Gelap. Pengap. Bau apak debu, bau tai tikus. Ia tak peduli. Yang terasa hanya kelelahan panjang, tidur adalah pelarian paling nyaman saat ini melebihi kelaparan yang mendera. Suara langkah kaki, suara desis mengerikan, sebuah tangan besar menjamah kakinya.
“Jangan!” teriaknya keras-keras. Tubuhnya terduduk bersimbah keringat. Napas terengah-engah seperti baru melarikan diri dari kejaran setan. Sejenak disorientasi. Matanya berkeliling, sorot lampu dari halaman rumah megah di sana menyumbangkan sedikit terang ke pavilunnya. Mimpi buruk. Setiap kali mimpi yang sama menyiksa malam-malamnya. Segumpal dendam mengendap dalam jiwa.
Dadanya terasa sesak. Tangannya menekan torso, sebelah jemarinya mencengkeram rambutnya sendiri. Menggeleng pedih. Matanya terasa pedas. Kamu selamat. Aku masih ada di sini untuk Ibu.
Bayangan sepasang kaki-kaki panjang menerjang rerumputan liar, lari, lari. Jemari pemuda itu menggenggamnya erat, membawanya pergi dari gudang rumah terkutuk. Berhenti di sebuah parit kering. Mendekam di sana sampai sinar matahari menyilaukan pandangan. Terbangun dalam pelukan pemuda itu.
Berjanjilah, pergi yang jauh, jangan kembali ke rumah itu lagi. Pinta pemuda itu.
Ia mengangguk berjanji.
Kemana aku akan pergi? Bagaimana dengan Ibu?
Pemuda itu meraih kepalanya, menyatukan kening, menghapus air matanya.
Kalau hari itu kamu datang terlambat, mungkin tidak ada hari ini. Hutangku padamu tak terhitung lagi. Hidupmu yang baik tidak boleh rusak karenaku. Tuhan akan selalu bersamamu, Ram.
Gedoran pintu memporak porandakan lamunannya. Jam weker menunjuk angka tiga dini hari, ia turun dari ranjang sempitnya, menuju pintu depan. Rumi menatapnya panik.
“Bapak hilang!”
“Hah?”
“Hah, apa, ayo cari! Dia tanggung jawabmu!”
Esha gegas menutup pintu, mengikuti Rumi tergesa. Darmo dan Lena tampak gusar.
“Tadi dia tidur, tahu-tahu nggak ada.” Pekik Lena histeris.
“Pasti ada sesuatu di rumah ini,” Darmo mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan mencurigai yang tak kelihatan sebagai tersangka menghilangnya Renald.
“Cari, kamu ke halaman belakang, kamu ke lantai atas, aku ke halaman depan dan sekitar rumah.” Esha mengambil komando. Darmo gegas ke halaman belakang, Rumi naik ke lantai atas, Lena menangis di sofa. Ia lari ke halaman depan, menuju jalan utama. Benar saja, gerbang terkuak, seseorang membukanya dari dalam dan menyelinap keluar rumah.
Kepalanya melongok kanan kiri. Kosong. Senyap. Ia mencari-cari ke setiap sudut, setiap lorong komplek. Cahaya lampu jalanan cukup membantu mengenali setiap obyek yang ditemuinya. Namun tidak sosok lelaki gembul itu. Sampai di ujung komplek ia mendengar keributan.
Tergesa ia menuju asal suara. Dua lelaki sedang bertengkar saling meneriaki di depan pagar rumah besar berlantai tiga. Lelaki berbadan gembul naik pitam hendak meninju lelaki kurus berpakaian satpam. Secepatnya tangan Esha menahan pergerakan lelaki gembul. Pertengkaran itu terhenti. Lelaki gembul mendongak menatap penampakan menjulang yang memegang lengannya tanpa kedip.
“Maaf, Pak, dia majikan saya, dia lagi sakit, maaf, jangan diambil hati.” kata Esha pada satpam itu.
“Jagain atuh, juragan na, Neng, jangan bikin ulah di rumah orang. Masa dia ngaku ini rumah dia, ngira saya maling.” Satpam menatap sinis pada Esha.
“Punten, Pak, dimaklumi, ya.” Esha mengangguk lalu membimbing langkah Renald pergi. Renald menepiskan pegangan Esha.
“Siapa kamu?”
KAMU SEDANG MEMBACA
[RWM] Momento In Paradise : Ayundha Lestari
Roman d'amourOleh : @Ayundhalest07 Kata orang, dalam kegelapan yang suram, selalu ada langit terang yang memberi jalan. Aku tak tahu, sedang berada pada bilah yang mana. Aku hanya melangkah, dalam buta. Tanaya Esha. "Aku nggak peduli siapa kamu. Bagaimana lata...