Wasiat

4 4 0
                                    

Setelah kekacauan yang kubuat, rasanya aku ingin segera mengurung diri di kamar saja. Apalagi Ustad Ameer tadi tidak sengaja melihat auratku. Judulnya sudah jatuh tertimpa tangga pula.

"Nduk, nanti tolong hidangkan minum untuk Mang Asep sama Nak Ameer ya." Ujar Bunda sebelum aku sempat melangkahkan kakiku untuk kembali ke kamarku.

"Mang Bachdim tolong ditemani dulu ya Nak Ameernya. Ibu mau lanjut menyiapkan yang akan di hidangkan nanti malam." Ujar Ibu mepersilahkan.

***

Selepas maghrib ibu-ibu mulai berdatangan, sebagian ada yang membawa snack untuk dibagikan juga kepada para tamu yang datang. Hal ini sudah lumrah di desaku, karena disini masih kental sekali dengan hidup.bergotong royong juga kekeluargaan.

Aku masih bersiap-siap di kamar, rasanya aku enggan untuk keluar karena masih merasa malu dengan kejadian sore tadi.

Tok tok tok

"Nduk Mafaza, dipanggil ibu sebentar." Suara Bude Menik mengagetkanku.

"Baik Bude, sebentar."
Dengan buru-buru aku merapikan jilbab dan langsung keluar dari kamar.

Bude Menik sudah berjalan menuju dapur, sedangkan aku mencari-cari dimana Bunda berada. Mataku mencoba berkeliling kesegala penjuru rumah. Sampai akhirnya pandanganku terhenti di Mang Asep.

"Untuk apa ibu ada disana bersama Mang Bachdim dan..."

"Mafaza" seseorang memanggilku.

Aku langsung menoleh kearah suara, semakin terkejut aku melihat sahabatku dengan gamis putihnya  berada di bawah pohon mangga yang tumbuh subur di halaman rumahku. Ditambah lagi dia melambaikan tangannya dengan posisi masih di dalam jilbab syar'inya.

Aku buru-buru berjalan ke arah Mazaya dan mengajaknya masuk.ke dalam. Karena di luar khusus untuk tamu laki-laki.

"Kedalam saja yuk, di luar khusus tamu laki-laki." Aku menggandeng tangan sahabatku itu, sudah lama sekali kami tidsk bersua. Terakhir kali kami bermain bersama sekitar 10 tahun yang lalu, sebelum aku mengenyam pendidikan di Pon-Pes dan Mazaya meneruskan sekolahnya di Korea karena Ayahnya mendapatkan pekerjaan disana.

" Eh gimana sih rasanya sekolah di pesantren?" Mazaya masih tetap sama seperti dulu. Rasa ingintau nya sangat tinggi. Wajar saja kalau Allah menakdirkannya untuk mengenyam pendidikan Negeri tetangga.

"Rasanya ah mantap, kamu harus mencoba menjadi santri sebentar saja Zay." Aku tersenyum kecil kearahnya.

"Wah kayaknya enggak deh aku gak akan sanggup. Tapi kamu cantik banget sekarang Faza." Mazaya mencubit pelan lenganku.

"MasyaAllah Alhamdulillah, aku masih aku yang dulu kok." Jawabku malu-malu.

Kami memilih duduk di pojok dekat dengan kamarku. Karena sudah cukup ramai tamu yang datang. Beberapa diantara mereka ada yang menyapaku ada juga yang terlihat bingung. Karena memang selama 10 tahun terakhir aku tidak pernah mau pulang ke rumah. Maka dari itu Bunda dan Ayah selalu rutin menjengukku satu bulan sekali. Karena setelah adikku meninggal karena sakit, aku menjadi anak tunggal di rumah ini.

"Nduk kapan pulangnya ?" Tanya salah seorang tamu yang biasa aku panggil Bi Tutik.

"Tadi pagi Bi." Jawabku sopan

Skala Istikharah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang