Saat Malika mendekati kami, sontak aku menarik tangan Jasmine untuk menjauhi Malika. Namun Jasmine menahanku dan dia malah menceritakan soal Silma kepada Malika.
"Silma yang jalannya kayak bebek itu, kan?" Lalu Malika menirukan gaya Silma berjalan. Dia membusungkan dada dan bokongnya diangkat. Enggak salah sih, memang mirip bebek.
"Oh iya, kalau pakai jilbab bagian depan dada suka dilipet kecil, terus dijepit pakai bros sama papan nama, kan? Oke, oke, punya situ besar—"
"Mal!" Aku memelototinya.
"Lho beneran, kan? Dia niatnya pamer dada!"
"Mal!" Aku kembali berteriak. Kebiasaan ini anak suka terlalu vulgar. Aku juga tahu kalau Silma terkenal suka memakai baju ketat. Dia sering ditegur Bagian Keamanan dan baju-bajunya disita saat penggeledahan kamar.
Akhirnya Jasmine menarik ujung mukena di atas kening kami. Mungkin dia tahu, kalau aku dan Malika sudah berdebat, enggak ada habisnya.
"Ya udah, kamu harus bisa ngebela diri, Mine! Bilang aja kalau kamu memang dulu sebelum jadi Bagian Keamanan suka ke warnet, tapi sekarang udah taubat. Makanya sekarang kamu mau ngebasmi santriwati yang suka chatting gebetan di sana. Padahal pas kamu ngehukum Silma gara-gara dia pakai baju ketat, kamu bisa sesadis Miska di Cinta Fitri. Ayo dong, Mine! Dia itu cuma dendam sama kamu!" seru Malika berapi-api.
Sebelum Malika kembali mengoceh, aku bercerita soal Ustazah Baiq yang sedang krisis kepercayaan kepada Jasmine.
"Mal, selain Silma, Mine itu sering suka diserang sama santriwati lain dan ngungkit soal pelanggaran yang Mine lakuin dulu. Tapi dulu Ustazah Baiq lagi enggak krisis kepercayaan sama Mine," terangku.
"Ya Allah, Mine! Aku bakal maju ke Ustazah Baiq! Aku bakal bilang kalau aku yang maksa kamu supaya bisa baca komik!" Malika mengangguk mantap.
"Na, Mal, masalahnya ... selain soal komik, ada yang lain." Jasmine mulai memelankan suaranya. "Jadi ada teman kita, si Nada, bawa HP. Aku udah tahu lama, tapi aku kan emang enggak pernah ngelaporin teman seangkatan kita ke Bagian Pengasuhan. Aku cuma ngingetin dia supaya hati-hati. Terus entah kenapa Silma bisa tahu! Dia ngebongkar itu pas sidang. Semua mata langsung lihat ke aku."
Aku tahu Nada itu teman sekelas Jasmine dulu di 5 IPS-B. Dia menjadi pengurus Bagian Fotografi. Jasmine lumayan dekat dengan Nada dan teman satu gank-nya. Mereka sama-sama anak Drumband dan sering satu kelas. Anak Drumband didominasi dengan anak-anak kelas B. Hanya segelintir santriwati kelas A di Drumband. Ya, jarang sih yang bisa tetap aktif, tapi pintar seperti Malika.
"Aku yakin Bella sama yang lainnya bakal bikin sidang lagi buat aku di depan Ustazah Baiq. Bella dari dulu suka ngingetin aku supaya jangan bareng Nada and the gank. Dia kan paling menjaga image sebagai Bagian Keamanan. Menurut dia, Nada and the gank itu nakal. Ya, mereka kan teman-teman aku juga. Berarti aku nakal dong?" sungut Jasmine.
Malika merangkul Jasmine. "Kalau soal Bella, biar aku yang coba ngomong."
Oh, aku lupa. Bella itu teman sekelas Malika. Aku sering melihat Malika mengobrol dengan Bella dan malah tertawa-tawa. Padahal Malika sering melanggar, tapi kayaknya termaafkan begitu saja oleh Bella. Mungkin karena Malika satu spesiesnya, sama-sama anak pintar.
Berhubung Malika sebagai pawang naga Bella telah turun tangan, aku berpamitan untuk enggak bisa ikut mereka. Uwak Itoh dan suaminya akan datang. Uwak Itoh itu kakak dari Bunda. Mereka akan menjenguk Kak Alfian. Rencananya mereka akan menjemputku dan membawaku ke wisma penginapan di Darul Iman. Terkadang jika Ayah dan Bunda datang, mereka melakukan hal yang sama dengan Kak Alfian.
***
"Jadi kamu turun ke Kelas B?" tanya Kak Alfian sambil menyantap nasi pecel yang baru dibeli oleh Uwak Itoh. Sekarang malah Uwak Itoh dan suaminya keluar wisma untuk mencari dawet jabung. Minuman wajib kalau ke Ponorogo, katanya. Sedangkan Ezar, adiknya Kak Alfian yang berumur enam tahun asyik bermain puzzle di atas kasur.
"Iya, Kak. Sedih banget makanya. Apa gara-gara Ayah sama Bunda ngedatengin Kepala Sekolah pas liburan kemaren ya?" Aku mencoba mengingat-ingat.
Kak Alfian terbelalak. "Maksudnya?"
Aku pun menceritakan kejadian itu. Sewaktu liburan kenaikan kelas, Ayah dan Bunda yang memutuskan untuk mengunjungiku ke pesantren. Jadi aku tak perlu pulang ke Jakarta. Kak Alfian sendiri pulang ke Karawang, makanya dia enggak tahu.
"Jadi Bi Euis dan Om Iwan ngedatengin Kepala Sekolah kamu supaya kamu bisa masuk Kelas A?" ulang Kak Alfian.
"Iya, Kak. Gara-gara dulu aku pernah gagal masuk IPA. Pernah jatuh juga ke Kelas B dua tahun yang lalu. Aku kan malu. Seakan kayak nepotisme. Dan Ayah sama Bunda kayak enggak percaya sama kemampuan anaknya."
"Tapi kan kamu mau ke Mesir. Seharusnya enggak ada masalah mau masuk IPA atau IPS."
"Ayah sama Bunda maunya aku kayak Kak Aqilah. Masuk kelas unggulan di IPA. Ilmu umumnya unggul, dan agamanya juga dengan bukti keterima di Universitas Al-Azhar Kairo."
"Tapi kamu Raihana, bukan Kak Aqilah. Udah jangan sedih ya, Dek. Kita fokus aja ngejar buat ke Mesir." Kak Alfian tersenyum.
"Eh, kan kita udah sepakat! Selama di pesantren, Kak Alfian enggak boleh manggil aku 'Dek'! Kita ini seumuran. Jangan ikut-ikutan Kak Aqilah deh. Aku manggil pakai 'Kak', karena Kak Alfian anaknya Uwak Itoh!" protesku.
Kak Alfian tertawa besar. "Tetap aja, Dek. Selama di pesantren dan kalau nanti kita jadi ke Mesir, aku yang bakal dititipin kamu sama Bi Euis."
"Oh iya, aku mau siap-siap buat tampil nih. Kamu nanti malam nonton Panggung Gembira ya sama Mama-Papa." Kak Alfian berdiri sembari membereskan daun bekas nasi pecel.
"Lho, aku baru inget! Kok Kakak bisa kabur sih? Harusnya kan lagi ngedekor," tukasku.
"Aku kabur bentar buat ketemu Mama sama Papa. Lagian dari kemaren udah lembur gladi resik sama ngedekor sampai subuh. Udah rampung kok." Kak Alfian merenggangkan otot-ototnya.
"Wah, pasti dekorasinya keren! Kak Alfian gitu lho!" Aku mengacungkan jempol.
Kak Alfian itu jago banget yang namanya menggambar! Dia suka melukis, dan kaligrafinya keren banget!
"Eh, Kak, kenal sama penyiar El-Imany FM, enggak?" tanyaku saat Kak Alfian menyampirkan tasnya.
"Siapa? Ada ustaz sama santri Bagian Penyiaran." Dia mengerutkan keningnya.
"Kalau lagi siaran, nama dia sih Jacky."
Kak Alfian terkekeh. "Oh, si Wisnu! Iya, iya! Kenapa? Pasti banyak yang nge-fans ya di Dar As-Sakinah? Dia enggak sekelas sama aku, tapi dulu pernah sekamar."
Kedua mataku berbinar. Sebenarnya aku yang nge-fans. Jacky itu salah satu penyiar favoritku di El-Imany FM. Suaranya yang renyah itu, jadi kebayang kalau wajahnya setampan suaranya.
"Ngomongin Wisnu, aku jadi inget. Dia naksir berat sama teman kamu itu. Yang kamu ceritain suka tidur, tapi pinter. Nah, yang jadi Gitapati di Drumband itu! Waktu kalian Drama Arena, aku sama dia diutus ke pesantren kamu. Soalnya aku bagian dekorasi, dan dia bagian MC. Dia naksir pas lihat teman kamu jadi pemeran utama di drama kalian," ungkap Kak Alfian.
Ah, iya. Kak Alfian pernah datang sewaktu tahun lalu di Drama Arena. Biasanya pesantren kami sering saling mengirim utusan untuk menghadiri acara Drama Arena dan Panggung Gembira satu sama lain. Ya, untuk saling belajar dan mengamati. Santri yang diutus hanya penanggung jawab pada bagian-bagian tertentu.
Eh, tunggu! Apa kata dia? Jacky suka Malika? Kenapa semuanya harus Malika sih?!
"Oh iya, Wisnu bakal jadi MC lagi di Panggung Gembira. Kayaknya dari Dar As-Sakinah bakal ada utusan yang nonton, kan? Soalnya pas Drama Arena, kalian duluan. Sekarang Panggung Gembira, kita duluan. Teman kamu dateng enggak? Kalau dateng, si Wisnu pasti jingkrak-jingkrak." Kak Alfian tertawa.
Sayangnya, Malika menjadi salah satu utusan ke acara Panggung Gembira, karena dia menjadi penanggung jawab di bagian drama. Seharusnya aku yang mempunyai kesempatan untuk berkenalan dengan Jacky, karena ada Kak Alfian! Bukan Malika!
Hai, readers! Jangan lupa vote dan komentarnya ya ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Rayuan Negeri Impian (Proses Terbit)
SpirituellesRaihana merasa kesal, karena gagal masuk kelas unggulan. Apalagi saat dia melihat sahabatnya, Malika, berhasil bertahan di kelas unggulan. Padahal Malika jarang masuk sekolah akibat kesibukannya menjadi Gitapati di Drumband Pesantren Dar As-Sakinah...