Sepasang lansia melangkah pelan ke ruang tamu menemui anak-anak mereka, Daniel dan Celina juga perawat baru yang akan tinggal di rumah itu. Renald Tan, pria berusia delapan puluh tahun, bertubuh tambun dengan perut buncit, rambutnya telah putih sepenuhnya, namun langkahnya masih tegap. Lena, wanita berbadan kecil dengan mata jereng, rambut cepaknya berkilau kemerahan saking sering disemir, beberapa helai uban tak mampu disamarkan timbul di antara rambut lain. Bibir tipisnya bergincu merah mawar, tersenyum lembut.
"Papi, Mami, kenalin, ini Tanaya Esha, perawat kalian. Silakan berkenalan dulu." Daniel memulai percakapan. Kedatangannya kali ini hanya untuk memastikan interaksi pertama orangtuanya dengan Esha berjalan baik.
Lena tersenyum ramah. Renald menatap Esha tanpa kedip, perlahan langkahnya mendekat, entah kenapa matanya berkabut mengamati perempuan muda di depannya.
"Ishtar...apa yang terjadi?"
Daniel dan adiknya bertukar pandang. Esha membulatkan mata. Lelaki baya di hadapannya menyebut nama orang lain untuknya, pertanyaan itu semacam keprihatinan. Ia tak tahu cara menyikapinya.
"Renald, dia bukan Ishtar." Kata Lena.
"Dia Ishtar. Devana Ishtar, penari balet di kampus kita, yang, yang..."
"Mati bunuh diri."
"Tidak." Tukas Renald pedih. "Surat terakhirnya baru sampai sebulan lalu, kamu lupa? Dia di sini sekarang."
Lena mengibaskan tangan. Surat terakhir Ishtar datang lima puluh empat tahun lalu.
"Ingatannya memburuk, harap dimaklumi." Bisik Lena pada Esha yang manggut-manggut mengerti.
Renald Tan menggenggam jemari Esha.
"Kamu selamat, Star. Makasih, kamu masih ingat kami. Kita minum teh di kebun belakang, Lena, siapkan tehnya, ada kue bolu di kulkas, kita reuni bareng hari ini."
Lena mengendikkan bahu. Tidak ada kue bolu di kulkas, tidak ada Ishtar sang penari balet. Tapi ia melangkah ke dapur, menyiapkan teh panas dalam teko berikut tiga cangkir, membuka biskuit dan menatanya di piring.
Esha mengangguk-angguk. Drama ini harus dilanjutkan?
Renald membawa Esha ke halaman belakang, duduk di gazebo bergaya brighton round dengan dua tumpuk atap. Halaman belakang tak seluas halaman depan. Suasana asri dari tetumbuhan hijau yang mengitari pagar tembok, barisan kotak-kotak balok membingkai aneka warna bunga hydrangea, mawar dan daun kupu-kupu. Ratusan jenis tanaman menyemarakkan taman.
Lena datang dengan semua pesanan suaminya, meletakkan jamuan ringan di meja bulat untuk tiga orang.
"Bagaimana kehidupanmu di Peru, Ishtar? Kamu sudah menemukan Secha?"
Esha mengernyit tak mengerti. Apa pula itu?
"Alfaro Secha adalah kekasih Ishtar." Lena menjelaskan. "Mereka kembali ke Peru setelah kelulusan sarjana satu di Universitas Tunas Bangsa. Setelah itu, kami kehilangan kontak. Beberapa tahun terakhir Ishtar rajin mengirim surat. Lebih dari lima dekade lalu, surat terakhirnya datang. Kabar terbaru dari saudaranya, Ishtar telah tiada. Depresi."
Esha mendengarkan penuh perhatian sekaligus miris.
"Jejak terakhir Secha tertinggal di Machu Picchu, hanya liontin dan sebelah sepatunya. Ishtar terus menunggu, mencari sisa-sisa jejak Secha sampai putus asa." Mata Lena meredup.
Esha mendesah berat. Misteri di lembah Urubamba nyaris sama dengan cerita urban legend yang sering ia dengar. Seseorang yang meyakini sesuatu di balik kehidupan tiga dimensi mungkin saja dapat terbawa ke sana dan tak pernah bisa kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
[RWM] Momento In Paradise : Ayundha Lestari
RomanceOleh : @Ayundhalest07 Kata orang, dalam kegelapan yang suram, selalu ada langit terang yang memberi jalan. Aku tak tahu, sedang berada pada bilah yang mana. Aku hanya melangkah, dalam buta. Tanaya Esha. "Aku nggak peduli siapa kamu. Bagaimana lata...