part 8

334 35 3
                                    

Desas-desus prihal sakitnya Jasmine dengan mudah merebak seantero kampung.

Gosip yang beredar pun tidak main-main. Di mana Tari kembali jadi perbincangan publik. Seperti layaknya seorang selebritis, tapi ini tingkat kampung dan hanya orang-orang kampung saja yang tahu.

Winda--sepupu Tari hanya mampu melongo saat tak sengaja rungunya mendengar nama Tari terlontar dari ibu-ibu yang sedang bergosip di warung terdekat.

"Katanya sih, guna-guna," lirih salah satu ibu-ibu yang tubuhnya merapat di sudut.

"Bukan, salah ih, Mpok Mumun. Ntu karena racun yang di taroh di nasi berkat. Saya teh denger langsung dari Mpok Jaenab. Pan kemaren pengajian di rumah Mpok Jaenab saya bantu buat kue," wanita berdaster abu-abu langsung  menimpali. Bibirnya sampai miring-miring karena begitu antusias untuk ikut menyampaikan informasi.

Mereka sama sekali tidak menyadari jika diantara mereka hadir Winda--sepupu Tari yang mendengarkan dengan dada yang bergemuruh kencang.

"Hust, jangan asal fitnah, ibu-ibu. Ga baik," Yu Girah dengan gaya abainya berusaha menghentikan gosip yang kian tidak masuk akal itu.

"Ngapain juga Tari mau racun atau guna-guna Jasmine? lagian, Tari itu anak baik. Kalau memang Tari niat kasih racun, kenapa yang kena cuma Jasmine? padahal yang makan berkat kan orang banyak? ga mungkin cuma Jasmine yang kena, dapat nasi berkat juga random. Ngada-ngada aja, sih," imbuhnya.

"Tapi kata Mpok Jainab, dia denger sendiri waktu mau jenguk Yu Jasmine, waktu dia mau masuk, Yu Jasmine marah-marah sama suaminya, bilang kalau Tari itu ngeracuni Dia,"

"Jangan asal fitnah bu-ibu! sepupu saya itu orang baik. Selama ini dia diam bukan karena dia takut sama Jasmine. Dia tahu Yu Jasmine sangat membencinya. Segala fitnah yang keluar dari mulutnya hanya di anggap angin lalu saja,"

"Mulai dari bilang kata sombong, karma karena ga jadi nikah dan koar-koar di medsos, tapi Tari tidak pernah membalasnya,"

" Saya tahu semua, bu-ibu. Jangankan untuk mencari pembenaran akan dirinya, Tari lebih memilih pasrah dan memikirkan hidupnya yang kini bagai sebatang kara. Ibunya meninggal dan Bapaknya tak tahu di mana,"

" Kasihani Tari, bu-ibu. Saat ini ia harus berjuang untuk bisa membuat sedekah ibunya yang ke tujuh hari. Sudah habis-habisan, batal nikah, kehilangan orang tua, dan sekarang malah jadi korban fitnah,"

"Naudzubillah, betapa keji kita sebagai tetangga. Bukannya malah membantu meringankan bebannya, ini malah membuat dirinya semakin terpuruk dan terzodlimi dengan kabar tidak jelas alias fitnah!"

Rahang Winda mengeras menahan amarah. Tangannya mengepal dengan wajah yang garang. Dadanya rasanya ingin meledak saat itu juga. Emosinya menggolak. Andai saja ibu-ibu itu seumuran, pastinya Winda akan menerkam wajah-wajah julid mereka.

Ibu-ibu itu terdiam seketika. Keringat langsung membasahi dahi dan lidah berubah kelu.

Hingga Winda memutar tubuh dan menghentak kaki, ibu-ibu itu masih membeku.

Jarak dua puluh meteran, barulah ibu-ibu itu bubar tanpa ucapan sepatah kata pun, belanjaan mereka tinggal begitu saja hingga si pemilik warung melongo sendirian, gagal menggapai rupiah.

Hati Winda masih panas meskipun ia sudah berjalan cukup jauh dari warung.

Ia masih tak terima, sepupunya jadi bahan gibahan tetangga. Gadis berkepang dua itu menyusuri jalan kampung dengan kaki menghentak dan bibir yang mengerucut.

Wajahnya tampak sangat kesal, hingga saat ia berpapasan dengan tetangga lainnya pun, ia menjadi acuh.

Winda akhirnya menghentikan langkah sejenak, di bawah pohon jati yang daunnya lebar-lebar.

Cuaca yang panas ditambah hatinya yang terasa seperti terbakar, membuat dada Winda sesak.

" Tarik-hembuskan, tarik-hembuskan. Sabar Winda, sabar," Winda mensugesti dirinya agar degup jantungnya kembali normal.

Matanya mengerjap. Wajahnya menengadah, menatap daun jati yang lebar-lebar di sisi kanan dan kiri jalan setapak yang masih beralaskan tanah.

Suara gemericik air dari polongan yang ada di bawah kakinya, seolah menjadi alunan merdu baginya.

Setelah merasakan lebih tenang, Winda kembali melanjutkan langkahnya menuju rumah Tari-- sepupunya.

Sesampainya di rumah Tari, ia mendapati Tari sedang makan bersama adik angkatnya.

Sesekali mereka bersenda gurau, menimbulkan rasa perih di hati Winda yang melihat dari kejauhan.

Bagaimana tidak, Tari menyuapi adiknya hanya dengan nasi dan kerupuk saja. Herannya bocah itu makan dengan sangat lahap meski dengan lauk seadanya.

"Assalamualaikum," sapa Winda saat ia berada di teras rumah Tari.

"Waalaikumsalam, masuk, Win," jawab Tari yang.saat itu masih menyuapi adiknya.

"Mbak, Adek mau pergi main, ya. Sebelum ashar nanti Adek sudah pulang. Adek janji, Mbak," ujar adiknya yang langsung diangguki oleh Tari.

"Ya, Dek. Main jangan jauh-jauh. Kasihan sama Mbak, yo. Mbak ga ada teman di rumah," Tari mewanti-wanti adiknya.

"Njeh, Mbak. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam," jawab Tari dan Winda bersamaan.

Winda akhirnya menarik tangan Tari lebih masuk ke dalam rumah, saat adiknya Tari sudah pergi dan bermain keluar.

Tari menatap heran Winda yang saat itu wajahnya tampak tidak biasa, seperti ada yang sedang ia pikirkan.

"Ada apa Win? kok Kamu sepertinya sedang kesal?" tanya Winda saat Tari mengajaknya duduk bersebelahan di sofa.

"Parah! parah banget, Tar! gosip yang  kini beredar tentang kamu itu semakin luas. Masa' tadi waktu ke warung, kuping ini mendengar jelas ibu-ibu sedang membicarakan kamu,"

"Mereka bilang kalau kamu itu sedang mengguna-guna Jasmine, dan lebih parahnya ada juga yang bilang kalau kamu sengaja ngasih racun di makanannya," ucap Winda dengan mata berapi-api.

Di luar ekspektasi Winda. Tari hanya tersenyum getir, tak ada satu pun kata keluar dari bibir mungilnya. Hanya terdengar suara helaan nafas yang menunjukkan jika gadis itu sedang tidak baik-baik saja.

"Biarin aja, Win. Toh Gusti Allah ga tidur. Biarin sampai puas dia ngomongin Mbak. Mbak udah kebal," sahut Tari dengan suara memelas. Bulir bening satu-persatu dari sudut matanya tapi dengan cepat ia seka.

Winda yang melihat tak mampu menahan lara. Ia langsung memeluk tubuh sepupunya dengan erat dan mereka menangis bersama.

***
Sementara itu kondisi Jasmine di rumah sakit semakin parah. Susah untuk menelan sebutir nasi pun, muntah-muntah dan terus diare, hingga ia kekurangan cairan.

Sudah tak terbilang lagi berapa banyak infus yang di pasang, semua terasa sia-sia.

Tubuh Jasmine semakin lemah dan sulit digerakkan. Dokter sudah berusaha semaksimal mungkin, keluarga pun sudah berdatangan, karena mengira Jasmine sudah tidak akan lama.

Suaminya pun sudah terlihat pasrah. Segala upaya sudah ia maksimalkan, tapi Jasmine seperti tidak ada perubahan.

"A--aku ingin pulang ... ingin tidur di lantai," ucap Jasmine terbata.

Semua orang memandang ke arah Jasmine karena kemudian mengalihkan pandangan kembali ke arah suaminya.

"Ini ... seperti tanda-tanda," celetuk salah satu keluarga.

"Tanda-tanda apa?" sahut yang lainnya.

"Tanda-tanda kematian,"

*****

Nasi Berkat.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang