1

3K 92 24
                                    

Dentingan sendok dan garpu yang menabrak piring putih yang lebar memenuhi meja makan pagi itu. Sebuah vas bunga yang dipenuhi dengan bunga mawar merah berada tepat di tengah meja makan yang panjang di ruangan tersebut. Seorang perempuan duduk sembari menikmati sup jagung dengan potongan daging sapi di dalamnya, sementara seorang pria paruh baya mengamatinya dengan lamat-lamat, seperti sedang mencuri padangan sang perempuan, mencoba menemukan dirinya dalam bola mata sang perempuan. Istri tercintanya.

"Demi langit sayangku, kau sangat cantik pagi ini..." ucapnya yang kemudian disusul dengan mengecup punggung tangan sang istri.

Perempuan itu tersenyum tipis, mengeratkan jemarinya pada sang suami yang begitu ia cintai dan hormati seumur hidupnya. Perempuan yang ia dapatkan dengan hampir menggadaikan nyawanya beberapa puluh tahun yang lalu. Perempuan yang selalu ia puja tanpa batas.

Di ujung meja terdapat seorang laki-laki yang sedang menunduk memandangi piring sup hangatnya. Menyendok sup kental itu dengan perlahan mencoba tidak membuat suara meskipun sangat sulit. Laki-laki itu juga mencoba menelan cairan hangat itu perlahan, sementara beberapa laki-laki yang duduk di antaranya melakukan hal yang sama. Terkadang mereka menyenggol kaki satu dengan yang lainnya untuk berkomunikasi.

Tak hanya dia, ada lima lelaki lain di sana. Duduk bersama menikmati santapan pagi mereka bersama dengan Ayah dan Ibunya di pagi yang tak terlalu cerah saat itu. Anak tertua dari keluarga itu duduk dekat dengan sang Ayah, melakukan hal yang sama, menikmati sup jagung dengan potongan daging sapi yang gurih dan lezat.

"Setelah makan pagi ini selesai, antarkan Ibu kalian membeli bunga. Jangan berani menolak." ucap sang Ayah sembari menunjuk anak-anaknya dengan pisau makan.

Keenam anaknya menjawab serentak, mematuhi perintah sang Ayah. Bagi seluruh lelaki dalam keluarga ini, sang Ibu adalah sosok yang tak boleh tersentuh oleh apapun, seluruh lelaki di dalam rumah ini akan mengorbankan apapun demi membuat sang Ibu bahagia.

"Kau tahu seberapa besar kesalahanmu, benar?" ucap sang Ayah tenang sembari memotong daging di atas piringnya.

"Benar Ayah..." jawab anak ketiga dari keluarga tersebut.

"Kau lihat Ibumu hampir mati malam itu bukan?"

Sang anak mengangguk. Ia meletakan alat makannya dengan perlahan di samping piring saji, lelaki itu mengangkat kepalanya menghadap pada sang Ayah.

"Kau tahu betapa aku memuja Ibumu?"

"Akan aku korbankan seluruhnya untuk Ibumu...aku harap kau tidak lupa dengan hal itu Phil"

"Bahkan jiwa aku harus menjual semua aset dan membakar diriku di dalam api aku akan melakukannya asalkan Ibumu tetap aman" imbuh sang Ayah.

Sekali lagi sang anak mengangguk. Ia memahami betul bagaimana cinta sang Ayah pada Ibunya selama ini, tidak ada yang bisa menyainginya.

Suasana tetap tenang seperti awal santap pagi ini dimulai. Burung-burung camar terbang rendah dan sesekali naik menembus awan yang berwarna abu. Hari ini tak akan hujan tetapi awan tampak abu membuat penerangan dalam rumah itu terpaksa dinyalakan.

Dalam dentingan sendok sang Ayah tiba-tiba berdiri dan merogoh saku jas hitamnya.

DOR!

DOR!

DOR!

Suara tembakan begitu nyaring dari ujung meja tempat sang laki-laki paruh baya duduk. Tidak ada yang melihat ke arahnya, semua sama seperti sebelumnya. Memandang sup hangat di depannya.

Burung-burung camar yang terbang rendah seketika berhamburan terbang menerjang awan karena suara dentuman logam menembus kulit dan daging berkali-kali. Lampu-lampu yang menerangi ruangan itu dimatikan dengan cepat.

Sesaat terdengar erangan pendek dari bawah meja, sebuah tangan bergetar mencoba meraih celana hitam di hadapannya, meremasnya meminta sebuah pengampunan atas hidupnya.

"Aku tidak membesarkan pengecut, pencuri dan pecundang yang gagal dalam hidupnya..." ucap laki-laki paruh baya itu dengan tenang.

"Aku tak akan membiarkan perempuanku disentuh oleh tangan-tangan kotor seperti tanganmu bedebah!" tambahnya.

Lelaki paruh baya itu menyetak tangan anak lelakinya dengan keras sehingga remasan itu terlepas. Mengamati mata anak lelaki yang dengan berani menjadikan Ibunya sebagai umpan untuk musuhnya.

"Pergilah dengan semua rasa bersalah pada perempuanku..." ucap sang Ayah sebelum sebuah tembakan terakhir bersarang tepat di kepala sang anak ketiga.

"Bereskan!" perintahnya pada beberapa laki-laki bertubuh besar di belakangnya.

Tubuh yang bersimbah darah itu dipindahkan entah kemana, tak ada yang tahu kecuali laki-laki paruh baya itu sendiri dan para pengawalnya.

Lelaki muda di ujung meja makan itu mencoba melirik perempuan satu-satunya di meja makan, mencoba membaca setiap pergerakannya tetapi perempuan itu hanya diam, melanjutkan makan paginya dengan tenang.

"Kau, akan meneruskan pekerjaannya, dan jangan buat aku kecewa!" ucap lelaki paruh baya di ujung meja.

"Nasibmu akan sama seperti kakakmu jika kau berani menyentuh Ibumu demi uang di rekeningmu!" tambahnya.

"Ba...baik Ayah..." ucap lelaki muda tersebut.

"Jangan membuat kekacauan" imbuh sang ayah.

"Tidak akan Ayah" ucapnya sembari memandang bola mata sang Ayah.

Setelahnya lelaki paruh baya itu berdiri dan meninggalkan meja makan, meninggalkan sang istri yang baru saja kehilangan anak lelakinya karena gagal meneruskan pekerjaan sang Ayah. Beberapa mata memastikan sang lelaki paruh baya itu menghilang di ujung lorong, serentak beberapa laki-laki di ruangan itu bangkit dan memeluk sang perempuan dengan erat bersama-sama.

"Ibu, akan aku pastikan Ibu tak akan kehilangan anak Ibu lagi..." ucap laki-laki muda tersebut.

"Ku mohon..." ucap sang Ibu sembari memeluk punggung lelaki muda itu dengan sangat erat.

Kelima anak lelaki perempuan itu memeluk sang Ibu dengan erat, menyembunyikan rasa takut dan duka yang mendalam pada punggung dan setiap jengkal kulit sang Ibu. Berita tentang sang kakak akan dihabisi oleh ayahnya sudah tersebar tetapi mereka tak menyangka hal itu akan datang secepat ini.

"Jangan membantah Ayahmu, demi Tuhan sayang..." ucap sang Ibu sembari menyeka air matanya dengan cepat.

Kelima anak itu mengangguk.

"Ibu, selamatkan aku..." ucap sang anak termuda.

"Brian, akan kugadaikan jiwaku pada setan jika Ayahmu berani menyentuhmu..." cicit sang Ibu.

"Cepat bersiap, kalian harus pergi dengan Ibu sekarang...lupakan apa yang sudah kalian lihat pagi ini. Cepat bangun dan bersiap!" tambah sang Ibu.

Kelima anak tersebut melepaskan pelukannya pada sang Ibu, merapikan setelan hitamnya masing-masing dan bergegas meninggalkan ruang makan.

"Bunga apa yang akan Ibu beli hari ini?" ucap Brian.

"Iris hitam" jawab sang Ibu sembari membelai lembut pipi anak bungsunya.

Langit di luar pagi itu seketika menghitam seiring kedukaan yang menyelimuti keluarga Jones alami pagi itu. Hujan turun dengan deras seperti sedang mempersiapkan pemakaman sang anak yang pergi di tangan Ayahnya sendiri.

BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang