"Azraaaaaa!!!" teriakan itu seakan meretakkan kesunyian lorong kelas sore itu. Suaranya melengking menghampiri telingaku yang tidak kupasangi apapun. Menelusup masuk mengetuk gendang telinga.
Suara yang familiar.
Aku menoleh ke sumber suara, mendapati seorang gadis berambut gelombang putih sebahu. Matanya yang indah berwarna merah ke pink-pink an itu berbinar. Jangan lupakan kulit putihnya yang tak bisa ditandingi siapapun di sekolah itu, tampang yang meski telah berkali-kali melihatnya, aku tetap membiarkan diriku menikmatinya, melihat wajah manis itu.
"Baru pulang?"
"Menurutmu?" aku mengangkat alis. Gadis manis ini kadang-kadang pertanyaannya sama tidak bermutunya dengan La, sepupu Hira.
"Cih," dia berdecih pelan, melangkah hendak menuju parkiran sekolah. Aku menghela nafas, mengikutinya. Dengan kakinya lebih pendek, mudah bagiku mensejajarkan langkah.
"Hei, Rae," ucapku membuat ia menoleh ke arahku, menatapku dan bertanya lewat tatapan mata, kenapa?
Aku menatapnya sejenak, sebelum membuka mulut, "Mau bareng? Sepedamu masukkan bagasi mobilku saja. Aku tau kamu bawa sepeda hari ini. La bilang motormu di bengkel."
Meski sedikit, aku sadar ia melebarkan matanya, "Astaga~ Tuan Muda Azra... Ada apa ini?"
Aku mengangkat sebelah alisku, maksudmu?
"Sejak kapan kau membiarkan orang lain naik ke mobilmu? Arfa saja kalau bukan karena orang tuanya meminta tidak akan kau beri izin, kan? Dan bahasamu... Lebih santai dari biasanya kurasa?"
Aku mengerjap dua kali, "Aku bukan robot. Aku hanya memastikan keselamatan diriku dan aset yang diamanatkan padaku. Kalau La naik bisa-bisa berakhir di bawah jurang. Kalau kamu atau Hira masih bisa dipertimbangkan bersyarat. Arfa juga. Dengan syarat tidak membawa barang anehnya. Bisa bisa kursi mobilku berlubang."
Rae manggut-manggut, "Masuk akal."
"Dan bicara mengenai bahasaku, bukannya biasanya memang begini? Aku menggunakan bahasa super formal hanya untuk formalitas agar tidak banyak orang yang repot menahan diri ngobrol lama denganku toh."
"Masuk akal lagi," Rae menampakkan cengirannya, sebelum akhirnya menepuk bahuku, "okelah, gas. Aku juga capek hari ini. Aku tidak akan menolak tumpangan gratis."
Tak dapat kutahan, kekehan pelan keluar dari mulutku, berjalan menuju parkiran bersamanya.
"Hei, Zra."
Aku yang tengah memasukkan sepeda ke dalam bagasi berdehem, Ya? Apa?
Rae menghela nafasnya, "Masalah ini.. Entahlah. Aku merasa ada sesuatu yang benar-benar salah. Seakan ada keharusan yang telah ditentang. Apalah bahasanya. Aku tidak terlalu pintar mengekspresikan kata seperti La..."
"Dari hal yang ada sekarang saja memang terasa ada yang salah, Rae. Aku sebagai orang biasa pun merasakannya. Apa yang ingin kau sampaikan padaku?"
Rae tampak gelisah, "Aku merasa pengorbanan tidak bisa kita hindari..."
"Kau tidak akan mati, Rae. Ayolah," aku menutup pintu bagasi, menatap wajahnya serius.
"Aku tidak bilang. Tapi kau tahu. Kau juga merasakannya, bukan begitu?"
Pertanyaan Rae membuatku terdiam.
Benar. Tidak dapat dipungkiri. Aku punya firasat yang buruk tentang masalah kami kali ini. Beberapa hari sudah aku tidak bisa memainkan game-ku dengan tenang. Aku berjalan gelisah setiap beberapa menit, bukan jalan santai seperti yang biasa kulakukan diantara waktu bermain game-ku.
"Kalau aku tiada, tolong jangan menangis."
Rae yang sebelumnya menunduk mengangkat wajah, "Apa-apaan kau ini. Bercandamu jadi mirip La saat dia mulai berpikiran buruk," ucapnya tertawa, "seharusnya aku yang bilang begitu, tau?"
Keheningan terjadi diantara kami. Dan entah apa yang merasukiku. Hatiku merasa sedikit kosong dan tanganku bergerak ke bahu Rae, menariknya dalam dekapanku yang tak pernah kuberikan pada siapapun.
Entah dari mana pikiran ini, tapi aku tahu aku tidak baik saja jika dia tiada.
Kau akan tetap di sini, Rae. Tidak akan ke manapun. Kau akan tetap di sini.
Aku mengecup ubun-ubunnya. Sungguh, dengan seluruh kesadaranku, aku tak tahu apa yang sedang terjadi pada diriku sendiri. Aku tiba-tiba merasa hilang kendali. Tubuhku seakan bergerak sendiri.
Kurasakan Rae yang mematung. Dia pasti terkejut dengan apa yang kulakukan, karena aku pun begitu.
Hening.
Ekhem.
Baiklah.
"Baiklah, mari kita pulang," aku buru-buru ke pintu pengemudi, merogoh kunci mobil dari saku celana.
Rae masih terdiam sebelum kemudian beranjak masuk melalui pintu satunya.
S...ssstt. Awkward. Apa-apaan yang kulakukan tadi..
Sepanjang jalan, kami tak bicara, hingga Rae turun di depan rumahnya, mengucap terima kasih, dan tepat sebelum ia menutup pintu, "Aku tidak berjanji untuk tidak menangis kalau itu terjadi.."
Aku terdiam, pandanganku mengikuti gerak Rae yang melambaikan tangan dan masuk ke dalam setelah seseorang membuka gerbang untuknya. Hilang dari pengelihatanku.
Kepalaku tertunduk ke arah sepatuku sebelum akhirnya senyum tipis itu tanpa kusadari telah tercetak di bibirku. Manisnya. Aku harap bisa menjaganya. Wajahnya yang manis..
Aku pernah menyukai seseorang sebelumnya, dan gadis itu jauh berbeda denganmu... Tapi perasaanku sungguh tak bisa berbohong, Rae. Aku ingin menjagamu.. Sayang sekali aku punya firasat buruk atas itu.. Kurasa aku tak akan bisa melakukannya untuk waktu yang lama. Tolong jangan menangis kalau aku tiada...
‧͙⁺˚*・༓☾ That's it, AzRae ☽༓・*˚⁺‧͙
Cari tahu apa yang terjadi di RfYL, hanya di profil saya 😁~
Nahloh, nahloh, ada apa ini kira-kira ye
![](https://img.wattpad.com/cover/337852807-288-k70062.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Couple Cute Scene
RomansaKalian kurang asupan halu? Kalian kekurangan taburan gula kehidupan? Shipper garis keras yang kurang asupan shippin'? Atau ingin menikmati adegan-adegan manis? Kalian bisa coba cek di sini! (◍•ᴗ•◍) Di sini, dengan cengiran lebar author akan sajikan...