Aku Melukis Luka Di Atas Kanvas

57 3 0
                                    

Aku duduk termenung di ruang studio yang sunyi, memandang lukisan-lukisan indah yang terpampang di dinding

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku duduk termenung di ruang studio yang sunyi, memandang lukisan-lukisan indah yang terpampang di dinding. Hatiku terasa berat, dipenuhi oleh rasa kehilangan yang tak terkatakan. Dia telah pergi, meninggalkanku sendirian di dunia yang hampa.

"Dia selalu begitu bersemangat ketika melukis," bisikku pelan, suara itu hampir terhenti di tenggorokanku yang kering. "Tapi sekarang, dia pergi. Aku sendirian."

Aku membiarkan kenangan-kenangan manis membanjiri pikiranku. Kami berdua, saling berbagi impian dan cita-cita di dalam studio ini. Namun, ingatan itu sekarang hanya meninggalkan rasa kekosongan yang mendalam di hatiku.

Aku masih mengingat dengan jelas hari-hari terakhirnya. Setiap hari, dia selalu mengajakku ke studio ini, tempat di mana karya-karya indahnya terlahir. Meskipun bergantung pada alat bantu pernafasan, dia tetap duduk dengan anggun dan mempesona di depan kanvas yang kosong. Setiap kali aku menunjukkan wajah sedihku, dia selalu berkata, "Jangan sedih, aku tidak akan kemana-mana," dengan mata yang teduh, sambil dengan lembut menggerakkan kuas di atas kanvas.

Ketika aku mendengar kata-kata itu dari bibirnya, aku selalu merasa tersentuh, seolah-olah alam semesta memberiku jaminan akan keberadaannya. Aku mencium keningnya dengan penuh kasih, lalu menggenggam tangannya yang sedang melukis sambil berkata, "Iya sayang, aku selalu percaya." Bersama-sama, kami menciptakan lukisan yang selalu indah.

Namun, sekarang dia telah pergi, meninggalkanku sendirian dalam kesunyian studio ini. Hatiku berat dipenuhi oleh rasa kehilangan yang tak terkatakan. Ingatan akan momen-momen indah kami bersama terus menghantui pikiranku, meninggalkan rasa kekosongan yang mendalam di hatiku.

Aku membiarkan air mata mengalir di pipiku saat bayangannya muncul di benakku. Dia terbaring lemah di tempat tidur, bergantung pada alat bantu nafas untuk bernapas. Melihatnya begitu rapuh membuat hatiku hancur berkeping-keping.

"Apa yang salah, sayang?" tanyanya padaku dengan suara lemah, senyumnya yang redup mencoba menguatkan diriku. Namun, aku tahu, di balik senyum itu, tersembunyi rasa takut dan keputusasaan yang sama seperti yang kurasakan.

"Sungguh tidak adil," desisku dengan penuh amarah pada takdir yang begitu kejam padanya. "Kita seharusnya memiliki lebih banyak waktu bersama."

Aku membiarkan pandanganku terlempar ke kanvas kosong di sudut ruangan. Dengan tangan gemetar, kugenggam kuas dan mulai melukis. Setiap goresan kuas adalah sebuah ekspresi dari perasaan yang terluka, sebuah cara untuk meluapkan kepedihan yang tak terkatakan.

Saat aku melukis, aku mencoba menyembuhkan rasa rindu dan sakit hatiku terhadap dunia ini. Kenangan-kenangan tentang kami berdua terus mengalir ke pikiranku. Setiap detail, setiap momen indah, kini hanya menjadi puing-puing kenangan yang hancur. Meskipun demikian, dalam setiap sapuan kuas, aku merasakan kehadirannya yang abadi, membawa cahaya di tengah kegelapan yang menyelimuti hatiku.

Dalam keheningan studio, lukisan itu mulai mengambil bentuk. Warna-warna yang kurasakan begitu dalam terpampang di atas kanvas, menciptakan gambaran yang hidup tentang cinta, kehilangan, dan ketulusan.

Aku merasa seolah-olah dunia di sekitarku berhenti berputar saat aku terfokus pada lukisan itu. Sentuhan-sentuhan lembut kuas di atas kanvas menyiratkan kehadiran yang selalu kucari.

Hari ini, sudah genap satu tahun kepergiannya, dan aku tiba-tiba merasakan kehadirannya kembali dengan begitu kuatnya. Aroma khas tubuhnya membaur di setiap sudut ruangan ini, seolah-olah dia masih ada di sini, di sampingku. Rasanya seperti mimpi, aku menengok sekeliling mencari keberadaannya, dan kemudian aku melihat tirai yang menutupi beberapa lukisan bergerak pelan oleh hembusan angin.

Semakin kencang hembusan angin, semakin dekat rasanya kehadirannya di dekatku. Tak salah lagi, aroma itu adalah aroma darinya. Aku tak bisa menahan air mata, dan mereka jatuh ke dalam palet yang berisikan cat lukis. Saat air mataku membasahi palet itu, tiba-tiba cahaya keemasan merangkulku dari belakang, dan aku bisa mendengar bisikan lembut di telingaku, "Jangan sedih, aku tidak akan kemana-mana." Cahaya itu memancar hangat, mengisi ruangan dengan kehadiran yang begitu akrab dan penuh cinta. Rasanya seolah-olah aku bisa merasakan belaian tangannya, meskipun dia sudah tiada dalam bentuk fisik.

Aku tiba-tiba terbangun dari tidurku, dan mataku basah oleh air mata. Saat aku mulai tersadar, aku melihat ke depan dan melihat kanvas di hadapanku. Di sana, tergambar wajahnya dengan warna-warna yang begitu indah, menciptakan gambaran yang hidup tentang kehadirannya yang selalu aku rindukan.

Air mataku tak bisa terbendung saat aku menyadari bahwa ini hanyalah lukisan, dan dia sekarang hanya tinggal dalam kenangan. Rasa sakit yang mendalam menusuk hatiku saat aku menyadari bahwa aku tidak akan pernah bisa merasakan kehangatan pelukannya lagi, mendengar bisikan lembutnya, atau melihat senyumnya yang hangat.

Lukisan itu menjadi bukti yang menyakitkan akan kepergiannya yang tak tergantikan. Setiap goresan kuas adalah sebuah ekspresi dari perasaanku yang terluka, sebuah cara untuk merangkul kenangan indah yang sekarang hanya tinggal dalam hati dan pikiranku.

Dalam keheningan studio, aku merenung, mencoba memahami bahwa meskipun dia telah pergi, cintanya akan selalu ada dalam lukisan-lukisan ini. Meskipun hatiku hancur, aku tahu aku harus terus melangkah, menghadapi dunia yang tanpa dirinya dengan kekuatan yang tersisa.

Dengan gemetar, aku mengambil kuas dan mulai menambahkan detail pada lukisan itu, mencoba menangkap setiap nuansa dan ekspresi yang pernah ada dalam wajahnya. Setiap sentuhan kuas adalah sebuah upaya untuk membawa kehidupan pada gambaran tentang dia yang pernah menjadi cahaya di kegelapan hidupku.

Air mataku terus mengalir, tetapi aku terus melukis, mencurahkan perasaanku ke dalam setiap goresan, sebagai bentuk perpisahan terakhirku dengan kekasihku yang tercinta. Meskipun aku tahu dia tidak akan pernah kembali, lukisan ini akan selalu menjadi pengingat akan cinta yang kami bagikan, dan bagaimana dia telah menyentuh hatiku dengan kebaikan dan kehangatan yang tak terlupakan.

Bogor, 02 Mei 2024

Antalogi Cerpen : Karya Muhammad Ali AkbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang