"Enak ya yang pulang lama." Faizah langsung menyeletuk ketus di hadapanku dan Mazaya.
"Eh apa-apaan kamu. Faza tuh Ayahnya baru aja meninggal. Gak punya empati banget." Mazaya yang kesal langsung menjawab perkataan Faizah.
Mendengan jawaban tersebut hanya membuat Faizah melengis dan pergi dengan acuh.
"Untuk apa kamu jawab perkataan perempuan yang tidak penting itu?" Tanyaku pada Mazaya.
"Kok kamu bisa sih diem aja, lawan dong, biasanya kamu selalu ngelawan deh." Protes Mazaya.
"Tidak ada gunanya mendebat orang bodoh Zaya." Jawabku singkat.
Mang Bachdim yang sudah selesai membawakan semua barang bawaanku segera keluar dari area Pon-Pes. Ia memilih untuk menunggu Bunda dan Mazaya di mobil sambil merokok.
"Ada apa to ribut-ribut?"
Tanya Bunda yang baru kembali dari kamar mandi."Tidak apa-apa Bunda." Jawabku.
Kami duduk di ruang tamu Pondok, setelah bertemu dengan Bu Nyai dan kembali memasrahkan (menitipkan) ku, Bu Nyai mempersilahkan kami untuk menyantap hidangan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu.
"Monggo, makan dulu, Mbak Mafaza orang tua dan saudaranya di ajak makan dulu ya." Ujar Bu Nyai santun.
Seorang Bu Nyai (pengasuh pondok pesantren) memang identik dengan keanggunan dan juga keluesan dalam menerima dan menjamu tamu. Bagaima mungkin aku pantas untuk bersanding dengan Ustad Ameer yang memiliki latar belakang keluarga kiyai yang sangat terpandang. Kasian sekali jika dia harus memiliki keturunan dari orang biasa sepertiku.
"Kenapa melamun? Monggo diajak orang tuanya." Ulang Bu Nyai setelah melihat aku masih mematung di hadapan Beliau.
"Ba.. baik Bu. Ayo Bunda, Zaya kita makan dulu." Ajakku pada Bunda dan Mazaya, tak lupa aku sedikit membungkukkan badanku sebagai tanda permisi pada Bu Nyai yang dibalas anggukan dengan wajah berseri.
Selesai menyantap makan malam, Bunda dan Mazaya berpamitan pada Bu Nyai untuk pulang. Tapi kali ini aku merasa berat sekali ditinggalkan oleh Bunda. Atau bisa dibilang aku yang meninggalkan Bunda sampai beberapa bulan kedepan.
Usai mengantakan Bunda ke gerbang Pondok, aku langsung berbalik, menenteng barang bawaanku dan berniat untuk segera kembali ke kamar agar bisa merebahkan tubuhku yang sudah cukup lelah ini. Sepertinya yang merasa sangat lelah adalah batinku.
"Mbak Mafaza" Bu Nyai memanggilku.
"I..iya Bu" Jawabku sopan sambil mendekat ke arah Bu Nyai.
"Duduk dulu sini, kenapa kamu terlihat seperti sedang gundah gulana?" Selidik Bu Nyai.
"Tidak apa-apa Bu." Jawabku sambil tetap menundukkan pandanganku.
"Ibu tau kehilangan orang tua memang sedih rasanya, tapi ibu yakin orang tuamu pasti bahagia disana. Lagipula bulan depan kamu wisuda hafidzah kan, sudah siap gelondongannya ?" Bu Nyai mencoba menghiburku. Serta menanyakan kesiapanku untuk khataman hafidz qur'an bulan depan.
"Maaf Bu sepertinya saya belum siap." Ujarku pelan.
Air mataku menetes perlahan, rasanya berat sekali jika harus ikut khataman dengan keadaan seperti ini. Bahkan selama di rumah aku tidak sempat menekror hafalanku. Terlalu banyak yang aku pikirkan, ini dan itu.
"Apa ada sesuatu yang mengganjal? Coba kamu cerita sama Ibu, di sini Ibu adalah Ibumu." Bu Nyai beringsut duduk mendekat padaku.
"Bu, bagaimana cara kita mengetahui seseorang itu jodoh kita atau bukan?" Tanyaku sekenanya.
"Kamu di jodohkan Mbak? Sama siapa?" Tanya Bu Nyai lagi.
"Almarhum Ayah menitipkan sebuah wasiat, bahwa saya harus menikah dengan anak dari temannya Ayah Bu." Jawabku lirih. Kali ini air mataku mengalir deras sekali. Bahkan aku sampai tidak sadar jika sudah sesegukan di depan Bu Nyai.
"Sudah tidak apa-apa, jika Agamanya baik, nasabnya baik tapi kamu masih ragu, cobalah untuk istikhoroh." Jawab Bu Nyai sambil mengusap pelan kedua punggung tanganku.
Ya Allah bagaimana bisa aku lupa bahwa Engkau telah memberikan banyak cara untuk mengetahui baik atau buruknya suatu perkara.
Mendengar perkataan Bu Nyai membuatku sadar bahwa yang harus aku lakukan adalah bersandar kepada Sang Pemberi Takdir. Kepada Zat yang menciptakan hati juga memberi rasa di dalamnya. Kenapa aku bisa melupakan Nya. Hamba macam apa aku ini.
Aku terus mengutuki diriku dalam hati. Langkahku gontai menuju kamar. Sampai beberapa teman yang melihatku langsung sigap membantuku membawa barang bawaanku.
"Yeees banyak I N ( baca : i en )" Fatma yang juga pengurus pondok sekaligus ustadzah langsung menyambutku dengan sumringah
Suasana kamar di Pondok memang tidak bisa digantikan oleh apapun. Aku langsung merebahkan tubuhku di karpet, membiarkan teman satu kamar membuka jajan yang aku bawa.
"Ust, tak buka ya" ujar Fatma.
"Iya buka saja, berbagi dengan yang lain ya, kalau cukup kamar pengurus yang disebelah bagi juga." Jawabku.
Kamar masih sepi karena beberapa Ustadzah masih mengajar kelas Diniyah jam segini. Setiap kamar pengurus berisi 7 hingga 10 pengurus, sedangkan untuk kamar santri yang masih bersekolah berisi 8 hingga 12 santri. Pon-Pes ini adalah Pon-Pes semi modern, asrama santri putra dan putri terpisah, tetapi antar pengurus masih bisa bertemu. Oleh sebab itu Fathan leluasa mencuri-curi pandang padaku disetiap kesempatan. Apalagi kami berada dalam satu bagian kepengurusan yang sama.
"Haduh, Ustadzah Fatma aku ke kolah (sebutan untuk kamar mandi) dulu ya." Ujarku sembari terburu-buru membuka pintu kamar.
"Hati-hati beberapa kolah sedang dalam perbaikan." Ujar Fatma.
Tapi aku tidak menghiraukan ucapannya karena sudah benar benar tidak tahan. Dengan cepat aku melangkahkan kakiku ke kolah bawah. Betapa terkejutnya aku ternyata banyak ustad yang sedang bergotong royong memperbaiki kolah.
"Astaghfirullah" aku setengah berteriak.
Para ustad itu spontan menoleh ke arahku, hampir semua dari mereka mengenaliku, karena aku juga salah satu vokal Pondok yang sering tampil dalam acara-acara besar pondok.
"Mafaza, ngapain ke sini." Ustad Fathan dengan sigap menghampiriku.
Baru kali ini aku menatapnya sedekat ini, meskipun tubuhnya wangi kamar mandi tapi harus aku akui dia tidak kalah tampan dengan Ustad Ameer. Dengan cepat aku menundukkan pandanganku. Tapi aku tidak bisa menutupi wajahku yang mulai memanas.
"Fiwit... MasyaAllah Guse." Teriak salah seorang Ustad yang sedang menyusun batu bata.
Aku langsung berdecak jengkel dan membalikkan badan, rasa ingin buang air kecilku tiba-tiba hilang begitu saja. Akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar dan tidur.
"Loh loh kok cemberut. Udah pipisnya, cepet banget." Fatma mencecarku dengan beberapa pertanyaan.
"Sssttt diam, aku mau tidur saja." Jawabku.
"Mulai kumat deh." Gerutu Fatma.
"Hem aku bisa mendengarmu." Jawabku lagi.
Malam itu rasanya aku hanya ingin waktu cepat berlalu dan berharap Ustad Fathan dan teman-temannya tidak mengingat kejadian barusan.
Apa ini tandanya Ustad Fathan dan Mafaza berjodoh ?
Penasaran ?
Sama
Aku juga
KAMU SEDANG MEMBACA
Skala Istikharah [TAMAT]
RomanceTerjerat cinta segitiga bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi jika orang yang terlibat kisah cinta segitiga ini berasal dari keluarga terpandang. Selepas kepergian sang Ayah dua minggu yang lalu, Mafaza masih terlihat murung. Kesedihannya bukan se...