Confession ver 1

44 6 14
                                    

Aku menunduk, menatap lantai. Sok takzim walau wajahku terasa memanas, aku yakin warnanya berubah memerah sekarang. Gugup rasanya meski hanya sekedar menyadari keberadaannya tak jauh dariku.

Mendengar suara tawanya saja, aku bisa merasakan degup jantungku yang berubah tak teratur. Apalagi ketika tiba-tiba aku mendengar suara itu justru memanggilku malu, "War, ayo foto. Aku kena dare."

Blank.

Seketika, selepas wajahku terangkat karena merespon panggilan itu, kurasakan kaku pada sekujur tubuhku. Rasanya seperti sedang angkat beban dan ototku telah begitu dipaksa hingga tak bisa bergerak. Bibirku yang mengatup sebelumnya bergerak hendak mengatakan ucapan persetujuan saja tak kuasa.

Ckrek.

Suara jepret kamera akhirnya menyadarkanku. Dia sendiri sudah bergegas pergi kembali pada lingkar kelompoknya. Kembali dengan berhasil menyelesaikan dare dari permainan mengerikan, Truth or Dare, yang tengah ia mainkan bersama temannya. Semenjak jam ke-3 yang telah dideklarasi sebagai jamkos, tak ada satupun batang hidung guru yang tampak.

Kelasku masih bisa dikata cukup kondusif meski satu-dua anak curi-curi pergi ke kantin. Setidaknya mereka kembali ke kelas. Meski berisik luar biasa, Yassalam.

Kugelengkan kepalaku sejenak. Ah. Bersyukur aku mengenakan masker. Kurasa kalau tidak wajahku akan terlihat buruk pada foto tadi.

Dengan degup jantungku yang masih belum kembali aku berusaha menghela nafas. Sedikit putus-putus karena gugup. Apalagi kurasakan teman-temannya seperti tengah membicarakanku.

Malunya, fuh...

Ah, biar kujelaskan sedikit apa yang terjadi. Dia, Shelly, teman sekelasku. Aku akui, dengan penuh kerendahan hati, tanpa denial seperti yang dilakukan teman-temanku, aku menyukainya sejak awal mengenalnya di SMA. Dan sejak itu juga, entah mengapa, meskipun aku mencoba berulang kali, bicara dengannya tak pernah menjadi lancar.

Rasanya ia membuat jarak denganku. Sungguh itu membuatku sedikit insecure dan takut. Apalagi kala di mana aku punya saingan yang merupakan fotografer sekolah. Rasanya, eugh.

Tapi itu sebelum tukang potret itu berpindah pelabuhan ke seseorang yang lain. Kelas sebelah jadi mari tidak membahasnya.

Tanpa persaingan saja rasanya aku sudah takut dan ragu. Lihatlah bagaimana ia begitu dingin setiap kali aku berusaha bicara dengannya. Ini menyakitkan.

Dan fakta aku masih terus menyukainya hingga titik ini, menuju kenaikan kelas 11, membuatku semakin frustasi. Pasalnya tanpa mengutarakannya saja dia telah sedingin kulkas. Bagaimana jika nanti dia berubah lebih dingin lagi? Bagaimana aku kuat dengan itu?

Aku takut ia menjauhiku. Ditambah juga teman-temannya. Mengkhawatirkan.

Tapi ini menyesakkan. Rasanya stuck dan tak bisa mengatakan apapun, padahal hatiku bergejolak, berteriak, "AKU SUKA KAMU" setiap kali dia berada di dekatku. Sialnya itu selalu membuat wajahku memerah setiap saat.

"Ada 2 tipe cewek yang mungkin, merupakan dia," ucapan antara sesat-benar dari seorang teman perempuan dari kelas sebelah membuatku entah termotivasi atau terpuruk. Ah, namanya Ama.

Ama terlihat santai, menyengir saat aku bicara soal keraguanku.

"Kemungkinan pertama, dia tipe tsun-tsun yang menjauhimu karena dia suka kamu."

Yassalam. Dengar spekulasi begini saja rasanya senang bukan main.

"Nah, yang kedua nih, dia boleh jadi tipe jujur yang memang menjauh karena gasuka."

"Itu dia," ucapku frustasi. Selepas melempar ke langit anak dihadapanku ini secara imaji mungkin menyingkirkan tempat pendaratan empuk pada permukaan bumi, menjatuhkanku tepat pada tumpukan kerikil, memberiku emotional damage.

Couple Cute SceneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang