Kejutan

2 1 0
                                    

"Ustadzah ngapain ?" Suara Dzakiyah menghentikanku yang mondar-mandir sedari tadi.

"Bundanya Ustadzah belum sampai juga, padahal acara khatamannya sebentar lagi." Jawabku. Lalu aku kembali mondar-mandir memantau sekitar, kalau saja Bunda sudah sampai.

Semakin hari aku dan Dzakiyah semakin dekat. Tidak jarang dia meminta bantuanku dalam urusan pelajaran. Apalagi setelah dia tau bahwa nama tengahku sama dengan namanya. Hal itu membuatnya merasa mempunyai saudara meskipun dari rahim yang berbeda.

"Pengumuman, Para peserta khataman diharapkan untuk segera memasuki area khataman. Terimakasih."

Setelah mendengar pengumuman membuatku semakin gerogi dan khawatir. Karena Bunda sudah berjanji akan datang. semenjak kejadian yang menimpa Fatma, aku menjadi lebih cepat cemas.

"Semoga bunda tidak apa-apa dan segera sampai." Ujarku pelan.

"Aaamiin"
Ternyata Dzakiyah mendengarkan do'aku.

Dengan perasaan yang masih campur aduk, aku mengikuti peserta yang lain memasuki area khataman. Sedangkan Dzakiyah memberikanku 2 jempolnya sebagai penyemangat

Setelah semua peserta lengkap, kami langsung menyusun formasi seperti yang sudah ditentukan sejak jauh jauh hari. Jika biasanya santri terbaik diletakkan di depan. Saat khataman justru santri dengan penilaian terbaik disebutkan paling akhir.

Acara khataman sudah berlangsung setengah jalan, tetapi aku tidak juga melihat ada tanda-tanda kedatangan Bunda. Sebentar lagi pembagian ijazah, orang tua dan wali santri yang lain sudah sibuk menyiapkan diri untuk sesi foto di panggung nanti. Sedangkan aku masih menanti.

"Nduk maaf nggih Bunda telat." Ujar Bunda sembari memegang bahuku.

Aku terlonjak kaget, nyaris saja togaku jatuh. Untung Bunda dengan cepat menahan dan membenarkan posisinya. Senyumku seketika merekah, hatiku yang tadinya gundah gulana kini terasa bungah.

"Oh iya Bunda mengajak nak Ameer." Ujar Bunda sambil tersenyum dan mempersilahkan Ustad Ameer mendekat pada kami.

Seluruh mata seketika tertuju padaku, sedangkan aku hanya bisa diam membisu, tertegun sekaligus malu. Bukan karena aku tidak bahagia tapi karena aku bingung harus berbuat apa. Terlebih dari kejauhan aku melihat sepasang mata melihatku penuh tanda tanya.

"Dan yang terakhir, santri terbaik tahun ini ananda Mafaza Dzakiya Fazluna binti Bapak H.Gufran Fazluna."

Mendengar namaku dipanggil dengan sigap aku segera naik ke atas panggung, disusul Bunda dan Ustad Ameer. Sebenarnya aku ingin mengatakan ustad jangan ikut. Tetapi aku tidak enak hati, hingga kubiarkan saja ia naik dan menjadi pusat perhatian para santri yang aku tau sebagian besar mengidolakannya. Aku bisa melihat ada beberapa santri yang bisik-bisik sembari sesekali melirik ke arahku.

Setelah rangkaian acara khataman selesai, seluruh santri di perbolehkan untuk kembali ke kamar masing-masing lebih dulu. Kemudian disurul tamu undangan beserta santri yang mengikuti khataman. Lega sekali rasanya, waktu 10 tahunku sungguh bermanfaat.

"Mafaza, maaf kalo kedatangan saya bikin kamu kaget." Ujar Ustad Ameer.

Mendengar ucapannya rasanya aku ingin pingsan. Aku bahkan tidak berani melihat kearahnya. Dan hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil dan sedikit senyuman.

"Nduk, nanti Bunda sekalian izin ke Bu Nyai untuk bawa kamu pulang ya."

Aku kaget mendengar perkataan Bunda dan sempat menolak. Tapi beliau berkata bahwa beliau sangat kesepian di rumah. Jadi mau tidak mau menurutku selain ridho guru, ridho orang tuaku juga penting.

"Terserah Bunda saja mana baiknya Bun." Jawabku pasrah

Bunda terlihat tersenyum, melihat beliau sebahagia itu sudah cukup membuatku senang. Tapi aku masih tetap tidak berani menatap sosok laki-laki yang ada di samping Bunda saat ini. Entah apa yang Bunda pikirkan sampai membawa Ustad muda yang tersohor itu ke acara khatamanku. Aku yakin akan ada huru-hara besok pagi.

Skala Istikharah [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang