Bab 4. Kereta Api

4 0 0
                                    

"Udah bawa matras?

"Udah."

"Kalau senter?"

"Udah, Bi."

"Kotak P3K?"

"Udah."

"Jas hujan jangan lupa."

"Udah, semua, Abi...!!! Ya Allah...gue itu bukan amnesia, cuma lama nggak naik gunung. Jadi gue masih paham apa aja yang harus gue bawa." Aku benar-benar di buat pusing dengan semua pertanyaan yang Abi lontarkan.

Pasalnya ia seperti sedang mendikte seseorang yang sama sekali belum pernah naik gunung. Padahal kami berdua telah melakukan kegiatan ini semenjak SMA.

"Ya kan gue cuma memastikan, takutnya ada barang penting yang ketinggalan."

"Udah deh, lo mendingan bantuin gue packing. Gue mau mandi dulu, nanti kita ketinggalan kereta."

"Sama aja boong. Akhirnya gue juga kan yang packing."

"Udah nggak usah ngedumel, bantuin gue pahalanya gede."

Aku segera berlalu meninggalkan Abi yang tengah sibuk memasukkan barang-barang yang akan kami bawa untuk pendakian.

"Loh, kok enteng banget career gue?"

"Iya, punya gue masih longgar, jadi sebagian perlengkapan lo ada disini." Abi menunjuk career kapasitas 50 liter miliknya.
Selalu seperti itu, ketika melakukan pendakian bersama Abi, aku hanya akan membawa perlengkapan pribadi di ransel. Dan Abi akan membawakan sisanya.

"Udah siap semua?" Ayah bertanya pada kami yang tengah meributkan sepatu mana yang akan ku pakai.

"Udah yah."

"Yuk, berangkat, nanti kalian ketinggalan kereta."

Kereta adalah alat transportasi yang kami pilih untuk menuju kota Yogyakarta.

Gunung Merbabu di Magelang, Jawa Tengah adalah tujuan pendakian kali ini. Gunung dengan ketinggian 3145 mdpl itu, merupakan gunung ketiga di Jawa Tengah yang akan ku daki.

Tak ada persiapan khusus kali ini, karena walaupun telah lama absen dari dunia pendakian, tapi aku masih hafal dengan baik bagaimana cara memposisikan diri dan mengatur tubuh.

Walaupun begitu, aku tak mau terlalu pongah. Karena sejatinya, ketinggian gunung akan selalu mengajarkan pada kita, bahwa semakin kita naik, akan semakin terlihat bahwa kita kecil di hadapan-Nya.

Lima belas menit, waktu yang di butuhkan untuk sampai di Stasiun Pasar Senen. Kami akan bertolak dengan KA Progo, menuju ke Stasiun Lempuyang, Yogyakarta.

Setelah berpamitan kepada Ayah, aku dan Abi bergegas untuk menuju peron.

Tak butuh waktu lama menunggu, setelah kereta tiba, kami bergegas memasuki gerbong kereta. Malam ini, kereta tak terlalu ramai, mungkin karena ini baru stasiun pertama, ataupun mungkin karena jarang orang yang melakukan perjalanan malam.

Aku dan Abi duduk berdampingan didalam kereta.

"Do'a dulu," Abi menggenggam tanganku dan kami segera menundukkan kepala untuk berdoa.

Perjalanan mengajarkan kami bahwa hanya tuhan tempat kami berserah. Karena apapun yang terjadi ke depan adalah ketetapan yang sudah tuhan gariskan.

Gelap malam bertabur bintang menemani perjalanan kami kali ini. Aktivitas jalanan yang mulai lengang menandakan bahwa dunia sudah mulai beristirahat dari berbagai aktivitasnya.

"Udah ngantuk belum?"

"Belum sih, kenapa emang?"

"Mau ngemil nggak?"

"Mau dong."

Aku mengambil sebungkus makanan ringan yang Abi sodorkan.

"Ta.."

"Hem.."

"Bener, lo udah baik-baik aja?"

Aku yang sedari tadi tengah menikmati suasana malam berbalik menatap Abi.

"Kenapa tanya gitu?"

"Karena gue kehilangan Calistanya gue,"

"Maksudnya?"

"Gue kehilangan Calista yang cerewet, manja, ngambekan, apa-apa harus ditolongin, nggak suka sepi, nggak suka sendiri."

Aku masih menatap lekat manik mata Abi, sembari menunggu apa yang akan disampaikannya lagi.

"Gue nggak suka Calista yang mandiri, sok kuat, pendiem, dan gampang tersulut emosi."

"Maaf kalau gue banyak berubah dan buat lo nggak suka,"

"Ta, liat mata gue. Lo nggak usah pura-pura sok kuat dan berusaha tegar di depan gue. Bahkan gue tahu, gue bisa ngerasain bahwa lo belum benar-benar berdamai sama keadaan. Lo cuma pura-pura biasa aja, padahal gue bisa lihat kalau senyum lo itu palsu"

Pertahananku runtuh. Memang benar, Abi memahamiku bahkan lebih dari diriku sendiri. Sebulir air mata berhasil mencuri keluar mengalir membasahi pipi. Gemuruh sesak didada coba untuk ku tumpahkan.

Aku pikir setelah hari itu, tak akan lagi ada air mata di hidupku. Namun nyatanya aku salah, bahkan selama ini aku hanya mengenakan topeng bahagia. Karena jauh di lubuk hati terdalamku, masih ada luka menganga yang bahkan aku belum tau apa obatnya.

Aku memeluk erat Abi, menyalurkan semua sesak yang memenuhi dadaku. Abi menyambutku dengan hangat. Mengusap lembut punggungku.

"Lo bisa jadi diri lo sendiri mulai hari ini, nggak perlu sembunyi dan lari dari rasa sakit. Justru lo harus bisa ngadepin itu semua."

"Gue nggak mau kelihatan lemah,"

"Gue nggak peduli, gue nggak peduli seburuk apapun lo, selemah apapun lo, gue akan tetap ada disini buat lo. Lo bisa bagi rasa sakit lo ke gue, lo bisa lampiasin semuanya ke gue. Gue nggak suka lihat lo pura-pura bahagia."

"Gue sakit Ta, gue ngerasa nggak becus jagain lo. Gue ngerasa gagal ketika denger gimana kehidupan lo selama gue nggak ada."

"Dan untuk nebus waktu gue yang hilang, gue bakal bantuin lo buat lepas dari rasa sakit yang masih jadi bayangan di hidup lo saat ini"

Aku hanya bisa mengeratkan pelukanku pada Abi. Hanya ini yang aku butuhkan. Merasa aman dan terlindungi. Butuh beberapa saat agar aku bisa mengendalikan emosiku.

"Bi.."

"Apa?"

"Lo mau nggak janji sama gue?"

"Janji apa?"

"Selalu ada buat gue, apapun yang terjadi."

"Gue janji, mulai hari ini, gue nggak akan lagi biarin lo ngadepin dunia ini sendiri. Lo bisa berbagi sama gue, lo bisa ngeluh sama gue, lo bisa nangis sepuasnya sama gue."

"Makasih, makasih karena lo masih jadi Abi yang sama. Abi yang selalu ada saat gue butuh, Abi yang nggak suka lihat gue sedih, Abi yang selalu ngizinin gue buat nangis sepuasnya kalau gue lagi banyak masalah."

"Balikin Calista gue yang dulu ya, gue kangen," aku hanya mengangguk menanggapi permintaan Abi kali ini.

"Tidur, udah malem." Abi memposisikan kepalaku dipundaknya untuk bersandar.

"Susu kotaknya?"

Abi menggelengkan kepala mendengar permintaanku "Bayi tetep akan jadi bayi. Nih, minum dulu."

Aku mengambil susu kotak dan meminumnya dengan tetap bersandar pada pundak Abi.

Perlahan, aku mulai masuk kedalam dunia mimpi.

Ada satu beban yang menguap bersama udara dan pergi terbawa angin.

Ada perasaan lega yang menghampiri hatiku.

Malam ini, untuk pertama kalinya aku mulai bisa tidur dengan nyenyak ditemani mimpi indah.

[RWM] Calista : Zya El ZaayanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang