"Asha, ayo bangun."
"Sha, udah subuh cepet."
"Cepet bangun dong! Kita mau shalat subuh di sini, kamu ngalangin banget."Aku terbangun karena teman-teman ku terus membangunkanku. Entah kenapa untuk bangun dari kasur rasanya berat sekali. Jangankan untuk bangun, membuka mata saja aku tidak bisa.
Aku sedikit menggerakan badanku, dan mencoba untuk duduk. Setelah itu, aku baru bisa membuka mata walaupun itu sangat berat.
"Apa mungkin gara~gara aku menangis semalam?" aku bergumam.
"Cepet ke kamar mandi, malah bengong." Ketus salah satu temanku.
Sepertinya mereka sudah kesal. Tapi pada saat itu aku tidak menyadari bahwa mereka semua kesal kepadaku.
Aku minta Syarah untuk mengantarku ke kamar mandi untuk wudhu.
"Asha, kamu gapapa kan?" Tanya Syarah.
"Aku gapapa kok, emang ada apa? Kok kaya yang bingung?" Tanyaku saat melihat wajah Syarah yang tampak seperti kebingungan.
"Soalnya tadi waktu mereka bangunin kamu, mata kamu kebuka tapi tatapan kamu kosong banget natap ke mereka." Jawab Syarah.
"Ah itu, aku gapapa kok. Tadi agak pusing aja."
Tatapan kosong? Bagaimana bisa? Membuka mata saja aku kesulitan.
Sesampainya di kamar, aku langsung shalat subuh.
Aku masuk kelas jam 8 pagi. Karena di pesantren ini sudah ada sekolah, jadi ada sedikit waktu untuk sarapan dengan santai di kamar.
Hari pertama masuk sekolah, aku merasa tidak bersemangat sama sekali. Tidak seperti anak-anak lainnya yang sangat bersemangat.
Yang aku rasakan di kelas hanya lemas dengan rasa ngantuk.
Aku pulang sekolah pukul 1 siang. Ada waktu istirahat sampai waktu ashar untuk lanjut mengaji.
Sepulang sekolah, di depan kamar ada genangan air. Rupanya galon yang sudah dibuka ternyata terjatuh.
Karena waktu itu aku belum ganti seragam sekolahku, akhirnya aku menggantinya lebih dulu.
Lalu saat aku kebali ke depan untuk membersihkan genangan air itu, kakak kelasku yang bernama Dina sedang membersihkan lantai dengan raut wajah yang kesal.
"Sini aku bantuin."
Bukannya mengiyakan ataupun memberi lap yang dipegangnya, justru dia malah menatapku dengan tatapan tajam dan berkata, "Ngapain? Dari tadi dateng ngapain? Jangan so-soan mau bantuin deh!"
Disitu aku kebingungan, kenapa dia marah? Apa aku melakukan hal yang salah?
Karena dia sudah membentakku seperti itu, akhirnya aku mengurungkan niatku untuk membantunya dan kembali masuk ke kamar.
Aku hanya berbincang dengan teman-temanku sampai tidak terasa adzan ashar berkumandang. Aku langsung bersiap untuk shalat berjamaah di mesjid dan dilanjut mengaji.
Anehnya, setiap siang sampai sore aku baik-baik saja. Tapi menjelang maghrib, disitu aku pasti mulai menangis.
Aku pergi ke lantai dua untuk menemui penjaga kamar karena ingin menghubungi orang tuaku.
Pukul 7 malam orang tuaku datang mengunjungiku.
Begitulah kondisiku selama 3 bulan di pesantren. Sampai aku tidak sadar bahwa itu mengganggu pekerjaan orang tuaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
HorrorMenjadikan ilmu hitam sebagai alat balas dendam yang hampir saja menghilangkan nyawa seseorang. (Based on true story)