Tujuh

641 118 18
                                    

Wajib follow sebelum baca!

*****

"Jadi gimana, kak?"

Ala hanya diam menunduk, belum membalas pertanyaan yang kedua orangtuanya tanyakan kepadanya.

Ala beserta kedua orangtuanya kini sedang berdiskusi mengenai kelanjutan sekolah Ala karena sebentar lagi Ala akan lulus. Mereka menanyakan mau dimana dan jurusan apa Ala melanjutkan sekolah di perguruan tinggi. Melihat Ala hanya diam keduanya berpikir mungkin Ala belum punya pilihan. Tapi, tidak seperti itu, Ala punya pilihan hanya saja ia takut mengungkapkannya.

"Kalo enggak usah lanjut gimana?" Tanya Ala takut-takut.

"Maksudnya?" Tanya Oliv yang masih belum mengerti dengan maksud putrinya.

"Aku enggak mau kuliah" balas Ala, kini ia memberanikan menatap wajah kedua orangtuanya secara bergantian.

"Enggak bisa" balas Oliv cepat.

"Banyak di luar sana yang mau lanjut kuliah tapi enggak seberuntung kamu" tambah Oliv.

"Kenapa enggak mau, kak?" Tanya Petra, mencoba bertanya lebih lembut pada putrinya.

"Aku enggak mau, Pa. Aku capek belajar. Mau gimanapun aku belajar tetap aja aku bodoh" ujar Ala.

"Terus kalo enggak kuliah kamu mau ngapain?" Tanya Oliv lagi.

"Mau kerja aja" balas Ala, ia sudah memikirkan matang-matang keputusannya ini. Daripada lelah belajar Ala memilih lelah bekerja, setidaknya rasa lelahnya terbayar oleh gaji yang nanti ia terima.

"Mau kerja apa? Kerja apa Mama tanya?" Tanpa sadar Oliv sedikit meninggikan suaranya.

"Kamu emang enggak iri sama dua kembaranmu. Mau jadi apa nanti, kamu ini susah banget di atur sama orangtua, nurut aja bisakan?" Oliv yang tak bisa mengontrol emosinya kini benar-benar meninggikan suaranya. Wanita itu tak mengerti dengan jalan pikiran putri pertamanya. Padahal menurut Oliv, Ala tinggal menyebutkan mau dimana melanjutkan sekolahnya, ia maupun Petra pasti akan mengusahakan semuanya untuk Ala.

"Iri, Ma. Aku iri banget sama Bebe dan Cia, kenapa mereka bisa pintar sedangkan aku bodoh. Kalo aku sepintar mereka pasti bukan ini pilihan aku" balas Ala, dengan air mata yang tanpa sadar menetes dari kedua pelupuk matanya.

"Kak..." Seakan tersadar sudah salah bicara Oliv mencoba menyentuh tangan Ala, tapi putrinya itu menyentak tangannya.

Dengan menahan sesak di dadanya Ala bangkit, lalu tanpa kata ia berlari begitu saja keluar dari ruang keluarga.

"ALA!"

Tidak Ala mendengarkan teriakan kedua orangtuanya yang menyuruhnya kembali. Ia terus berlari keluar dari rumah sampai melewati gerbang rumahnya. Tak ia pedulikan penampilannya saat ini yang hanya berbalut piyama dengan sandal tipis, pakaiannya untuk tidur. Karena tadi sebelum kedua orangtuanya mengajaknya mengobrol Ala memang berniat untuk tidur.

Tak Ala sangka orangtuanya sama saja seperti yang lain, ia benci harus dibandingkan dengan kedua kembarannya.

Ala terus berlari sampai tak terasa ia sampai di jalan raya. Ia mencari pangkalan ojek lalu memesan satu untuk pergi ke suatu tempat.

"Mbaknya bener enggak kenapa-napa?" Tanya Abang ojek yang terlihat khawatir. Sejak tadi si Abang ojek terus melihat ke belakang lewat kaca spionnya, melihat lewat pantulan kaca Ala yang masih terus saja menangis.

"Enggak, Bang" Ala mencoba membalas disela isakannya.

"Mbaknya bukan korban pelecehan?"

"Bukan, Bang"

Slow DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang