9

712 38 4
                                    

"Siapa? Oh benarkah? Tapi aku kira akan seperti apa yang kita duga sebelumnya..."

Lucia membuka matanya perlahan karena suara perempuan entah darimana, kepalanya terasa sangat berat dan pening. Ia memilih memejamkan matanya kembali, kulitnya menyentuh sebuah alas tidur yang lembut dan sejuk, ingatannya kembali pada kejadian siang ini. Ia ingin memeluk kekasihnya, menangis sejadinya tetapi saat ini ia tak tahu dimana dirinya berada.

"Kami pergi dulu, hubungi aku kalau terjadi apa-apa..."

Suara itu terdengar lagi kemudian disusul dengan gelak tawa dan suara pintu yang terkunci secara otomatis, suara kunci lagi, lagi dan lagi. Berapa lapis kunci pintu itu dibuat sebenarnya?

Seorang datang mendekati tempat ia berbaring, langkahnya sangat pelan. Sebuah selimut yang berada di tubuhnya ditarik pelan dan menutupi tubuhnya.

Ia bangkit dengan cepat dan menyambar kerah seseorang di hadapannya. Ia menarik kerah itu dengan cukup kuat, mencengkramnya hingga seorang di hadapannya terhuyung ke arahnya.

"Dimana aku?!" sentak Lucia dengan suara teriakannya.

Ia seorang lelaki. Keduanya mengedipkan mata bersamaan, membuat kesadaran dalam diri masing-masing.

"Love?"

Lucia melepaskan cengkeramannya dan memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat, aroma mint menyeruak ke dalam indera penciumannya. Tangisnya meledak seketika saat kedua lengan laki-laki itu mendekapnya dengan erat, mengangkat tubuhnya yang masih lemah dan menggendongnya dengan tenang.

"Tidak apa-apa, semua sudah aman..." bisik Brian pelan.

Lucia tidak berucap apapun, ia menenggelamkan kepalanya ke dalam ceruk leher sang kekasih. Mencari tempat paling aman saat ini untuknya, tempat dimana dia dapat berlindung sejenak dan menghabiskan malamnya tanpa ketakutan meskipun setitik kebingungan terlintas di kepalanya.

Brian membawanya ke dapur, menurunkannya dan memintanya untuk duduk di sebuah meja makan. Brian membuka lemari pendingin dan mencari beberapa makanan beku.

"Aku akan membuatkanmu sup udang, ini bagus untuk meredakan pening di kepalamu..." ucapnya sambil tertawa.

"Maaf mungkin aku menuang terlalu banyak obat bius di saputangan tadi siang hingga kepalamu saat pening" tambahnya.

Brian menyodorkan segelas air hangat dan Lucia meminumnya perlahan. Bagaimana mungkin kekasihnya menculiknya atau ada apa sebenarnya.

"Ayahku tahu tentang dirimu, tidak ada tempat aman lagi untukmu. Maka itu aku harus menghancurkan semua yang mungkin akan ia datangi, aku membereskan barang-barang di rumahmu..." Brian menunjuk di sudut ruangan, terdapat beberapa kotak barang di sana.

"Kucingmu sehat, dia aman..." tambah Brian.

Brian menyalakan kompor dan mulai memasak, ia memasukan beberapa bumbu tambahan, mengaduknya hingga aroma bawang bombai dan mentega menyebar ke ruangan.

"Biar aku bantu..." cicit Lucia sembari mendekat.

Brian memberi ruang pada Lucia, ia membiarkan perempuan muda itu melalukan apa yang ingin ia lakukan.

"Ceritakan padaku, ada apa sebenarnya..." ucap Lucia.

"Aku berasal dari sebuah keluarga yang dulu menghancurkan keluargamu. Ayahku membuatmu kehilangan kedua orangtuamu dan kami menjalankan berbagai bisnis. Legal dan ilegal, hampir tujuh puluh persen ilegal..." ucap Brian.

Lucia terdiam sembari memotong beberapa paprika yang ia berhasil temukan di lemari pendingin. Tentang cerita orangtuanya, ia telah paham.

"Kami berbisnis di pelabuhan, penyelundupan senjata tajam, minum-minuman dan obat-obatan terlarang. Terkadang kami juga terlibat dalam perdagangan gelap dengan beberapa negara..."

Lucia mengangguk, ini seperti ia mendengarkan Lody bercerita tentang pekerjaan Paman Don. Brian dan Don adalah rekan kerja, itu yang saat ini bisa ia simpulkan.

"Pekerjaanku tidak selalu lancar, banyak hal-hal yang kadang mengganggu dan menghambat..." ucap Brian menyiapkan dua mangkuk di atas meja.

"Dan aku akan dianggap pengganggu oleh Ayahmu, begitu?" ujar Lucia mengunci pandangan Brian.

Laki-laki itu mengangguk.

"Aku menyiapkan beberapa hal agar kau tidak akan tersentuh olehnya, salah satunya memindahkan semua tabunganmu ke rekening baru, menghilangkan apa saja yang sekiranya bisa terjangkau oleh laki-laki tua itu..."

Lucia mengangguk. Ia menuang dua bungkus sup beku yang mencair itu dalam sebuah panci, membubuhkan beberapa bumbu serbuk seperti lada dan garam. Dalam hatinya ia menyadari hidupnya akan sama seperti dengan Lody mulai saat ini. Berapa penjaga akan berada di dekatnya? Berapa banyak peraturan yang harus ia patuhi? Berapa tempat yang harus ia tinggalkan? Siapa saja yang harus ia tinggalkan?

"Aku mengerti. Lalu apa yang harus aku lakukan?" ucap Lucia dalam getir.

"Kita bisa membahasnya setelah kau merasa baikan, setidaknya tidak sekarang sayang..." jawab Brian.

"Tidak ada yang tahu nasibku setelah malam ini, kita membahasnya sembari kita makan malam." ucap Lucia.

Brian memandang mata Lucia, mata yang lembut itu berubah menjadi sangat tegas. Ia tersenyum, sejak awal ia tahu Lucia bukan gadis yang polos dan lemah.

"Baiklah jika itu yang kau inginkan, aku akan mengambil beberapa berkas..."

Brian berlalu meninggalkan perempuan muda yang kini menuang sup yang mendidih itu ke dalam mangkuk dan membawanya ke meja makan. Lucia menyingkirkan vas-vas bunga yang berada di meja itu membuat tempat luas untuk mempelajari berkas apa saja yang harus ia pahami malam itu.

Lucia menemukan sehelai pita, mungkin bekas tali untuk bungkus roti tawar. Ia mengikat rambutnya sebisa mungkin dan duduk di kursi meja makan, jujur ia pernah melakukan ini sewaktu ia masih kecil. Ia mengingat bagaimana Ayah dan Ibunya berbincang malam hari sembari mempelajari beberapa berkas.

"Tidak cukup..." suara Brian terhenti.

"Kita bicarakan semua malam ini, hm?" ucap Lucia tenang.

"Sayang...kau baik-baik saja? Apa aku terlalu banyak menuang bius lalu masuk ke paru-paru lalu masuk ke otakmu atau bagaimana?" cicit Brian sembari mengecup kepala Lucia.

Lucia tertawa meskipun hatinya tak terlalu baik, setidaknya ada laki-laki konyol di dekatnya.

"Tidak sayang, aku baik-baik saja. Jelaskan padaku apa saja yang harus dan tidak harus aku lakukan,hm?"

Brian tersenyum dan memberikan kecupan lembut pada bibir Lucia. Brian membagi berkas yang ia bawa dalam beberapa tempat, berkas tersebut akan mengawali kehidupan Lucia yang baru.

Malam itu langit sangat gelap, tidak ada bintang, bulan pun tidak tampak. Semua terasa senyap, semua terasa asing, sayup-sayup terdengar suara dari televisi sebuah berita menayangkan rumah terbakar siang hari ini di sebuah lingkungan padat penduduk dekat pesisir pantai di pinggir kota.

Keduanya membiarkan suara tersebut mengisi ruang kosong apartemen itu, perhatian Lucia hanya terpusat pada kertas-kertas yang dicoret Brian, beberapa dokumen yang ia harus isi, membubuhkan tanda tangan bahkan stempel atas nama dirinya, sesekali mereka mencuri kecupan satu sama lain dan tentu saja ditemani oleh dua mangkuk sup udang yang kini mungkin tak lagi hangat.

BloomTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang