BAB 1 Nyanyian Musim Gugur

41 9 27
                                    

H&R Café, Kota Surabaya

Daniel Tan, pria berpakaian parlente dengan potongan rambut rapi dan kaca mata bening membolak-balik kertas di hadapannya. Sesekali matanya bertemu dengan seraut wajah perempuan muda di hadapannya. Tanaya Esha, gadis dua puluh lima tahun yang sedang menunggu keputusan calon bosnya. Agen Nursing Homecare tempatnya mendaftarkan diri sebagai perawat lansia membuatkan janji temu dengan keluarga Tan sore itu. Akan seperti apa pekerjaannya kelak, semua terasa gelap. Atas dorongan ibunya ia berangkat ke Surabaya bermodalkan ijazah keperawatan yang dulu sempat membuatnya mengabdikan hidup di rumah sakit umum.

"Tinggi kamu seratus tujuh puluh tujuh senti, ya, Tanaya?" Daniel bertanya seakan tak percaya.

"Iya, Pak. Panggil Esha aja."

"Oh, fine. Bay the way, kenapa nggak jadi model aja?"

"Sudah pernah, Pak. Setahun aku di Jakarta, gabung di Indonesian Model Academy."

Daniel menutup map berisi biodata dan pernyataan pengalaman kerja Esha. Menatap perempuan muda itu lekat. Figur tinggi ramping, berkulit langsat bersih, berhidung rapi, volume bibir penuh, mata coklat madu menyorot dingin. Rambut panjang yang telah bertransformasi dari kodrat aslinya ke warna kelabu terkucir separuh, menyisakan poni berjatuhan di sebagian wajahnya. Tadi sempat ia meragu, benarkah sosok yang lebih mirip karakter animasi kesasar di bumi ini calon perawat ayahnya? Pada kedua punggung tangan gadis itu tergambar tato bulu melayang, di bagian lain tato burung hantu. Sejenak ia takjub.

"Kok nggak diteruskan?"

"Ibu nangis terus, Pak, pas aku pulang kampung, katanya kayak tengkorak hidup."

Daniel terkekeh.

"Benar ya, jadi model itu nggak boleh makan banyak?"

"Iya, Pak. Makan kapas juga pernah. Buncis 2 batang, apel dua potong, ketemu makanan lagi besoknya."

"Hm. Lebih menyiksa daripada puasa, ya?"

Puasa. Di benak gadis itu, sebaris kata puasa mengingatkannya pada nama seseorang.

"Bapak kenapa nanyain itu? Kan ada tuh, kerjaan aku yang jadi perawat di klinik, di rumah sakit umum, di puskesmas."

Daniel tersenyum simpul, mendorong naik kaca matanya yang tidak melorot.

"Saya percaya kamu mampu menjaga orangtua kami."

"Tapi aku belum pernah jaga orang pikun, Pak."

Daniel mendehem. Menyeruput teh panasnya. "Tidak apa-apa, coba aja dulu. Semoga betah."

Esha menenggak botol teh pucuk yang dibawanya dari rumah kos. Bayang ibunya menyamun dalam setiap kedip mata. Perempuan itu segalanya. Pekerjaan baru, harapan baru. Sejenak ia coba menghalau kelabu yang terus menghantui. Orang pikun, semengerikan itukah hidupnya akan berlangsung dengan orang-orang yang tidak lagi mengingat namanya sendiri?

*

Toyota Vios hitam metalik berhenti di halaman rumah keluarga Tan. Daniel membawa langkah Esha memasuki ruang tamu. Dari pintu tengah, perempuan paruh baya datang menghampiri. Daniel memperkenalkan Esha pada Rumi, juru masak andalan keluarga. Setelah beramah tamah sesaat, Rumi membawa Esha ke paviliun samping rumah. Menyerahkan kunci dan meminta Esha membersihkan sendiri rumah mungil berdebu yang sepertinya tak pernah berpenghuni.

Pada halaman belakang, terdapat bangunan yang sama, paviliun kecil untuk tukang kebun mereka, lelaki enam puluh tahunan yang akrab disapa Mbah Darmo. Melihat kedatangan pekerja baru yang kabarnya akan merawat majikan laki-laki mereka, Darmo yang saat itu menyiangi rumput di taman samping rumah menghentiksn aktivitas, mengendap-endap, mengintip dari balik jendela kaca paviliun samping. Seorang gadis tinggi semampai dengan rambut panjang warna kelabu terbatuk-batuk oleh serbuan debu.

Darmo mengangguk-angguk. Dalam hati menyimpan degup. Gadis itu menarik. Mata di balik kaca menangkap kehadirannya. Darmo nyengir, melambaikan tangan. Gadis itu melengos dingin. Acuh, lalu kembali mengusir debu dengan lap basah.

Malam turun dengan hikayat warna dan kegelapan yang nyaris sama setiap kali. Paviliun tempatnya tinggal diterangi lampu dop sepuluh watt, kamar tidur lima watt, kamar mandi dua watt. Redup dan senyap bagai gerdon penunggu kuburan. Bahkan ketika semua lampu dinyalakan, rumah tinggalnya tetap lebih melas dibanding fasad bangunan utama pemilik rumah yang bersinar benderang. Aroma apak ruangan tak pernah terpakai memaksa Esha membuka jendela. Hembus angin menyeruak masuk. Sedikit mengusir bau tak sedap yang mengintimidasi penciuman.

Malam merambat kian sunyi. Esha masih terjaga di depan buku hariannya. Menuliskan jurnal setiap hari adalah kebiasaan sejak belia. Ia senang membuat gambar, simbol dan catatan kecil sebelum ambruk menutup mata. Ketika hendak menyimpan jurnalnya di laci, sesuatu melayang jatuh dari lipatan jurnal. Sejenak tertegun, lama ia tak menyelipkan apapun di sana. Jemarinya terjulur mengambil benda pipih itu, daun maple kering. Pada masing-masing bilahnya, tertulis namanya dan nama pemberinya. Bibir Esha melengkung sesaat. Ia remas daun merah itu lalu melemparnya ke tempat sampah plastik di sudut kamar. Mendesah berat, masa itu terlewat dalam benak bagai slide show film. Ia dan Ramadhan. Persahabatan kental yang terbina sejak kanak-kanak hingga tumbuh remaja.

Tujuh tahun lalu di taman Kota Malang.

Senja di taman kota. Melangkah di setapak kavling yang memisahkan jajaran pohon maple. Ranum warna senja bermandikan cahaya emas astra jingga. Dua remaja itu berjalan beriringan. Saling diam. Langkah Ram melambat, bayangan mereka menarik perhatian Ram, tangannya bergerak, siluet bayangan mengikuti, meraih jemari gadis di sampingnya. Dalam siluet, jemarinya menggenggam jemari Esha. Bibirnya melengkung. Betapa indah.

Langkah Esha terhenti. Menoleh. Ram tertegun gugup. Pipinya terasa hangat.

"Ngapain?" Esha terheran dengan sikap Ram.

Kaki Ram maju selangkah. Esha memasukkan kedua tangan ke saku jaket jeans robek-robek yang dibelinya dari pasar loak. Udara senja di taman kota sering membuatnya masuk angin.

"Kita ini apa?" Tanya Ram.

"Hah?" Esha menaikkan alis.

Ram membungkuk, memungut daun maple yang baru gugur dari dahan, mengambil posisi berdiri di depan Esha. Dengan tusuk gigi yang dibawa dari warung tempat mereka makan sore tadi, Ram melubangi daun maple merah itu membentuk huruf-huruf. Terdengar sebuah lagu entah dari sebelah mana, Fly Me to The Moon yang dilantunkan Frank Sinatra mengalun syahdu. Sepertinya dari walkman tua di ujung taman, di sana beberapa lansia duduk di antara taman bunga dan wc umum. Angin bulan Desember berhembus tajam, menggigilkan dua manusia muda di ambang rasa.

Lagu itu mengalun merdu, menciptakan harmoni dalam keheningan yang menyamun.

Flay me to the moon and let me play among the stars. Let me see what spring is like on Jupiter and Mars. In other words, hold my hand. In other words, Darling kiss me. Fill my heart with song and let me sing for evermore, you are all I long for all I worship and adore. In other words, please be true, in other words, I love you.... 

[RWM] Momento In Paradise : Ayundha LestariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang