku, perempuan itu memarahiku. Ia berkata

"Apa yang telah coba kau lalukan?!" Begitu katanya setengah membentak

Aku hanya diam tak menghiraukan apa-apa yang dikatakan. Dia pikir aku betah bersembunyi selama ini? Yang benar saja. Sesaat setelahnya lagi-lagi Ia memperingatkanku.

"Jangan pernah lagi kau coba menunjukkan dirimu pada siapapun, bahkan kepada Laura."

***

"Bagaimana? Apa kau sudah memberinya peringatan?"

"Baru saja selesai ku lakukan."

"Lalu, apa yang dikatakannya?"

"Dia tidak mengatakan apa-apa."

"Apakah menurutmu dia menyetujuinya, sayang?"

"Setuju atau tidak Dia harus tetap melakukannya."

"Kau ini, suka sekali memaksakan kehendak."

"Bukan memaksakan kehendak, ini untuk kebaikannya dan putri tercinta kita Laura."

"Pintar sekali kau menjawab."

Wanita itu hanya tertawa lalu di kecupnya keningnya oleh lelaki dihadapannya.

"Sudah, mari kita tidur. Selamat malam sayang."

Kemudian sepasang insan manusia tersebut merebahkan diri di kasur lalu tertidur lelap hingga menjelang pagi.

***

Aku melangkah kan kaki menuju sekolah seperti biasanya, rutinitas yang membosankan menurutku.

"Laura!"

Aku menoleh, mencari asal suara namun tak kulihat siapapun sampai ada yang mencolek pundak kananku.

"Hai.."

Aku terpana, kulihat seorang gadis yang sangat mirip denganku. Rambutnya sama panjang sebahu seperti rambut yang ku miliki. Ku selusuri pandangan mataku keujung rambut sampai ujung kakinya.

"Kau siapa?"

Gadis itu hanya tersenyum, dan senyumannya amat manis terlihat dari kedua lesung pipinya saat Ia menyunggingkan senyum. Bahkan Ia pun juga memiliki dua lesung pipi.

"Mengapa kau sangat mirip denganku?"

"Karena aku saudaramu."

"Saudaraku? Aku tidak memiliki saudara. Apa kau mungkin sepupuku?"

"Bukan, kita sekandung."

"Maksudmu kita kembar?"

"Bisa di bilang seperti itu."

"Tidak mungkin, aku anak tunggal."

"Mungkin saja, Laura."

"Wow, kau bahkan tahu namaku. Baiklah siapa namamu?"

"Aku tidak tahu namaku."

"Bagaimana jika aku yang memberimu nama?"

"Kedengarannya menarik."

"Hmm.. Marsha? Bagaimana menurutmu?"

"Nama yang bagus. Baiklah aku setuju!"

Aku melirik arloji di pergelangan tanganku, "Astaga hampir setengah 7! Marsha aku harus segera pergi sudah hampir telat. Dah.."

***

Sepulang sekolah saat makan siang, aku berniat menceritakan mengenai teman baru kepada Ibuku, akan tetapi saat aku mencarinya Ibu ternyata tidak ada di rumah.

Kemana dia pergi? Gumamku, mungkin lebih baik aku tidur siang saja. Ulangan matematika tadi membuat kepalaku penat ditambah asal usul Marsha yang tidak ku ketahui dan bahkan mengaku saudara kembarku.

Saat melangkahkan kaki menuju kamar kulihat pintu itu terbuka, pintu yang ruangannya selama ini selalu tertutup. Rasa penasaran yang sempat terlupa olehku mengenai ruangan itu kini muncul lagi, kudekati ruangan tersebut dengan langkah perlahan mewaspadai mungkin ada bahaya yang tiba-tiba datang seperti kejadian di beberapa film yang pernah ku tonton.

Kini aku sudah berada di dalam ruangan, ku perhatikan sekeliling. Terdapat tempat tidur meja belajar, lemari dan segala benda yang sama isinya seperti kamarku. Di meja belajar ku lihat sebuah buku tergeletak, sampulnya bukunya bergambar daun kering. Diperhatikan lebih seksama ini tampak seperti buku harian. Ku raih buku harian tersebut dan segera ku bawa, tak lupa pintu tersebut ku tutup agar tidak menimbulkan curiga.

Setiba di kamar aku kembali memikirkan mengenai ruangan tersebut, Marsha, dan tentunya buku harian ini. Karena yang aku tahu di rumah ini tak seorang pun yang senang menuliskan sesuatu ke dalam buku baik aku atau pun Ibu, maka kecil kemungkinan ada yang memiliki buku harian. Terbesit di otak ku untuk menanyakan hal ini kepada Ibu, tapi lalu kuurungkan niat.

Ah, lebih baik ku baca saja buku ini. Mungkin akan dapat ku temukan jawaban dari beberapa pertanyaanku. Sedetik saat ku buka sampul buku rasa kantuk menyerang dan reflek aku tertidur di meja belajar tepat diatas buku harian yang sampul halamannya sudah terbuka.

KembarWhere stories live. Discover now