1 - Satu dan Dua dari Tujuh Puluh Delapan

3.4K 225 90
                                    


 Elheims, satu tahun setelah penyerangan Herobrine.

Koridor-koridor panjang di istana nampak sepi. Lengang. Suara tapak kakiku bergema pelan setiap kali menyentuh permukaan keramik. Aku berhenti di tengah-tengah koridor, menatap lautan Elheims yang terbentang luas dari tepi koridor. Cahaya matahari sore lembut memantul di permukaannya yang tenang.

Lengang. Hanya suara angin yang berdesir lembut di sekitar. Tapi kedamaian itu tidak bertahan lama. Tanpa kusadari, seseorang baru saja melangkah hati-hati melewati koridor. Lantas mendaratkan tangannya di pundakku tanpa suara.

"HAYOLO KAGET!"

"E IKAN TERI DONAT BAKAR SELAI STROBERI- YA AMPUN, SAMSULUDIN ANAKNYA BAPAK GENAH!" aku melatah panjang – saking kagetnya.

"Kau ngapain datang ke sini? Mana Marvel dan Clover?" aku menatapnya kesal.

"Mereka di desa. Aku datang sendirian, Raja Ikan," anak itu santai menjawab pertanyaanku. Ia ikut melihat-lihat pemandangan dari tepi koridor.

Nampaknya kedamaian sore ini sama sekali tidak bertahan lama.

"Ada apa kau datang ke sini, Samsul? Tidak ada rumusnya kau datang ke sini karena kangen padaku, kan?"

"Memang tidak, Raja Ikan. Siapa pula yang akan kangen dengan raja yang dari jauh saja sudah tercium bau amisnya?" sekali lagi aku menatapnya kesal. Kalau saja dia bukan anak asuh Clover, sudah sejak tadi ia kulemparkan ke lautan di bawah koridor.

"Aku serius, Samsul. Kenapa kau datang ke sini?"

Kali ini dia tidak langsung menjawab. Matanya menatap hamparan lautan yang terbentang luas, sama birunya seperti sepasang matanya.

"Raja Ikan... kau teman dekat Master Nevin, kan?"

Aku melirik, mengangguk sekilas. Menunggu lanjutan kalimatnya.

"Master Nevin pernah bercerita tentang perang besar antar manusia dan ras Atlantia. Master bilang, ia bertarung bersisian denganmu selama perang itu. Saat menghalau kakakku, Master juga menyebut-nyebut tentang rasa sakit, penyesalan, pengkhianatan, dan sebagainya... juga saat melatihku. Apa sebenarnya yang terjadi saat perang itu, Raja Ikan?"

Kali ini gantian aku yang tidak langsung menjawab. Aku menatap anak enam belas tahun di hadapanku.

"Kau sungguh-sungguh ingin tahu?" Samsul mengangguk sebagai jawaban.

Aku kembali menatap lautan di depanku. Membiarkan angin sore memainkan helaian rambut biru tuaku.

"Kau tahu, Samsul... cerita ini... kau tidak akan menemukan cerita ini di manapun. Biar seluruh Viva World kau jelajahi, tidak akan ada yang menceritakan peristiwa itu kepadamu. Kau beruntung kenal dengan Raja Ikan yang kau sebut amis ini, Nak."

Samsul mengikuti teladanku, meletakkan tangannya di pagar koridor, menatap lautan luas. Sabar menungguku melanjutkan kalimat.

"Biar kuceritakan dari awal, Samsul. Supaya tuntas terjawab seluruh pertanyaan di kepala kotakmu itu."

***

Berpuluh tahun yang lalu, di koridor yang sama.

"Tidak mau, Bu! Aku ingin bermain petak umpet dengan Kaguma!" aku berusaha melepaskan diri dari pegangan tangan Ibu.

"Kaguma tidak ikut ke istana hari ini, Nak. Lagi pula, kan sudah Ibu bilang, teman Ibu juga akan membawa anak laki-lakinya hari ini. Kalian bisa jadi teman baik."

"Tidak mau, Buu!" sekali lagi aku berusaha melepaskan tanganku dari pegangan tangan Ibu. Terlambat, Ibu sudah menarikku melewati koridor, membawaku ke kapal. Lantas mendudukkanku di salah satu kursi kayu.

Biru - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang