Jumpa

10 5 0
                                    

"Bunda, mana Ayah Bund?" Aku langsung menanyakan keberadaan jenazah Ayah, karena dari kejauhan aku bisa melihat tidak ada orang yang datang melayat.

"Nanti kalau sudah sampai Bunda ceritakan semua ya nduk." Ujar Bunda sambil mengusap pelan bahuku.

Perasaanku sudah tidak enak, Ayah adalah salah satu orang terpandang di desa ini. Jika memang benar beliau meninggal, pasti banyak warga desa yang berdatangan untuk takziah. Tapi kenapa rumah kami terlihat sepi, hanya ada 2 unit tenda di depan rumah dan beberapa kursi yang sudah disusun bertumpuk.

Mang Bachdim memarkirkan mobil kami di halaman samping. Aku yang masih merasa lemas dibantu Bunda untuk turun. Bayangan masa lampau dimana aku dan ayah sering sekali menghabiskan waktu untuk bermain di halaman ini membuat air mataku tak dapat kubendung lagi. Tubuhku lunglai, rasanya seperti tak ada tulang yang mampu menyangganya.

"Mang tolong ini si nduk kayaknya mau pingsan lagi." Ujar Bunda panik.

Dengan sigap Mang Bachdim menopang tubuhku, aku yang tidak pernah mau disentuh oleh yang bukan mahrom tidak bisa mengelak saat Mang Bachdim menggendongku untuk masuk ke dalam rumah karena kakiku benar-benar lemas.

"Mana Ayah Bun?" Aku kembali bertanya pada Bunda dengan isak tangis yang semakin menjadi-jadi.

"Maafin Bunda nduk, sebenarnya Ayahmu sudah meninggal 2 hari yang lalu. Tapi Bunda baru sempat mengabari kamu kemarin." Bunda memelukku, kali ini beliau sudah tidak bisa menahan air matanya lagi.

Mang Bachdim yang sedang merapikan barang bawaan kami hanya bisa memandang iba kearah kami. Tiba-tiba ia mendekat ke arah aku dan Bunda.

"Astaghfirullah kenapa Mang Bachdim mendekat. Ya Allah lindungi aku dan Bunda ya Allah." Aku berkata dalam hati.

Ia menjulurkan tangannya ke arah Bunda. Ingin rasanya aku memarahinya karena belum 40 hari Ayahku meninggal, bisa-bisanya Mang Bachdim mau mendekati Bundaku.

"Maaf Bu, ini ada titipan dari Bapak sebelum beliau meninggal." Mang Bachdim memberikan sebuah amplop pada ibuku.

Untung saja aku belum jadi mengutarakan isi otakku barusan. Bisa malu aku dibuatnya, entah mengapa beberapa hari ini aku selalu merasa kesal. Apa semua karena ulah Ustad yang menyebalkan itu, Fathan Aldrich Syandira. Namanya sih memang bagus, bahkan ia digadang gadang sebagai ustad paling tampan di Pon-Pes. Tapi siapa yang menyangka kalau ternyata tingkahnya se-mengilfeelkan itu.

Terhitung sejak dua bulan yang lalu, sudah 10 kali dia menyatakan perasaanya padaku. Bahkan satu kali dia pernah terang-terangan mengatakan di depan teman-teman ustadzah yang sedang melakukan ro'an ndalem bersamaku. Padahal dia tau peraturan Pon-Pes bahwa Ustad dan ustadzah harus menjaga muru'ah dan juga menjadi contoh bagi santri yang lain. Kenapa dia justru memberikan contoh buruk.

"Terimakasih Mang." UjarBunda sembari menerima amplop yang diberikan oleh Mang Bachdim.

Kemudian Mang Bachdim berpamitan untuk pulang cepat karena istrinya yang sedang hamil tua ada jadwal kontrol hari ini.

"Nduk, kamu saja yang buka ya." Bunda menyerahkan amplop cokelat tersebut padaku. Aku masih enggan untuk membukanya. Jadi aku letakkan saja di atas tempat tidur.

"Bunda kenapa tidak mengabariku lebih awal?" Aku kembali bertanya dengan air mata yang masih terus membasahi pipi.

Bunda memelukku erat, tangis kami pecah ditengah kamar yang semakin sunyi. Kemudian Aku merebahkan kepalaku pada pahanya. Hingga tanpa sadar kami sama-sama terlelap.

***

"Assalamu'alaikum" Suara seorang laki-laki terdengar dari balik pintu rumah.

"Tolong buka pintunya nduk, Bunda mau menyiapkan minuman untuk tahlilan nanti malam." Ujar Bunda padaku.

"Ya Allah siapa sih yang bertamu menjelang maghrib begini." Gerutuku kesal.

Aku berjalan sambil menghentakkan kaki menuju pintu dan membukanya dengan kasar.

"Wa'alaikumussalam."

Betapa terkejutnya aku ternyata yang bertamu adalah Ustad Ameer putra Abah Ghofar pengasuh Pon-Pes Salafiyah yang cukup masyhur di kota tempatku tinggal.

"Maaf Mbak, Ibu nya ada ?" Ujar Ustad Ameer sopan.

Aku yang mati kutu hanya mengangguk dan mempersilahkannya masuk. Tetapi ia menolak karena di rumah ini hanya ada aku dan Bunda saja.

"Saya tunggu disini saja." Ustad Ameer sedikit membungkukkan pundaknya kemudian duduk di kursi teras rumahku.

Dengan tubuh yang gemetar aku segera masuk dan memanggil ibu. Bagaimana bisa seorang Ustad muda yang terkenal itu tau rumahku. Hampir setiap hari ustadzah seperjuanganku menceritakan tentang pesona Ustad Ameer. Ternyata beliau memang setampan dan seberwibawa itu.

"Bund, ada ustad Ameer di depan, bagaimana...."
Belum selesai aku mengucapkan kalimatku, Bunda sudah lebih dulu memotong pembicaraanku.

"Eh itu nak Ameer anaknya temen Ayah. Kenapa gak disuruh masuk. Kamu ini gimana to nduk." Bunda memberikan lap yang berada di tangannya kepadaku, menyuruhku lanjut mengelap cangkir yang akan digunakan nanti malam. Lalu ia segera menemui Ustad Ameer.

"Anak temannya Ayah. Tapi Ayah tidak pernah bilang kalau temannya ada yang menjadi Kiyai yang masyhur."
Aku terus bertanya-tanya. Sembari meneruskan pekerjaan Bunda.

Wajah Ustad Ameer terus terngiang-ngiang di kepalaku, senyum yang terukir dibibirnya tadi, sorot matanya yang teduh, tubuhnya yang tegap berisi, serta pembawaannya yang berwibawa, serta wangi tubuhnya yang maskulin, sungguh akan membuat siapapun kagum padanya. Bahkan aku mulai senyum-senyum sendiri membayangkan Ustad Ameer.

PYAAAAARRRR

"Astaghfirullah hal adzim" Aku, Bunda dan Ustad Ameer yang berada di luar terdengar mengucapkan istighfar bersamaan.

Dengan cepat aku membersihkan pecahan gelas yang hampir mengenai kakiku. Kenapa aku harus membayangkan Ustad Ameer, padahal sebelumnya aku tidak pernah seperti ini. Memang benar ternyata menjaga pandangan itu jauh lebih baik. Untung saja gelas tadi tidak benar-benar mengenai kakiku. Mungkin ini teguran dari Allah  karena aku telah memikirkan orang yang bukan mahromku.

"Ada apa nduk?" Suara Bunda terdengar panik.

"Tidak apa-apa Bund." Jawabku cengengesan.

"Maaf mbak roknya bisa tolong di tutup ke kakinya. Biar saya bantu membersihkan pecahan kacanya."

Suara Ustad Ameer membuat bulu kudukku merinding. Kali ini bukan karena suaranya seperti setan, tetapi karena suaranya benar-benar menggetarkan jiwaku.

Aku yang tidak sanggup mengeluarkan sepatah katapun langsung beringsut menutupi kakiku dan berjalan mundur dengan posisi jongkok. Kebodohan yang lambat kusadari, harusnya aku berdiri dan berpaling bukan berjalan jongkok begini.

Fiuh,, kalo kalian jadi Mafaza apa yang bakal kalian lakuin gaes??

Kira-kira gimana ya kelanjutannya??

Tunggu besok ya
See yaa
Pay pay

Skala Istikharah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang