BAB 6 Miss Stranger

6 2 0
                                    

Boram menatap langit senja. Merah api, ungu, biru yang perlahan bergeser kelabu, sampai seluruh rona berubah menjadi semburat jingga.

Bagaimana mungkin?

Bibirnya melengkung.

Jakarta. Surabaya. Kenapa dunia hanya seperti sepetak meja untukmu dan aku? Dini hari pukul 3:00, aku masih ingat. Pelanggan tatto keduabelasku baru saja berlalu. Kau didatangkan van hitam, aku tidak tahu pasti kau keluar sendiri atau didorong dari sana. Kau dan orang di dalamnya yang kutaksir lebih dari satu saling meneriaki. Kau lempari van itu dengan sepatumu sebelum akhirnya meninggalkanmu sebatang kara di tepi jalan.

Kau teriak-teriak seperti orang gila.

“Aku ke Jakarta mau jadi billionaire super model macam Gigi Hadid. Bukan mau jadi lonthe kek kalian! Bicth! Badan-badanku sendiri mau kalian jual sama pejabat hidung belang! Setan alas!”

Aku tidak tahu, apakah kegilaanmu cukup menarik. Biasanya aku tak suka memperhatikan perempuan. Entah kenapa kau beda, mataku tidak mau lepas darimu. Kau berjalan telanjang kaki. Caramu berjalan, rambutmu yang awut-awutan, matamu yang dingin dan berapi, aku terhisap. Kau akan melewati lapakku, sebelum itu, aku duduk di trotoar, menepuk-nepuk kotak peralatan tatto-ku. Kucoba merebut perhatianmu. Kupersembahkan sebuah lagu yang dipopulerkan Bruno Mars dan Travie McCoy, untukmu. Barangkali, ada gunanya meredakan kekesalanmu.

I wanna be a billionaire so fuckin’ bad…

Kau makin dekat, aku tak tahu apa yang membuatmu tertarik, kau membersamai nyanyianku pada liryc berikutnya.

Kau berhenti di depanku. Tertawa. Kita ulangi bait pertama sampai terakhir. Selesai duet, kau duduk di sisiku. Menyumbangkan senyum. Aku membalasmu. Lalu kau bertanya, apakah aku bersedia membuatkanmu tatto. Sebenarnya aku harus pulang, beberapa jam lagi aku harus bekerja di rumah sakit. Untukmu, pengecualian. Kutunjukkan semua gambar yang bisa kuaplikasikan di kulitmu. Kau memilih beberapa. Bulu melayang di tangan kanan, dengan latar daun-daun gugur, burung hantu di tangan kiri, dengan latar kegelapan dan bintang-bintang. Satu gambar bikinanmu kau minta diukir bersama jangkar dan lingkaran api. Bagiku, itu sangat ironi. Kau menggambar mata perempuan berbulu mata lentik, menangiskan darah.

Selesai kulakukan pekerjaan, kau minta tambahan gambar di bagian tubuhmu yang lain. Aku tidak punya ide di mana bisa kulukiskan tintaku pada bagian itu di tempat terbuka. Hanya satu tempat yang mungkin kita datangi. Di pojok sana.

Kau menutup papan wc duduk, mendudukinya. Membuka kancing kemeja hitammu, apa yang terlihat di sana menakjubkan, kulitmu bersinar terang, benderang menyilaukan pandangan.

“Phoenix.” Katamu.

Sepanjang bekerja, lenguh-lenguh kecilmu mengganggu konsentrasiku. Meski dengan gemetar, bermandi peluh, berulang-ulang menata fokus, akhirnya gambar itu selesai. Kau berkaca, menatap karya seniku. Senyummu mengembang. Berbalik menatapku. Kau memintaku duduk di papan wc. Aku terhipnotis, hanya menurut. Kau berjalan ke arahku, dengan berani menduduki kedua pahaku. Kalau begini, kau telah memancing bangun kobra yang tertidur.  Aku tidak tahu kau mau apa pada jarak sedekat itu, jantungku berdentam-dentam. Perlahan, lenganmu melingkari leherku, jemarimu menangkup tempurung kepalaku, kau miringkan kepala. Sekarang aku tahu harus bagaimana melayani maumu. Bibirmu empuk, hangat. Malu-malu.   

“My first kiss.” Katamu dengan pipi merona merah muda.

My first kiss too.

Sesuatu mendorongku menemukan bagian-bagian dirimu, kita hampir lupa diri dihanyut gelora, jika tidak diganggu gedoran pintu.

Kita keluar dari sana, sumpah serapah petugas kebersihan membuat kita terbahak bahagia. Ya, aku bahagia. Pertama kali aku merasa ganjil sekaligus merasa tergenapi. Betapa absurd. Bukankah selama ini aku bisa teguh atas sumpah tidak menyentuh wanita? Kau mengacaukan semua dengan sempurna. Atau sudah saatnya sumpah itu dilanggar?

Kau pergi, entah kemana. Tanpa sempat menyebutkan nama. Pertemuan kita terasa elusif. Tapi sungguh, aku terkesan, Miss Stranger.

Matanya mengaatup, udara senja selalu sejuk. Sebentuk kehangatan menyebar perlahan di seluruh nadinya. Sumpah itu telah tawar, telah batal karenamu.

Gawainya berdering, Rahman memanggil.

“Ya, Yah, Ayah sehat di sana? Kok batuk, sejak kapan? Sudah ke dokter?”

*

Pagi di taman belakang rumah Renald Tan.

Duduk di kursi tempatnya biasa berjemur, Renald mengangkat kedua tangan ke atas. Boram berdiri di depannya memberi aba-aba.

“Tujuh, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Bagus. Istirahat dua menit. Repeat untuk hitungan ke delapan.”

“Sudah, sudah. Capek. Kan sudah tujuh puluh kali.”

Boram tersenyum. Pengalaman bertemu pasien lansia yang tidak tertarik berolahraga dengan berbagai alasan.

“Harusnya seratus kali per-exercise. Om bisa, semangat.”

Tak ada pilihan lain, Renald menurut. Setelah selesai gerakan tangan, lanjut gerakan kaki, melemaskan sendi. Jalan santai lima belas menit. Jalan cepat sepuluh menit. Latihan pernapasan sepuluh menit. Sampai pekerjaannya selesai dalam empat puluh lima menit.

Ia sempatkan menelepon Rahman setiap ada kesempatan. Ayahnya semakin rapuh, sementara ia harus menjadi tulang punggung untuk penghidupan mereka. Rahman sempat membuka warung makan di Jakarta, namun tak bertahan, persaingan kuliner ibu kota terlalu kompetitif. Tidak seperti di Jilin, China dulu, warung Rahman menjadi satu-satunya kuliner Indonesia yang menyerap banyak pelanggan karena citarasa dan khas masakan Jawa. Ketika mendapat gaji pertama, ia meminta ayahnya pensiun dan menikmati masa tua di rumah. Hanya itu, cara berterima kasih atas segala perjuangan Rahman bagi hidupnya. 

*

Di lantai berkarpet ruang keluarga, Boram tertidur setelah semalaman menemani Renald begadang.

Berpasang-pasang kaki datang dan pergi. Perempuan di atas ranjang menyambut dengan senyuman. Kadang terdengar tawa-tawa. Kadang erang kesakitan perempuan, kadang tangis perempuan, kadang tamparan, kadang siksaan tangan-tangan jahat. Di bawah kolong ia menggigil sakit, sakit dan marah.

Wajah itu cantik, teramat cantik dengan kulit putih bersih tanpa cacat, rambut hitam panjang dan kaki jenjang. Wajah muda yang menatapnya penuh cinta. Setiap kali ia terlelap, kecupan bibir perempuan itu memberinya kekuatan.

“Kamu berharga, Sayang. Tidak ada yang lebih berharga dalam hidup ini selain cinta ibu pada anaknya. Karena itu namamu Boram.”

Suara itu menggema dalam kepala.

Wajah ibunya bersimbah air mata.

Ama.

Boram menggigil di lantai. Tubuhnya bergetar. Keringat membanjir.

Warung makan Indonesia. Wajah Rahman. Wajah ibunya, mata itu hampa.

“Aku mencintaimu.”

Suara yang sama kembali menggema.

Ama!

Tambang. Batu. Kerumunan orang-orang di tepi dermaga. Mayat. Duka. Kehilangan. Luka yang teramat dalam. Dan rasa terkhianati oleh kata cinta dan berharga. Pada akhirnya ia ditinggalkan sendirian.

Ama!

“Tidak… Ama!” Teriaknya. Air mata mendaras di pipi. Sebentuk tangan meraihnya, membangunkannya dari gigil. Memeluknya erat. Boram tak berdaya. Tangisnya tembus, tumpah ruah. Bahunya terguncang hebat. Tangannya meremas pakaian pemilik tubuh yang menopang tangisnya kuat-kuat.

“Everything will be okay, cry, cry…don’t hold back.” Bisikan perempuan hinggap di pendengarannya.

Tepukan lembut berulang-ulang di punggungnya memberi sedikit ketenangan. Hingga perlahan tangisnya reda. Baru saja, seseorang melihat sisi paling rapuh darinya. Sisi yang tak seorangpun pernah melihat. Sudah terlanjur. Kepalanya mengambil jarak. Miss Stranger.

Daniel melangkah gontai ke ruang makan. Baru saja, ia menyaksikan Boram dan Esha berpelukan. Sebuah ganjalan timbul di relung terdalam, entah bagaimana menyikapi. Tangannya bergerak melonggarkan dasi, mendesah berat.

To be continued
                                              

[RWM] Momento In Paradise : Ayundha LestariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang