"Brukk!" Aku mendorong Adam sekuat tenaga dan membuatnya jatuh ke belakang. Orang mesum ini terasa menakutkan. Mereka baru saja bertemu tapi Adam sudah berani mencoba berciuman. Aku tidak bisa menerimanya.
Tanpa berpikir panjang, akupun segera melarikan diri dari situ. Aku bangkit setengah sempoyongan kemudian segera berlari menuju tangga.
"Lan, aku bercanda!" Teriak Adam.
Bercanda?
Benarkah?
Terlalu banyak candaan tidak lucu yang sudah aku terima sehingga alasan itu malah membuatku tambah marah. Ketika aku berontak karena dipukuli, Ryan juga mengatakan kalau aku tidak bisa menerima candaannya. Ketika aku bermuka masam karena dihina, para penghina itu juga membela diri mengatakan kalau mereka bercanda. Setelah banyak yang mendukung, mereka akan 'bercanda' semakin kejam.
Candaan macam apa itu? Apa hidupku candaan untuk mereka? Apa tersiksanya diriku membuat mereka senang?
Tanpa banyak berpikir, aku langsung memasukkan Adam ke ketegori yang sama dengan siswa-siswa yang lain, yaitu para manusia yang mendapat hiburan dengan menyiksaku lahir batin. Aku tidak membutuhkan orang-orang itu dalam hidupku. Mereka harusnya enyah saja.
Suara langkahku menuruni tangga menggema di lorong yang sepi. Tidak ada siswa yang berkeliaran karena jam pelajaran masih berlangsung. Setelah kehilangan tempat bersembunyi, aku terpaksa menuju ruang UKS dan berbohong. Aku mengaku pusing dan mual agar diijinkan beristirahat di sana. Syukurnya dokter UKS tidak mempertanyakanku dan membiarkan saja ketika aku menggunakan salah satu tempat tidur pasien.
Begitu terbaring, aku langsung tidur dan baru terbangun ketika jam pulang sekolah sudah berdering. Suara bel yang melengking itu memaksaku bangun dengan kepala pening. Meskipun begitu, aku turun dari tempat tidur untuk segera meninggalkan ruangan ini.
"Hey, apa kamu ada masalah?" Tanya bu Nana ketika aku mengenakan kembali sepatu untuk bersiap pulang.
Aku hanya menggelang karena merasa tidak ada gunanya untuk bercerita. Orang-orang dewasa seringkali merasa kalau candaan anak SMA adalah biasa. Meskipun 'candaan' itu menyebabkanku mau mati, aku hanya akan diminta lebih berbesar hati dan sabar. Anak-anak yang lain tidak serius dan hanya ingin berteman. Cara mereka saja yang salah jadi aku harus toleran.
Selain itu, siapa juga yang tidak tahu seberapa kayanya Ryan. Ayahnya menyumbang banyak uang ke sekolah ini sehingga tidak ada yang berani menyentuhnya. Jika aku mengadu, akulah yang akan dihukum karena memfitnah. Ryan tidak akan mendapat hukuman apapun.
"Ibu lihat videomu online." Kata ibu Nana setelah dijawab dengan gelengan tanpa kata.
Kalimat itu membuatku mencelos. Masalah ini lagi. Bahkan dokter UKS juga kepo dan mengetahui gosip ini. Benar kata Ethan. Aku harusnya menerima pukulan Ryan dibandingkan menyetujui ide gila makhluk itu.
Melihat raut wajahku berubah rumit, ibu Nana memulai konsultasi untuk menghibur. Sayangnya konsultasi sepihak yang diberikan tidak menolong sama sekali.
"Masalah orientasi seksual, seseorang ngga perlu malu dengan itu. Ibu paham dan tidak akan menghakimi. Kamu bisa cerita ke sini kalau merasa perlu teman mengobrol." Katanya.
'Masalahnya bukan itu! Aku bahkan tidak tahu apakah aku gay atau tidak. Semuanya ulah Ryan!' Balasku dalam hati namun mulutku tertutup rapat. Aku tidak mau mengadukan Ryan tanpa sengaja.
Setelah penghiburan itu, aku harus mendengar berbagai kisah mengharu biru antara dua laki-laki yang saling mencintai. Ibu Nana begitu fasih menceritakan itu seakan-akan dia mengetahui isi hati semua tokoh yang ceritanya. Cerita pertama tentang kisah dua siswa yang berakhir perpisahan karena sadar apa yang mereka lakukan abnormal. Berikutnya adalah kisah cinta dua laki-laki yang sebelumnya memusuhi satu sama lain namun berakhir hidup bahagia selamanya. Dua cerita itu kemudian digantikan dengan cerita ketiga yang terdengar absurd. Bu Nana mengatakan beberapa istilah yang tidak aku pahami seperti omega, marking, ABO, dan lain sebagainya. Entah bagaimana jalan ceritanya, aku tidak begitu memperhatikan. Yang membuatku kaget adalah akhir ceritanya. Kedua tokohnya menikah karena salah satu dari mereka hamil.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana caranya seorang laki-laki bisa hamil. Cerita ini cuma menambah stressku saja.
"Maaf bu. Saya mau pulang." Kataku ketika Bu Nana menyelesaikan tiga putaran cerita. Aku tidak sanggup untuk mendengarkan naskah keempat. Ntah cerita aneh apa yang akan muncul.
"Oh ok. Kamu bisa main ke sini lagi nanti." Jawab Bu Nana dengan senyuman. Dokter itu terlihat puas dan lebih gembira dibanding sebelumnya.
Setelah dibebaskan dari dongeng-dongeng bu Nana, aku segera kabur dan berjalan menuju kelas diam-diam. Ketika melihat kalau kelas sudah sepi, aku mengambil tas dengan cepat kemudian segera pulang.
***
Siang berganti sore dan aku menyelesaikan segala hal yang perlu aku kerjakan di rumah. Dengan menyemangati diri, aku berangkat menuju restoran milik Bian, 'The Firdaus', menggunakan sepeda. Masa neraka sudah berlalu sehingga aku kembali termotivasi untuk menjalani hidup. Di tempat Bian, aku tidak perlu banyak berpikir dan hanya bekerja sehingga tempat itu adalah pengungsian terbaik.
Menurut Bian, hari ini aku perlu melakukan pemotretan untuk bahan sosial media. Bian juga mengatakan kalau aku harus berpenampilan bersih dan rapi. Oleh karenanya aku mandi dan mengenakan sunblock sebelum berangkat. Orang itu akan cerewet kalau kemauannya tidak dipenuhi sehingga aku menyiapkan diri sebaik mungkin.
"Hallo Lan." Sapa Alina, salah satu waiter ketika aku sampai.
"Hallo Lina." Aku menyapa balik sambil tersenyum. Dengan rekan kerja yang ramah dan baik, aku yang sering merengut inipun bisa tersenyum. Terlebih lagi Alina banyak membantuku dan tidak pernah menilaiku rendah hanya karena aku berpenampilan cupu.
"Lan, udah dateng? Siap-siap ya! Pakai seragam yang di loker setelah itu langsung cari aku di depan." Kata Bian begitu melihatku. Dari cara bicaranya, aku bisa paham kalau dia sedang berada dalam fase professional. Dengan demikian, aku harus segera bekerja dan tidak boleh lelet.
Tanpa membuang waktu, aku menuju loker dan mengganti pakaian dengan pakaian seragam pelayan berwarna hitam putih lengkap dengan sapu tangan. Bian yang menyukai gaya Victoria, memberiku seragam Butler yang terlihat elegan. Selesai mengenakan setelan itu, aku mengenakan softlense kemudian memeriksa penampilan dengan teliti di cermin.
Setiap melihat wajah baruku ini, aku selalu merasa tanganku mendingin. Bagaimana mungkin ada makhluk berbeda yang muncul ketika aku membuka kacamata? Apa aku masih diriku? Aku jadi takut kalau ternyata aku sudah berubah menjadi makhluk lain.
Namun itu tidak penting. Yang terpenting saat ini adalah tidak memberikan alasan pada Bian untuk mengomel. Aku merapikan beberapa detil seragam kemudian menegakkan punggung. Setelah merasa siap, aku melangkah tenang menuju area pengunjung untuk mencari bossku yang sibuk itu.
Sesampainya di sana, aku melihat beberapa orang membawa kamera-kamera besar. Keringat dingin langsung membasahi pelipisku gara-gara ingat akan kejadian tadi pagi. Keberadaan kamera memberiku trauma.
"Lan, kenapa kamu pucat?" Tanya Bian yang sudah di sampingku tanpa aku sadari.
***

KAMU SEDANG MEMBACA
RYVAN 1 - Ugly Duckling
RomanceSeme pembully vs Uke culun vs seme gentleman Cerita tentang orang culun yang menjadi ganteng setelah bertemu tambatan hati yang baik. Sayangnya gara-gara glowing up, orang yang dulu suka membullynya malah mengejar-ngejarnya. Catatan: author nulis u...