Carter Vinci mengerti alasan orang-orang pergi dari kehidupannya.
Joha, asisten Carter Vinci terdiam tidak bergerak didepan pintu karena pertama; atasannya, Carter Vinci, tersenyum sangat lebar didepan komputer. Jemari pria itu bergerak, sesekali terdengar suara mouse atau ketikan di keyboard. Kedua; sebelah tangan pria itu menutupi rahangnya, menyembunyikan seringaian yang Joha tahu akan muncul ketika atasannya memiliki satu jadwal yang tidak akan bisa diganggu oleh siapapun. Ketiga; Joha kemudian tersenyum tipis karena itu artinya ia akan pulang cepat hari ini.
"Joha," Carter Vinci menyadari kehadiran asisten yang bekerja dengannya di Venaria Reale. "C'è qualcosa che vuoi parlarmi?" (1)
"Il dipinto è pronto. Vuoi controllarlo?" (2) tanya Joha kepada Carter. Il Bacio, lukisan yang dibuat oleh Francesco Hayez pada tahun seribu delapan ratus lima puluh sembilan, kini berada di ruangan khusus setelah Carter membawanya dari Pinacoteca di Brera, museum yang mengoleksi karya seni periode Renaissance hingga abad dua puluh, yang berada di Milan. Il Bacio, awalnya dimiliki oleh keluarga Visconti selama dua dekade hingga kepala keluarga tersebut meminjamkannya kepada Pinacoteca di Brera. Carter Vinci yang membutuhkan lukisan tersebut kemudian membuat penawaran selama dua bulan lamanya kepada Romeo Visconti – direktur Pinacoteca di Brera – untuk dipinjamkan kepadanya. Dan hari ini, senyum diwajahnya tidak terhitung berapa kali muncul saat mengingat apa yang akan ia lakukan nantinya kepada lukisan tersebut.
Carter menjawab, "Aku akan ikut mengemasnya setelah ini, Joha. Non più?" (3)
"Saya sudah mengubah jadwal interview dengan Meer." Carter mendengarkan tanpa mengurangi kecepatan pekerjaannya. Joha melirik sekilas sebelum akhirnya melanjutkan, "Detail acara selanjutnya di minggu depan akan saya sampaikan setelah cuti Anda, Signore." Joha yang telah bekerja selama dua tahun terakhir, tahu bahwa setiap enam bulan Carter akan mengambil cuti. Atasannya yang otoriter, dingin, si mata hijau dengan wajah paling datar sedunia, akan bertemu dengan seorang wanita.
Joha tidak pernah bertemu secara langsung dengannya. Hanya satu kali ia tidak sengaja melihat sebuah foto atasannya dengan wanita tersebut. Demi dewi Athena, wanita tersebut sangat cantik namun sayang ia tidak bisa mengingat dengan jelas mengingat Carter – si atasan paling tidak peka, sudah memelototinya dengan kejam.
Sudah dibilang, Carter Vinci mungkin kurator paling tajam yang pernah dikenalnya. Dengan mata, maupun lidah.
Atau mungkin tidak. Kepada satu wanita. Dua belas jam kemudian, Carter Vinci kini menatap penuh damba kepada wanita yang berada dibawahnya tanpa sehelai benang yang menutupi tubuh mereka.
"So tell me, Vinci." Carter tidak memercayai cinta. Tapi jantungnya yang berdetak dengan cepat setiap kali wanita tersebut memanggil namanya, atau fakta bahwa ia tidak ingin tidur dengan wanita siapapun selain wanita dibawahnya, Carter tidak tahu apakah berdosa dirinya jika menganggap itu semua adalah cinta.
"Apa isi peti diluar?" Tawa yang terdengar seperti lonceng keluar dari mulut wanita tersebut. "Aku tidak mau tidur dengan kamu kalau ternyata ada mayat di rumah ini."
Carter tergelak. Tidak setuju dengan pernyataan tersebut mengingat mereka sudah selesai melakukannya. "Sayang sekali, serpihan kehidupan Hayez adalah isi peti itu. Apa artinya kamu tidak ingin bercinta dengan aku lagi, Evie?"
Evelyn Tierney Graham membelalakkan mata karena terkejut. "B-bagaimana kamu mendapatkannya?"
"Sudah aku bilang, kurator adalah profesi terbaik sedunia." Iris mata hijau tua Carter seolah menjelaskan, aku sangat hebat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Run
RomanceLong Run | #2 Mint Series © 2023 Grenatalie. Seluruh hak cipta.