Bab 2. Come Back

7 3 1
                                    

Pagi ini, aku seperti menyerap semua energi baik yang semesta siapkan. Bangun di pagi hari dengan keadaan yang sangat baik adalah satu hal yang harus aku syukuri.

Aku membersihkan diri dan bersiap untuk sarapan bersama keluargaku. Aku menuruni tangga dengan semangat empat lima. Bangga karena aku bisa bersiap sepagi ini.

Akan tetapi, senyumku seketika luntur ketika menyadari bahwa aku lah orang terakhir yang sampai di meja makan.

"Lah, tadi senyumnya mekar banget kayak bunga matahari Bunda di depan rumah, kenapa langsung kecut gitu, Kak?" Keysa, adikku menjadi orang pertama yang menyadari perubahan raut wajahku.

"Kirain Lista udah bangun pagi, bakalan duluan sampai d meja makan. Ternyata tetap jadi yang paling akhir."

Semua yang ada di meja makan serentak menertawakanku.

"Kok diketawain, sih?"

"Lagian kamu lucu, sih, Sayang. Coba kamu lihat ini udah jam berapa?" tanya Ayah, yang baru saja bisa mengendalikan tawanya.

"Jam tujuh, Yah. Kenapa emang?"

"Kalau kamu mau sampai duluan di meja makan, kamu harus sampai sini jam 5. Karena Bunda dari jam 5 udah mulai masak."

"Ya mana bisa, Yah. Orang Kak Lista aja tiap habis sholat tidur lagi. Seminggu juga paling satu dua kali yang nggak Key bangunin."

"Iya percaya, Key anak Bunda yang paling rajin bangun pagi," sahutku.

"Udah-udah, nggak baik ribut di depan rezeki," lerai Bunda yang akhirnya membuat suasana meja makan menjadi sepi lagi.

Kami menikmati makanan kami, tanpa ada yang berbicara sampai semua selesai.

"Abang pamit dulu, ya."

"Lah, Abang mau kemana pagi-pagi gini?"

"Ya, kerja lah, emang kemana lagi?"

"Jadi Abang pulang cuma buat acara semalam?" tanyaku heran. Sedang abangku hanya mengangguk mengiakan.

"Emang bener sultan. Buang duit buat pulang pergi Jakarta-Bali cuma buat ngerayain adiknya yang putus pacaran," sindirku.

Bang Ardi tertawa mendengar celotehanku, sedangkan Ayah dan Bunda hanya menggelengkan kepala.

"Loh, kok, Key nggak diajak?"

"Anak kecil nggak boleh ikut-ikutan."

"Ih, Kak Lista mah, gitu."

"Udah yuk berangkat, nanti kamu telat."

Semenjak aku mengakhiri hubungan dengan Reynan, Keysa selalu memintaku untuk mengantarnya ke sekolah. Padahal, dulu Reynan juga sering menawarinya untuk berangkat bersama, tetapi Keysa selalu menolak dan memilih untuk diantar Ayah atau Bunda.

Setelah memastikan Keysa masuk ke sekolahnya, aku bergegas untuk berangkat ke kampus, karena ada kuliah pagi ini.

"Hai, Ta," sapa Sisi yang kebetulan juga masih ada di parkiran.

"Hai." Aku melihatnya sekilas, kemudian bergegas untuk segera pergi dari hadapannya.

Tidak, aku tidak membencinya. Aku hanya kecewa dengan apa yang sudah terjadi. Dan menjaga jarak adalah pilihan yang kuambil saat ini. Karena aku tidak ingin salah langkah. Dan aku juga telah bertekad untuk pergi dari apa pun atau siapa pun yang berhubungan dengan Reynan.

Sejauh ini, kehidupanku di kampus masih terbilang aman. Karena Reynan tengah menjalankan KKN di luar kota. Jadi aku tak perlu bersusah payah untuk menghindarinya.

Aku menyapa siapa saja yang berpapasan denganku ketika berjalan di koridor.

Jangan heran mengapa aku bisa mengenal mereka semua? Saat awal masuk kuliah, aku sangat aktif mengikuti berbagai kegiatan yang ada. Dan mulai sekarang, aku akan kembali menjadi Calista yang dulu orang-orang kenal.

"Hai, Ta," sapa Annisa, ketua tim jurnalistik kampus.

"Oh, hai, Nis, baru dateng, ya?"

"Iya, kok, tumben sendirian?"

"Kalau gue masih sama Rey, kayaknya nggak mungkin deh, lo nyamperin gue gini," godaku.

"Tau aja lo kalau gue segan sama Rey."

"Udah tenang aja, sekarang semua udah bebas lagi nyapa dan nyamperin gue kapan pun."

"Kenapa gitu?"

"Gue udah nggak sama Rey lagi," jelasku.

Memang belum banyak yang tahu tentang perpisahan kami berdua. Mereka menyangka jika selama dua minggu ini aku terlihat sendiri karena memang Reynan yang sedang berada di luar kota.

"Eh, sori gue nggak tau."

"Santai aja kali. Eh, gue masuk dulu ya," pamitku ketika telah sampai di depan kelas.

"Oke, main-main ke ruang jurnalistik. Anak-anak pada kangen." Aku hanya membalas dengan mengacungkan jempol dan tersenyum ke arah Annisa.

Bukan mereka saja yang rindu, aku pun merasakan hal yang sama. Merindukan segala aktivitas yang dulu menjadi rutinitasku setiap hari.

Mungkin setelah ini, aku akan kembali aktif dengan berbagai kegiatan yang pernah kugeluti dulu.

Pelampiasan? Nggak juga sih. Entah mengapa aku bisa secepat ini mengikhlaskan apa yang terjadi padaku.

Namun, aku juga bersyukur akan hal itu. Karena aku tak perlu bersusah payah mencari tempat pelampiasan. Walaupun setelah ini, aku merasa akan lebih sulit untuk menerima orang baru di hidupku. Biarlah, aku tak ingin terlalu memusingkan semua hal itu. Aku hanya ingin menikmati masa mudaku, mengikuti kata hati, dan berjalan sesuai dengan apa yang aku inginkan.

"Hai Vin, Brina belum dateng, ya?" tanyaku pada Vina yang tengah sibuk dengan ponsel di tangannya.

"Tadi sih, katanya udah di parkiran."

"Eh, gue tadi juga ketemu Sisi di parkiran."

"Yang bener? Terus gimana?"

"Dia nyapa gue duluan, ya udah gue jawab singkat aja, sambil lalu."

"Takut gagal move on lo, ya?"

"Enak aja, gue udah ikhlas lahir batin. Kayaknya mereka berdua emang cocok."

"Selama ini kemana aja, Neng? Bukannya gue udah ngasih tahu ya, bahkan dari beberapa bulan awal lo jadian. Tapi mata sama telinga lo ketutup. "

"Iya, iya, maaf. Kalau sekarang gue udah sadar seribu persen."

Aku teringat, dulu, saat awal aku berpacaran dengan Reynan, Vina lah yang memiliki bukti bahwa Reynan dan Sisi punya hubungan lebih. Namun, aku selalu menutup mata dan telinga. Aku selalu berada di pihak Reynan. Sampai aku dan Vina sempat agak sedikit bersitegang.

Sampai akhirnya, aku baru mau mengakui kedekatan mereka saat aku sudah melihatnya secara langsung dengan mata kepalaku.

Aku tahu, aku bodoh. Bahkan, untuk sekadar menyadari ada wanita lain di hubungan kami, aku harus terjebak dalam hubungan toxic selama hampir tiga tahun lamanya. 

[RWM] Calista : Zya El ZaayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang