Jeda 5: Kenapa harus berakhir?

139 19 0
                                    

"Terimakasih sudah mampir, have a nice day!"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Terimakasih sudah mampir, have a nice day!"

Rhea duduk dan bernafas lega setelah banyak melayani pelanggan, entah karena karyawan satu shift nya sedang banyak yang ijin, atau cafe yang memang sedang rame, Rhea merasa lelah karena melayani banyak pelanggan kali ini.

Bahkan baru masuk pintu, Theo--teman satu shift nya langsung berteriak-teriak karena butuh bantuan.

"Gila rame banget deh hari ini, perasaan juga weekday." Kata Theo yang turut duduk di sebelahnya. Laki-laki dengan apron sama seperti yang ia kenakan itu memejamkan mata dengan nafas yang tersengal-sengal.

"Alhamdulillah lah, semoga gaji kita naik." Rhea tertawa di akhir.

"Ngomong-ngomong gue udah jarang liat lo di anterin cowok lo, sibuk ya dia?" Sebenarnya kalau orang tidak terlalu kenal, di tanyai seperti yang Theo katakan akan terkesan kepo, tapi karena ini Rhea, yang hari-harinya ketemu Theo-lagi, Theo-lagi jadi ya tidak terlalu heran. Keduanya kerap kali berbagai cerita kok, selain keduanya satu shift, kebetulan mereka seumuran. Hanya saja beda kampus.

"Udah putus gue." Keterkejutan Theo sepertinya harus di tunda, karena ada dua perempuan yang mendekat ke arah counter untuk memesan. "Choco Oreo, hangat dua ya Mbak. Take a way."

Theo memperhatikan Rhea yang luwes melayani pembeli, mana ia tahu kalau Rhea habis putus, meskipun beberapa hari kebelakang teman satu shift nya itu terlihat murung, tapi setelah sakit tempo hari, Rhea tampak kembali seperti yang biasa.

"Totalnya dua puluh empat ribu. Terimakasih sudah mampir, have a nice day!"

Kedua perempuan itu tersenyum dan pergi menenteng dua cup coklat hangat. Rhea kembali duduk di samping Theo.

"Gimana tadi? Lanjutin! Lo suka banget gantung cerita." Rhea tertawa. "Ya gitu aja sih putus."

"Singkat banget?!" Theo merespon sinis. "Ya jawaban apa yang lo harapkan Muhammad Abdi Theo??"

"Maksud gue kan lo udah empat tahun? Dan pastinya nggak semudah itu buat bertahan kan? Ya senyerah apa lo sama mantan cowok lo sampek putus." Rhea mengalihkan pandang, menatap beberapa anak SMA dekat kampusnya yang tampak betah sejak sore. "Ya ada masalah.. pokoknya bikin gue capek banget sama dia, tapi gue masih sayang."

"Selingkuh?"

"Astaga, amit-amit! Bukan! Ada pokoknya." Oke, Theo tidak bisa memaksa lagi, kan lagipula itu juga termasuk privasi. Sedekat apapun mereka, Theo tetaplah orang lain.

"Kalo lo gimana?" Theo tersenyum kecut. "Lo berharap apa sih pacaran sama orang yang belum selesai sama masa lalunya." Jawabnya.

"Setahun ini? Dia masih stuck?" Theo mengiyakan. "Gue capek sebenarnya, tapi ya namanya sayang, kayak yang pernah lo bilang ke gue, biar yang di makan tai juga tetep kelihatan coklat kalo lo beneran secinta itu sama dia."

"Pasti berat ya? Sakit banget jadi pelampiasan doang."

"Gue ikhlas, Rhe. Ikhlas banget.."

"Anjing jangan galau gini dong, hayu kita jalanin kehidupan kita meskipun sakit, meskipun lo kadang pingin nyerah, coba lo ingat sama perjalanan lo yang sejauh ini." Rhea tersenyum, "sejauh ini aja lo bisa bertahan, gimana besok? Pasti bisa. Pokoknya jangan lihat kebelakang, lihat kedepan biar lo nggak perlu sakit."

Rhea, caranya bicara seolah ia tak pernah menengok kebelakang, ke masa lalu.

Jeda,


Pukul setengah sembilan Rhea di datangi cowoknya--mantan cowoknya maksudnya.

Dilihat dari cara mereka berinteraksi tidak seperti putus. Ya kalau dilihat dari sisi manapun, orang tidak kenal pun akan mengira mereka pacaran. Nggak heran kalau Rhea tampak biasa saja walaupun sudah putus.

Ya berarti keduanya memang sama-sama belum menyelesaikan satu hal penting setelah putus. Move on.

Theo tidak cemburu kok, hanya saja iri melihat kebersamaan mereka. Bahkan putus saja masih sama-sama sayang. Sedangkan ia hanya bisa membuat skenario di dalam kepalanya mengenai hubungannya dengan doi.

Pura-pura melupakan bahwa perempuan yang ia sayangi masih belum selesai dengan masa lalunya.

"Hoi!" Theo terjingkat saat orang yang baru saja ia pikirkan tiba-tiba berada di depannya.

"Ice Americano satu, dua shoot aja." Theo mengangguk, segera meracik pesanan Rhea yang sepertinya untuk Bian. Karena Danica tidak meminum kopi sekuat Americano.

Setelah selesai, Theo langsung mengantarkannya, sekaligus menyapa Bian. Keduanya kenal, cuma ya nggak yang akrab-akrab banget. "Nih, 2 shoot."

"Loh kan aku mintanya 4." Balas Bian menatap Rhea. Tapi gadis itu santai saja menyenderkan punggungnya pada kursi cafe. 

"Pakabar, Bi? Biasanya sering main kesini lo."

"Baik-baik, sehat wal afiat. Itu, lagi ngebut tugas mau KKN soalnya." Jawabnya. "Lo sendiri?"

"Ya kalo gue kenapa-kenapa nggak mungkin ngasih lo minum." Bian haha-hehe saja, lalu Theo kembali ke pantry.

"Cuma kamu sama Theo doang?" Tanya Bian. "Iya, mana tadi rame banget, kasian tuh anak, aku datengnya agak telat lagi."

"Yang lain kemana emang?" Shift malam sebenarnya ada 4 orang. 3 inti, 1 cadangan. Yang inti satunya sedang pulang, orang tuanya sakit, yang cadangan pula hanya di panggil saat benar-benar urgent. Tapi saat butuh seperti ini dia malah tidak ada kabar.

"Ririn pulang, orang tuanya sakit."

Keduanya sama-sama terdiam, menatap jendela dengan pandangan kosong.

Biasanya tidak ada adegan canggung seperti ini, dulu, mereka akan berbicara sampai tak tahu waktu. Kalau ada manager, Rhea kerap kali di tegur.

Salah sih kalau Hanin bilang status mereka berubah tapi semua masih sama. Rhea masih canggung untuk menceritakan hari-harinya, mulai dari telat bangun tidur, masalah cewek pick me di kelas, sampai pembeli menyebalkan yang membuatnya harus banyak-banyak mengelus dada.

Walaupun sebenarnya kalau mau, Bian juga tidak menolak cerita-cerita itu. Rhea yakin Bian masih menerimanya seperti dulu. Hanya Rhea yang sungkan, mau menceritakan kisah-kisah yang ia jalani tiap harinya sebagai apa.

Walaupun Bian pernah bilang mereka bisa menjadi teman, tapi ya kalau di pikir baik-baik memang ada teman yang mengajaknya bergandengan tangan, memangnya ada teman yang pernah ekhem--berciuman. Rhea tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti arti teman yang Bian maksud.

Karena lima detik setelah mengatakan "kita bisa menjadi teman" Biantara melanjutkan kalimat itu.

"Teman hidup."

Kalimat yang masih terngiang hingga saat ini. Perlahan sudut-sudut bibirnya terangkat, Rhea mengalihkan pandangannya, dan terkejutnya ketika ia menemukan pandangan Bian yang juga menatapnya.

"Kalo teman hidup yang lo harapkan itu, kenapa kalian harus berakhir, Re?"

Rhea bertanya pada dirinya sendiri.

Jeda,

Jeda,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang