Tak ada angin, tak ada hujan, ban yang semula baik-baik saja, tiba-tiba bocor. Entah apa yang menancap di ban motornya. Gino ingin mengumpat, namun Elvara menahannya.
"Jangan mengumpat sembarangan! Enggak baik," titahnya.
"Ya terus ini gimana? Sudah gue lihat di maps, masih aja enggak ada tuh bengkel. Aneh banget! Di daerah yang sangat ramai ini, kenapa enggak ada bengkel?" gerutu Gino.
"Gue telepon sopir gue, ya?"
"Jangan, nanti dikiranya gue enggak bertanggung jawab," tolak Gino.
"Tapi ini bukan salah lo,"
Gino memegang tangan Elvara. Ingin Elvara tolak, tapi ia nyaman. Seolah hatinya mendapat kehangatan. Sudah lama ia tidak merasakan dielus tangannya oleh seorang pria. Sebab seorang pria yang sehari-hari mengelus tangannya, kini lebih mendapat tenang di tempatnya.
"Enggak apa-apa, El. Lo jalan samping gue aja, biar gue yang dorong sendiri," ujar Gino.
"Mana bisa gitu, No? Enggak mau gue gitu. Gue bakal bantu lo dorong sampai ketemu bengkelnya," ujar Elvara sambil tersenyum.
Mereka mendorong motor itu meski membuat mereka lelah. Motor sebesar itu hanya didorong oleh dua orang dengan jarak yang entah sampai mana.
"No," sapa seorang remaja yang menggunakan motor serupa dengan Gino.
"Motor lo mogok? Ini kenapa malah jalannya ke arah Utara? Di sebelah barat itu enggak jauh dari puskesmas ada bengkel. Lumayan besar kok bengkelnya," imbuhnya.
"Di mana? Gue sudah cari di maps, enggak ada cuy,"
"Enggak ada gimana? Wong itu kelihatan banget kok pekerjanya sibuk-sibuk semua,"
Mata Gino mencari-cari bengkel di sebelah Barat yang ditunjukkan oleh salah seorang temannya itu. Benar saja, di sana ada bengkel yang lumayan besar. Entah sejak kapan berdirinya. Padahal sewaktu tadi, tidak ada satu pun bengkel yang ia lihat. Ia hanya melihat pohon dan rumah warga. Apa indra matanya ditutup, ya?
Gino pun bergegas menuju bengkel tersebut dengan dibantu oleh temannya. Sesampainya di bengkel tersebut, Gino berlari menghampiri pegawai bengkel. Ia menitipkan motornya sebentar dan berlari ke minimarket yang ada di seberang jalan. Ia membelikan Elvara dan teman yang membantunya tadi minuman dingin, sebagai bentuk rasa terima kasih karena sudah mau direpotkan.
"Terima kasih, Bro," ujar Gino. "Kalau lo mau ninggal, enggak apa-apa. Gue bisa atasi kok," imbuhnya.
"Ya sudah, gue mau pamit dulu, ya. Tadi gue mau jenguk nenek di puskesmas eh enggak sengaja ketemu lo. Hati-hati, ya!" pamit remaja itu.
"Nenek lo sakit apa?" tanya Gino.
"Biasa, sakit tua,"
Gino menyalami tangan temannya itu dan memberinya sedikit rezeki. Ia begitu sungkan karena sudah mengambil waktu temannya itu yang harusnya digunakan untuk menemani neneknya. Dengan rasa terima kasih, pemuda itu mengambil uang yang diberikan oleh Gino dan segera berlalu pergi ke puskesmas.
"Kok aneh banget, ya. Gue dari tadi juga enggak ngelihat bengkel ini, loh," ujar Elvara. "Tanya ke mas-nya kali, ya," imbuhnya.
"Buat apa, El? Biarin aja, sih,"
"Mas, bengkel ini tadi buka jam berapa?" tanya Elvara.
"Buka dari jam 9 pagi, Neng," jawabnya.
"Ini enggak terdaftar di maps apa gimana, Mas?" tanyanya lagi.
"Sudah terdaftar. Lihat saja! Itu sudah banyak yang kasih bintang bagus buat kinerja kami,"
Elvara dengan segera membuka aplikasi maps dan benar saja, bengkel ini sudah tercantum. Ini membuatnya bingung. Entah mengapa ban motor Gino tiba-tiba bocor setelah mereka memaksa salah satu rekan anak penjual itu berbicara tentang identitas mereka. Dan lebih aneh lagi bengkel ini, tiba-tiba ada begitu saja. Apa matanya sudah mulai minus? Sehingga ia tidak bisa melihat keberadaan bengkel tersebut dengan jelas? Tapi Gino? Ia juga tidak melihat adanya bengkel ini. Ini benar-benar membuatnya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
1863 DAYS
Teen Fiction1863 days yang sudah terlalui. Mencekat yang benar-benar lekat pekat. Seolah hantu mengelilingi raga karena rasa bersalah. Bagaimana cara ia lepas dari benak jiwa? Lepas dari rasa tebak-menebak. Lepas dari pandangan yang berujung overthinking berkel...