01-Awal Dari Semuanya

5 2 0
                                    


Semilir angin malam dengan tenang berhembus ke sana-kemari mengitari seluk-beluk kota Jakarta. Gemerlapan cahaya begitu indah ketika dipandang mata. Menghiasi gelapnya malam hari di ibukota. Netra seorang gadis yang terhanyut dalam pesonanya memejamkan mata menikmati. Rambut pendek sebahu miliknya sesekali bergerak ingin terbang bebas karena terpaan angin malam. Ia sedang berdiri di balkon kamarnya, menghadap ke luar dengan damai. Senyuman manis yang sedari tadi terukir di bibir ranumnya seolah enggan untuk berhenti.

"Filsyah."

Suara rendah itu membuat pemilik nama terhenyak sadar, dengan cepat ia menoleh. Mendapati sang ibu yang datang, sudut bibirnya kembali terangkat. Membentuk lengkungan bak bulan sabit yang menyaratkan kebahagiaan.

Zahra, ibunya itu mendekat. Ia kemudian membawa tubuh mungil Filsyah dalam dekapannya dengan hangat nan erat. Filsyah mengerjap-ngerjapkan matanya kaget, tapi sedetik kemudian ia langsung membalas. Sungguh, hal ternyaman adalah ketika berada dalam pelukan seorang ibu. Filsyah sadar, saat ini ia memang hanya membutuhkan pelukan ibunya, bukan yang lain. Dia butuh kekuatan hati, itu bisa ia dapatkan dari ibunya.

Beberapa menit yang lalu ia melupakan semuanya. Tapi ketika tersadar dari lamunan, semua beban itu seolah kembali menyerang. Filsyah ingin lupa, tapi itu menghantui. Entah Filsyah bisa menghadapi hari esok atau tidak. Ditetapkannya pernikahan mereka esok hari membuat hati dan pikirannya terbebani. Filsyah butuh semangat dan dukungan saat ini.

"Jangan takut, Mama percaya kamu bisa lalui semuanya. Berdoa sama Allah, biar hati sama pikiran kamu lebih tenang. Mama tau, ini nggak mudah buat kamu, Sayang." Zahra mencium pipi Filsyah singkat sambil mengelus lembut punggung putri kecilnya itu.

Deg.

Filsyah sudah tidak mampu membendung air matanya, ia ingin berteriak sekencang mungkin untuk meluapkan semuanya. Tapi apalah daya, untuk membalas ucapan ibunya saja, bibirnya terasa kelu. Rasa sesak yang menyelimuti hatinya sejak dua hari yang lalu seolah ingin hancur. 

Tapi tidak!

Ibu ataupun ayahnya tidak boleh melihat air mata di pipinya saat ini. Mereka berdua harus yakin dan percaya bahwa ia memang benar-benar siap menikah besok tanpa adanya kesedihan. Filsyah segera menghapus air matanya lalu tersenyum. Senyuman palsu yang ia harap dunia percaya ia sedang baik-baik saja.

Gadis itu melepas pelukannya lalu menatap ibunya serius.

"Nggak, Ma. Buat apa Filsyah takut? Filsyah bakalan nikah, jadi harus seneng, dong! Aku seneng banget, sampai nggak bisa tidur. Yang ada di otak Filsyah sekarang cuma dia, Ma. Dia gaaannteeeng banget!"

Filsyah menampakkan binar kebahagiannya sebaik mungkin. Menggenggam erat tangan lembut Zahra. Demi Tuhan, ibunya itu harus percaya ia baik-baik saja.

Zahra tersenyum haru menggerakkan tangannya mengelus pipi Filsyah. Pelupuk matanya berair, sedang menahan jatuhnya air mata dari persembunyian. Putrinya ini pura-pura bodoh atau bagaimana? Dia mengandung, melahirkan, dan merawatnya sampai sekarang. Kenapa masih berpikir untuk membodohi dirinya dengan senyum palsu itu? Dasar Filsyah.

"Bohong!"

Filsyah menegang, bingung dengan reaksi Zahra yang diluar perkiraannya.

Jangan bilang aktingnya gagal!

"Maaf...," lirih Zahra mengatupkan kedua tangannya di hadapan Filsyah. Ia merasa sangat bersalah, karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Filsyah dari beban ini.

"Mama!" Filsyah segera merengkuh tubuh ibunya dengan erat, air matanya tumpah begitu saja. Ibunya memohon padanya? Tidak! Itu salah.

"Maafin Mama, Sayang. Kamu harus menjadi korban dari semua ini. Mama sama Papa nggak berdaya! Hiks-hiks!" ucap Zahra ikut menangis.

REPLACEMENT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang