4 - Matahari Tenggelam

1.1K 127 23
                                    

"Yon, psst, Ikan! Bangun, oi!" suara cemprengnya yang khas adalah hal pertama yang kudengar pagi ini. Begitu juga saat membuka mata, yang pertama terlihat adalah wajahnya. Wajah itu menyengir, senang berhasil membangunkanku.

"Bangun, heh. Tidurmu semalam persis seperti kebo, tau." Aku mengusap-usap mata, tidak menghiraukan ucapannya. Berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Ah iya, aku di bunker. Masih segar di ingatanku tentang penyerangan kemarin, yang mengakibatkan aku, Kaguma, dan Nevin harus mengungsi ke bunker. Eh, apa penyerangan itu masih berlangsung?

"Di atas sudah sepi, Yon. Tidak betul-betul sepi, sebetulnya. Masih banyak mayat bekas penyerangan semalam," lapornya santai. Seolah mayat bekas penyerangan adalah hal biasa untuknya.

"Eh, di mana Kaguma?" mataku menyapu seisi bunker, tidak menemukan Kaguma di sana.

"Kaguma pergi ke atas, mengintip. Katanya ia mau berjaga-jaga kalau-kalau masih ada pasukan manusia di sini." Aku ber-ooh pendek. Tumben-tumben anak itu bisa pintar.

Panjang umur. Baru juga dibicarakan, yang punya nama seketika melongok dari lorong tangga. Suara ketukan sepatunya yang tak beraturan terdengar bergema di langit-langit bunker.

"Tidak ada pasukan manusia di atas. Hanya ada prajurit Elheims yang membersihkan sisa-sisa penyerangan kemarin." Laporan singkat Kaguma cukup untuk membuatku dan Nevin saling pandang, dengan satu pertanyaan. Amankah untuk keluar?

Tak lama, ketiga kepala kami bergantian menyembul dari balik pintu bunker. Aku yang terakhir keluar, mengunci pintunya, lantas menutupi sekitar pintu dengan pasir seperti saat kami membukanya kemarin. Sepuluh detik, kunci pintu sudah kembali ke lemari kecil di dinding menara.

Begitu keluar dari menara, pemandangan itu langsung menyambut kami. Bahkan Nevin dan Kaguma yang sudah sempat mengintip sekilas tadi tetap terkejut dengan pemandangan di depannya.

Bagaimana tidak? Mayat bekas penyerangan bergelatakan di mana-mana, membuat bau amis darah meruap. Genangan darah membanjiri lapangan rumput, mengakibatkan rumput pendek-pendek di lapangan Elheims layu.

Inikah... inikah arti sebenarnya dari peperangan?

Nevin membuyarkan lamunanku, menarik tanganku supaya segera berjalan menyeberangi lapangan, diikuti Kaguma. Semakin kami berjalan ke tengah lapangan, semakin sering terdengar bunyi kecipak genangan darah yang tak sengaja terinjak kaki kami. Kaguma menutup hidungnya dengan tangan, tak kuat mencium bau darah yang kian pekat di lapangan.

Setengah berlari, kami akhirnya sampai di aula Elheims. Setidaknya tidak ada mayat-mayat di aula. Belum ada yang mampu berkata-kata setelah melewati 'lapangan mayat' barusan.

"Kaguma, Ayon, Nevin!" suara serak itu memanggil kami dari ujung aula. Membuat wajah-wajah pucat kami sontak menoleh ke arah sumber suara. Tak lain dan tak bukan, Ayah Kaguma.

"Ya ampun, syukurlah kalian baik-baik saja di dalam bunker. Kemarilah, anak-anak. Dengarkan aku baik-baik."

"Aku tahu kalian kaget dengan penyerangan ini, begitu juga dengan kami. Terima kasih sudah jauh-jauh datang untuk memperingati kami lebih awal, Nevin." Ayah Kaguma menatap Nevin, tersenyum tipis.

"Dengarkan aku. Penyerangan ini, bisa jadi hanyalah awal dari penyerangan-penyerangan berikutnya. Tapi kita akan mencegahnya, bagaimanapun caranya. Manusia-manusia itu... mereka tidak lagi menghormati perjanjian tidak tertulis antar manusia dan Atlantia. Perjanjian untuk hidup berdampingan dan tidak saling mengganggu. Padahal itulah yang membuat tanah Elheims dan kota-kota manusia tetap damai beberapa abad terakhir."

"Jadi untuk sementara ini, Ayon, kita akan tetap berusaha mencari tahu alasan penyerangan mereka, sekaligus mencegahnya. Dan kau juga akan tetap melanjutkan pelajaran harianmu di perpustakaan. Tidak ada penyerangan yang akan menghentikan kegiatan belajarmu."

Biru - Viva FantasyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang