Tayangan Ulang untuk Mamah

45 6 1
                                    

Di sebuah kamar yang sunyi di sudut rumah sakit, terdengar batuk lemah seorang wanita paruh baya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.



Di sebuah kamar yang sunyi di sudut rumah sakit, terdengar batuk lemah seorang wanita paruh baya. Tubuhnya terbaring kaku di atas ranjang, terhubung dengan infus yang menggantung di sisi tempat tidurnya. Wajahnya pucat, dengan keriput yang mengingatkan pada waktu yang tak henti-hentinya berlalu. Nafasnya berat dan tersendat-sendat, seolah setiap hembusan membawa beban yang lebih dari sekadar udara. Matanya kosong menatap langit-langit ruangan, tapi bukan di situ pikirannya berada.

Langit-langit itu putih, polos, seperti layar yang memutar kembali kenangan masa lalu. Di balik matanya, ia melihat hari-hari yang pernah dijalani dengan tawa. Langkah-langkah kecil kaki anaknya yang berlarian di rumah. Suara riuh yang dulu memenuhi setiap sudut, kini hanya tersisa keheningan yang memeluknya erat.

Dalam keheningan itu, sebuah lagu berbisik di udara, sebuah melodi yang menghubungkan jarak jauh dengan hati yang dipenuhi rasa rindu.

"I hear her voice in the mornin' hour, she calls me..."

Di tempat lain, jauh dari ruangan yang sepi itu, Alba, seorang pemuda berusia dua puluh tahunan, duduk sendirian di kereta yang bergerak perlahan. Kepalanya bersandar pada jendela, tatapannya menerawang, seolah mencari jawaban di balik pemandangan yang melesat cepat di luar sana. Di telinganya, suara John Denver dengan lembut mengalun melalui AirPods yang ia kenakan. Lagu "Take Me Home, Country Roads" menemani perjalanannya, namun pikiran Alba tak benar-benar berada di situ.

"The radio reminds me of my home far away..."

Alba menutup matanya sesaat. Lagu itu seolah memanggilnya pulang, mengingatkannya pada rumah dan segala sesuatu yang tertinggal di sana. Mamah, pikirnya. Tubuhnya terasa berat oleh rindu yang perlahan-lahan menyelinap masuk, mencengkeram hati yang telah lama ia coba jaga tetap tegar. Dia merantau jauh dari kota kecil tempat ia tumbuh, demi mengejar mimpi, demi menjadi seseorang yang lebih baik. Tapi kini, rasa bersalah menyelinap. Ada sesuatu yang tak bisa dia ubah: waktu yang telah hilang dan jarak yang terbentang.

"Drivin' down the road, I get a feelin'
That I should've been home yesterday, yesterday..."

Tangannya mencengkram erat kursi di depannya, seakan itu bisa menahan kesedihan yang mulai memenuhi dirinya. Pesan yang ia terima pagi tadi, suara ayahnya yang terdengar berat di telepon, semuanya menekan Alba seperti beban yang tak terlihat. "Mamahmu semakin lemah," kata-kata itu terngiang di kepalanya, berulang-ulang seperti gema yang tak kunjung henti.

Alba membuka matanya, memandang keluar jendela kereta. Jalanan yang berliku, perbukitan hijau yang ia lewati mengingatkannya pada jalan-jalan di sekitar rumahnya dulu. Saat ia masih kecil, mamah sering mengajak Alba naik sepeda menyusuri desa kecil mereka, bernyanyi dengan ceria lagu-lagu yang ia dengar di radio. Setiap tikungan jalan adalah sebuah cerita, dan setiap kenangan kini terasa semakin jauh, tak terjangkau.

Kereta melaju, namun seakan waktu di dalam diri Alba melambat. Setiap hentakan rel mengirimkan ingatan-ingatan yang kini ia sesali. Andai saja ia lebih sering pulang. Andai saja ia tak terlalu sibuk dengan dunianya sendiri. Andai ia bisa lebih cepat berada di samping mamahnya.

Antalogi Cerpen : Karya Muhammad Ali AkbarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang