"Na, ayo! Bentar lagi bel masuk!" teriak Malika seraya melempar handuk ke pintu lemarinya. Gayung miliknya yang berisikan peralatan mandinya, dia taruh sembarangan.
"Tapi aku laper, Mal. Kamu sih mandinya telat, jadi enggak sempat ngantri makan, kan! Ini kan giliran kamu yang piket antri. Aku tadi lari-lari ke dapur. Untung aja masih dapet jatah," gerutuku.
"Iya, iya, aku salah. Habisnya enak banget tidur habis salat subuh, hehe. Ya udah, makan dulu. Aku juga laper."
Teng—klonteng!
Teng—klonteng!
Aku mendesah kecewa. Padahal baru saja dapat satu suap. Kami mendengar suara riuh di bawah sana. Suara para santriwati berlari keluar asrama menjadi alarm kedua bagi kami. Akan tetapi Malika enggak bereaksi panik. Dia malah asyik mengunyah sambil mendekap beberapa buku yang akan dibawa ke sekolah.
"Mal, udah bel. Udah yuk, nanti kita jajan aja di kafetaria," ajakku sambil menarik lengannya.
"Tanggung, Na. Sate kan menu favoritku," sahut Malika dengan santai. Bahkan gaya makannya sudah mirip abang-abang ojek di pangkalan.
Ralat ya, bukan beneran sate. Sate itu singkatan dari sayur terong. Kami mendapatkan menu spesial hanya saat hari Selasa dan Kamis. Intinya, di kedua hari itu kami mendapatkan protein hewani. Selebihnya, miris. Bahkan kami sangat gembira ketika mendapatkan suwiran ayam yang lebih saat menunya soto. Sedih, kan? Tapi Malika agak aneh, dia menyukai sayur terong. Dia juga menaburinya dengan kecap.
Berhubung Malika masih asyik menyantap nasi, aku pun ikutan dengan hati resah. Lalu aku bergerak ke arah jendela dan menyibak tirainya.
"Mal, udah sepi coba. Ayo! Nanti keburu Bagian Taklim keliling!" seruku.
"Santai aja, Na. Enggak bakal—"
Aku membungkam mulut Malika saat mendengar suara seperti orang membanting pintu yang berasal dari kamar samping.
"Bagian Taklim." Aku mengucapkannya tanpa suara.
"Itu paling santriwati yang lagi piket," bisik Malika.
Masuk akal sih. Santriwati yang mendapatkan jadwal piket membersihkan gedung pasti sudah mulai beraksi. Pengecualian Malika. Saat jadwal piket dia malah ketiduran, dan baru membersihkan gedung pada siang hari. Padahal sudah diberikan dispensasi tidak masuk sekolah. Oh, pastinya Malika mendapatkan bonus tambahan, yaitu berdiri di depan masjid. Dia sih asyik-asyik saja. Malah dia dengan tidak tahu malu melambaikan tangan ke arahku saat aku melewatinya. Dasar sableng!
Tapi, tapi, firasatku enggak enak. Aku mengintip ke arah jendela. Mati! Itu Kak Lishmah, Bagian Taklim paling killer! Wajahnya itu lebih menyeramkan dari kuntilanak saat jerit malam pramuka!
Malika yang menyadari dari perubahan wajahku, dia malah menyeretku untuk bersembunyi di dalam lemari. Aih, mentang-mentang aku kecil. Aku tak tahu Malika ikut bersembunyi atau enggak. Setahuku, kakinya terlalu panjang untuk masuk ke dalam lemari sempit ini. Pokoknya semua tidak terlihat saat Malika menutup pintu lemariku.
"Mutia Malika Ramadan!" Suara khas Kak Lishmah menggelegar di setiap sudut ruangan. Suara berat dan lantang itu sering terdengar ketika santriwati tidak merapatkan saf di masjid.
Aku mendengar Malika menyebutkan, "Red code! Red code!"
Red code, artinya Malika sedang menyiapkan sebuah drama, dan aku baru boleh keluar saat keadaan benar-benar kondusif. Jika keadaannya seperti sekarang, bisa jadi aku dibolehkan keluar ketika tidak lagi terdengar suara Kak Lishmah.
Selama beberapa menit aku di dalam lemari. Sepertinya aku sudah tidak mendengar suara siapa pun di dalam kamar. Kakiku mulai kram dan aku hampir kehabisan oksigen. Sebelumnya terdengar suara kaki-kaki sedang berlari, tetapi sekarang sudah mereda. Ketika aku membuka pintu lemari, ternyata sudah tidak ada Malika. Pintu kamar terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rayuan Negeri Impian (Proses Terbit)
SpiritualRaihana merasa kesal, karena gagal masuk kelas unggulan. Apalagi saat dia melihat sahabatnya, Malika, berhasil bertahan di kelas unggulan. Padahal Malika jarang masuk sekolah akibat kesibukannya menjadi Gitapati di Drumband Pesantren Dar As-Sakinah...