Menjemput Step 1

4 0 0
                                    

Sudah 15 menit, tapi angkutan umum tidak kunjung datang. Bahkan ojek pun tidak ada yang lewat. Sudah dicoba untuk pesan lewat online, tetap saja tidak ada driver yang menerima pesanan mereka.
“Duh, El. Lama banget, ya!” kesal Resya.
“Lagian lo kenapa enggak bawa motor sih tadi? Kenapa malah pilih naik ojek? Sudah pasti mereka itu enggak bakal membocorkan rahasia dari temannya,”
“Oh iya, gue bawa motor ya kemarin,” ujarnya sambil terkekeh.
Elvara jengah melihat kelakuan Resya. Matanya kembali menerawang ke arah depan. Menatap nanar. Setelahnya, ia kembali melihat ibu penjual itu pergi ke arah selatan.
“Re, itu ibunya,” heboh Elvara.
“Ibu siapa?”
“Ya yang kita cari,” geram Elvara.
Mereka pun melihat ke arah jalanan yang tadi dilewati oleh ibu itu. Kecepatan motor yang dikendarai, benar-benar menghantam udara. Ia mengemudikannya begitu cepat, secepat pembalap. Entah apa yang dikejar. Ataukah ia tahu bahwa di situ ada Elvara yang sedang mencari tahu informasi tentangnya?
“Tuh orang caper apa gimana? Sudah lewat 2 kali. Cepat banget lagi gerakannya,” heran Resya. “Ini juga, orang-orang pada enggak butuh uang apa gimana? Jam segini dienakin tuh tidur siang,” imbuhnya.
“Sabar kenapa, Re!” ujar Elvara.
“Masalahnya, gue sudah ngantuk berat ini,” gerutunya.
Elvara pun menghela napasnya. Ia pun sudah lelah menunggu. Secercah ingatannya memulih.
“Gue telepon Mas Rangga aja kali ya,” usulnya.
“Ya Ampun, El! Kenapa enggak ingat dari tadi kalau punya sopir?” geregetnya.
“Lo juga enggak ingatkan gue,” elaknya.
“Ya sudah, cepat telepon! Jangan banyak omong, El!” geram Resya.
Agaknya, kesabaran Resya setipis tisu dibagi 10. Ia benar-benar tidak seperti biasanya. Tak butuh banyak waktu, sopir Elvara datang 10 menit setelah telepon itu dimatikan. Mereka bernapas lega. Resya merebahkan tubuhnya pada kursi mobil. Benar-benar surga. Matanya yang hanya tinggal 5% itu, mulai terlelap dengan tenang. Namun, hal itu tak berselang lama, sebab Elvara tiba-tiba memulai pembicaraan.
“Re, jadi ini kita ke kafe Frasa dekat rumah gue itu, kan?” tanya Elvara.
Mata yang semula diredupkan, kini terbelalak tak karuan.
“Oh, iya. Duh! Mana gue sudah ngantuk pakai banget,” gerutu Resya. “Lo sendiri aja kali, El. Jelaskan semua ke Gino. Ditemani Mas Rangga juga enggak apa-apa kan?” imbuh Resya.
Kikuk. Elvara tidak tahu jika berhadapan dengan Gino nantinya bagaimana. Ia benar-benar tidak ada komunikasi setelah insiden UKS waktu itu. Hanya Resya yang mencoba mendekatkan. Sebab Gino selalu curhat akan perasaannya terhadap Elvara kepada Resya.
“Memangnya ada masalah apa, Mbak Elvara?” tanya mas Rangga.
“Ah, enggak kok, Mas,” elaknya. “Nanti tunggu di depan saja, Mas. Biar saya masuk sendiri. Enggak apa-apa, kok,” imbuh Elvara.
“Dia enggak bakal macam-macam kan, Mbak?”
“Dia Gino bukan gurita apalagi gorila. Aman, Mas. Tapi antar saya dulu ke rumah, ya,” sahur Resya.
“Rumahmya di mana, Mbak?”
“Masak lupa, Mas? Kan serumah kita,” ujarnya menggoda.
“Apa sih, Re?” ujar Elvara bergidik ngeri. “Antar ke rumah saja, Mas. Sepeda motornya di rumah soalnya,” imbuh Elvara.
Resya pun kembali teringat motornya. Ia sedari tadi tidak ingat akan motornya. Entah salah dan dosa apa motor tersebut sampai dia selalu terlupakan.
“Tapi nanti gue bakal bicara gimana ke dia? Intro-nya gimana? Masak langsung cerita?”
“Tanya kabar, tanya sudah makan atau belum, tanya sudah mandi atau belum, sok kenal sok dekat aja,” ujar Resya.
“Apa sih, Re? Lo tidur aja deh. Makin ke sana-kemari soalnya,”
“Ya, masak sih lo enggak bisa mulai pembicaraan. Jadi MC bisa, giliran depan doi susah banget cari topiknya,” gerutu Resya.
Mereka pun kembali terdiam menikmati jalanan siang yang amat panas ini. Resya yang menikmati tidurnya. Sedangkan Elvara yang menikmati-ah bukan menikmati- dia sibuk mencari topik yang membuat nyaman pembicaraan siang ini.
“Tapi itu Gino benaran tahu kalau hari ini ketemuannya?” tanyanya kembali.
Resya benar-benar kesal. Tapi ia harus menjaga image di belakang doi-nya. Ia sudah ingin memasuki alam mimpi, eh malah kembali terbangun ke duniawi. Ingin sekali membiarkan Elvara berceloteh sendiri, ia tidak setega itu untuk melakukan hal sedemikian.
“Sudah, Sayang. Eh, tadi gue bilang atau enggak? Coba lo DM,”
“Mana handphone lo?”
“Buat apa?”
“DM dia katanya,”
“Handphone lo rusak?”
“Gue malas pakai akun gue. Biar dikiranya lo yang chatting dia,” ujarnya sambil menyengir kuda.

1863 DAYS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang