MENGAPA

33 9 4
                                    

"Mafaza, kamu sudah hampir 10 tahun mondok loh nduk. Apa kamu masih belum kepikiran buat nikah juga?"

Pertanyaan Bunda saat menjengukku bulan lalu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Sambil merapikan kertas yang berserakan di atas meja aku terus mengutuki diri karena pertanyaan Bunda seolah mengatakan bahwa aku sudah menginjak usia yang cukup tua untuk masih tetap sendiri.

"Kenapa marah-marah." Suara bariton itu seketika mengejutkanku dan membuat tumpukan kertas yang berada di tanganku berserakan jatuh ke lantai.

"Ustad bisa tidak kalau masuk ke ruang kerja ustadzah putri itu ketuk dulu, atau minimal ucapkan salam dulu lah." Ujarku kesal.

Aku segera memunguti kertas yang berserakan di lantai, menatanya kembali dan meletakkannya di atas meja. Itu adalah lembar kertas ujian anak-anak kelas XII yang baru saja aku koreksi. Hampir semua nilai yang mereka dapatkan berada di bawah rata-rata. Hal itu juga membuatku semakin tersulut emosi. Apakah penjelasan yang aku berikan selama kegiatan belajar mengajar tidak bisa mereka pahami. Kenapa mereka tidak bertanya saat ada sesi tanya jawab. Rasanya isi kepalaku mau meledak detik itu juga. Segera kubalik badan dan melampiaskan semua amarahku pada orang yang baru saja mengejutkanku.

"Kenapa masih berdiri di situ. Ustad kalau tidak ada kepentingan lebih baik segera keluar. Tidak baik seorang laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom hanya berduaan saja. Apalagi di tempat yang sepi begini." Aku terus memarahi laki-laki yang masih berdiri mematung di ambang pintu, tanpa melihat wajahnya sama sekali.

Dalam hitungan detik, laki-laki itu belum juga pergi. Dia justru melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruang kerjaku. Tidak ada siapapun disini, ustadzah yang lain masih mengajar di kelas. Bagaimana jika terjadi hal-hal yang tidak diharapkan nanti. Siapa yang bisa mengelak jika setan sudah merasuki pikiran manusia.

"Astaghfirullah hal adzim, ustad jangan masuk ustad. Kita ini bukan mahrom, nanti bisa timbul fitnah." Aku mengibas-ngibaskan tanganku berharap laki-laki itu segera pergi.

"Maaf bu, ustad ini cuma nganterin saya aja kok. Saya santri baru disini." Seorang anak perempuan tiba-tiba masuk dan mengayunkan tangannya untuk bersalaman.

Aku yang sudah terlanjur malu menyambut tangan anak itu dan langsung mengajaknya duduk tanpa menoleh ke arah laki-laki yang mungkin sekarang sedang menertawakan kebodohanku barusan.

"Oh iya nama kamu siapa? Kenapa tidak mendaftar bersama kedua orang tua kamu?" Tanyaku pada anak perempuan yang sekarang duduk di hadapaaku.

"Aku udah gak punya orang tua, soalnya dari kecil aku tinggal di panti asuhan. Tadi kesini di anter sama pengasuh panti, tapi dia langsung pulang soalnya anak-anak panti yang lain gak ada yang jaga." Ujar anak itu pelan, aku bisa melihat ada kesedihan di wajahnya.

"Maaf ya kalau perkataan ustadzah membuat kamu sedih. Tapi tadi sudah menghadap Bu Nyai kan?" Aku menyodorkan kertas blanko yang harus  santri baru isi.

Anak itu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari pertanyaaklnku barusan. Ia segera mengisi blanko yang aku berikan. Setelah selesai, aku membaca ulang blanko tersebut untuk memastikan tidak ada yang salah.

"Alhamdulillah, sudah selesai, tulisan kamu bagus. Nanti Dzakiyah ustadzah antar ke kamar ya." Ujarku seramah yang aku bisa. Walaupun aku tau dia pasti sudah lebih dulu syok melihat kelakuanku tadi.

"Ustadzah, kalo mondok apa aku pasti bisa ketemu sama kedua orang tuaku?" Tanya Dzakiyah sambil menatapku penuh harap.

"Dzakiyah, insyaAllah diakhirat nanti kita akan disatukan dengan seluruh anggota keluarga kita yang beriman. Nanti kamu do'akan terus ya kedua orang tuanya." Aku menjawab sambil tersenyum. Sebenarnya aku ingin sekali bertanya lebih banyak. Tapi aku tau itu akan membuat lukanya semakin menganga.

Skala Istikharah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang