5 - Pembunuh

1.2K 131 39
                                        

Hari menyambung membentuk minggu. Minggu berbaris menyusun bulan. Bulan-bulan menyulam tahun-tahun yang tidak mudah bagi Elheims. Penyerangan demi penyerangan terus menghiasi bulan-bulan kami. Awalnya hanya satu penyerangan setiap dua-tiga bulan. Lama-kelamaan frekuensinya meningkat menjadi setiap bulan. Hilang sudah pertemuan bulanan yang ramah dan hangat, digantikan dengan penyerangan bulanan yang keji dan mengerikan. Surat demi surat sudah dilancarkan ke kota itu, setidaknya mengajukan permintaan untuk rapat, bicara baik-baik. Namun mereka tidak pernah membalasnya dengan surat. Lebih sering dengan penyerangan, pembantaian. Jelas sekali mereka hanya ingin menguasai tanah Elheims. Itu saja.

Penyerangan-penyerangan itu, perlahan tapi pasti, membuat kami tumbuh lebih cepat. Memang menyeramkan menyaksikan pemandangan mayat-mayat di lapangan Elheims. Mau berapa kalipun aku melihatnya, itu tidak mengurangi kesan mengerikannya. Tahun-tahun itu, ratusan pasukan terbaik Elheims mati di penyerangan. Namun setidaknya, setiap kali pasukan pengintai datang tergopoh-gopoh mengabarkan penyerangan, kami tidak sepanik saat pertama kali dulu. Aku, Nevin, dan Kaguma sudah jauh lebih siap. Bahkan, beberapa bulan terakhir, kemampuan bela diri kami juga meningkat pesat (hasil ajaran Nevin terbukti benar-benar berkualitas). Itulah yang membuat kami mulai mempertimbangkan untuk berbicara lagi dengan Ayah Kaguma dan Fahreza – yang selama ini selalu melarang kami ikut serta dalam penyerangan.

Sore ini, aku dan Nevin berkali-kali mondar-mandir di depan pintu ruangan mereka. Di dalam sana, samar-samar bisa kudengar Kaguma bercakap-cakap dengan ayahnya, sesuai dengan skenario yang sudah kami tentukan sebelumnya. Lima menit, Kaguma keluar dari ruangan. Wajahnya masam. Aku dan Nevin diam, sabar menunggu penjelasannya – walau tentu saja kami sudah tahu dari raut wajahnya.

"Tidak boleh. Ayah dan gurumu selalu saja bilang kita masih terlalu kecil, huh." Lapor Kaguma. Tiga tahun terakhir, setiap kali kami meminta untuk ikut serta mempertahankan kerajaan dalam penyerangan, selalu itu alasan standar Ayah Kaguma ; kami masih terlalu kecil.

"Kecil apanya? Kita sudah jauh lebih besar dari tiga tahun yang lalu. Sampai kapan kita hanya disuruh duduk diam dalam bunker, sementara yang lain mempertahankan kerajaan?" protesku sambil berjalan menjauhi ruangan tadi, takut kalau-kalau ucapanku barusan terdengar.

"Usia kita memang bertambah, tetapi kau tak kunjung tinggi juga, Yon. Hanya tandukmu saja yang bertambah tinggi." Nevin mengekoriku berjalan meninggalkan ruangan tempat Ayah Kaguma dan Fahreza berada. Aku melotot ke arahnya, kesal. Enak saja bilang aku tidak tumbuh tinggi.

Esoknya, sama seperti ribuan hari-hari sebelumnya, kami tetap menjalani rutinitas seperti biasa. Aku tetap berkutat dengan buku-buku tebal dan mempelajari berkas-berkas kerajaan dengan Kaguma dan Nevin (yang seringkali ikut-ikutan). Sore harinya, seperti biasa, Nevin akan mengajariku bela diri.

Namun sepertinya, rencana itu terpaksa batal untuk sore ini.

Sore itu nyaris sepi. Tenang. Sampai ketika aku dan Nevin hendak berjalan ke tempat biasa kami berlatih, terdengar ribut-ribut. Suara langkah kaki ribuan pasukan berpadu dengan suara teriakan dan hunusan pedang. Begitu familiar, membuatku dan Nevin saling berpandangan. Pasukan dari barat!

Tunggu. Ini aneh. Mengapa pasukan pengintai Elheims tidak mengabarkan terlebih dahulu? Apa pasukan pengintai sedang ambil cuti hari ini? Rasa-rasanya tidak.

Apapun itu, yang jelas, kami tidak akan sempat ke bunker. Mereka sudah menerobos gerbang kerajaan. Mudah saja menembus penjaga gerbang yang sama sekali tidak ada persiapan. Aku menatap jeri ribuan pasukan yang mulai bergerak ke arah kami.

Seketika, Nevin menggoyang-goyangkan lenganku. Membuatku menoleh ke arahnya.

"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain bertarung, Yon. Setidaknya bertahan. Bertahan selama mungkin." Sorot mata biru langitnya menatap lurus-lurus ke arahku. Aku balas menatapnya, mengangguk mantap. Baiklah. Aku memutar pergelangan tanganku, mengeluarkan senjata favoritku ; trisula air. Tidak terlalu besar, paling-paling hanya setinggi kepalaku. Ujung-ujungnya dingin dan tajam. Beberapa bulan terakhir, aku juga belajar cara menggunakan beberapa senjata. Favoritku adalah trisula ini.

Biru - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang