"Na, kamu udah lama kepengen ikut Drumband?" tanya Malika. Lalu dia menguap berkali-kali.
Dasar, sableng. Lagi ngantuk subuh-subuh begini, dia malah nanya ngawur.
"Kamu lagi haid ya?" tebaknya lagi.
"Mal, kamu udah kelas berapa sekarang? Bertahun-tahun belajar Fikih kok enggak nyantol?" sindirku. Masalahnya saat ini kita sedang memakai mukena dan berjalan menuju masjid! Gila emang!
"Lagian kamu dari kemaren cemberut terus. Manyun kayak Komeng. Muka kamu kayak banteng mau nyeruduk, kan itu ciri-ciri cewek mau haid." Dia tergelak. "Terus, lihat tuh!"
Malika menunjuk kepada kedua kakiku. Ah, asem! Ini akibat aku enggak memakai kacamata!
Jadi cerita sebelumnya, aku dan Malika bangun paling akhir. Parahnya Ustazah Baiq—Bagian Pengasuhan—berkeliling dan menggebrak pintu lemari.
Aku sempat ingin tertawa saat kejadian tadi. Jadi saat Ustazah Baiq membangunkan Malika, eh si Malika malah bilang gini, "Ih, apaan sih, Na? Males ah ke mesjid. Capek habis latihan Drumband sampai mampus kemaren."
Padahal Ustazah Baiq sudah berkacak pinggang di sampingnya. Si Malika malah ngomong mampus pula. Kacau. Rasanya aku ingin tertawa sangat besar.
Lalu aku mengguncangkan tubuh Malika dan menarik telinganya. Dia terkejut melihat Ustazah Baiq yang masih berkacak pinggang seraya menyindirnya, "Jadi kamu mau ditendang dari Drumband? Soalnya latihan sampai mampus bikin kamu malas ke masjid?"
Namun aku menahan untuk tidak tertawa, karena aku masih marah kepada Malika. Dan sekarang dia yang menertawaiku. Ya, aku memakai sepatu Gitapati Drumband milik Malika. Soalnya memang hanya tersisa satu sandal, dan satu sepatu drumband di teras balkon kamar. Malika telah lebih dulu memakai sandal itu. Aku enggak menemukan sandalku, sedangkan Ustazah Baiq masih berdiri di depan pintu dengan tatapan dendam Nyi Pelet! Jadi aku mengambil alas kaki apa pun untuk dipakai.
"Ya udah sini! Lepas sepatunya!" Malika melepas sendalnya dan melemparnya ke arahku. "Buruan! Ustazah Baiq habis dari kantor Koordinator Pramuka bagian belakang, bakal turun dan ngelewatin sini tahu!" Malika menunjuk kantor Bagian Pengasuhan yang berada di seberang kantor Organisasi Santriwati Dar As-Sakinah (ORSADA). Kamar kami—Koordinator Pramuka—berada di atas kantor ORSADA.
Malika malah menarik paksa sepatu Drumband miliknya. Hampir saja aku terjengkang. Padahal aku sedang enggak kepingin mendapatkan utang budi darinya.
Lalu Malika berjalan melewati pendopo di bawah gedung perpustakaan hingga ke pelataran masjid dengan gayanya saat menjadi Gitapati. Dia bahkan menaruh sajadahnya di bagian pundaknya. Seakan-akan pelataran masjid adalah panggung baginya.
Aku bisa melihat Jasmine yang baru saja bertugas menjadi Bagian Keamanan menepuk keningnya melihat tingkah konyol Malika. Untung saja para santriwati sudah memasuki masjid.
Kami para pengurus enggak akan terkena sanksi telat ke masjid. Makanya Ustazah Baiq sering berkeliling seperti tadi, karena enggak mungkin Bagian Keamanan yang akan menertibkan teman seangkatannya.
"Perasaan semalem dia tepar gara-gara latihan Drumband buat persiapan Khutbatul Arsy," bisik Jasmine saat aku mendekatinya.
Aku hanya mengedikkan bahu. "Oh iya, Mine, katanya kamu mau cerita kemaren. Maaf ya, kemaren aku sibuk ngurusin keuangan sama panitia Khutbatul Arsy lainnya."
"Iya, tahu kok. Bu bendahara fokus aja sama uangnya. Ngeri hilang," ujar Jasmine.
Bukannya Jasmine mendoakan yang jelek, tapi pernah terjadi kasus kehilangan sebelumnya. Aku menjabat sebagai Ankukuang (Andalan Koordinator Pramuka Urusan Keuangan) di Koordinator Pramuka, atau bisa dibilang bendahara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rayuan Negeri Impian (Proses Terbit)
ДуховныеRaihana merasa kesal, karena gagal masuk kelas unggulan. Apalagi saat dia melihat sahabatnya, Malika, berhasil bertahan di kelas unggulan. Padahal Malika jarang masuk sekolah akibat kesibukannya menjadi Gitapati di Drumband Pesantren Dar As-Sakinah...