Delapan

479 73 4
                                    


Ala bangun pagi-pagi sekali. Ia bisa melihat Mario dan Fabio masih tertidur nyenyak dibawah. Tanpa berniat menganggu tidur mereka, Ala bangkit lalu mulai merapikan kasur Mario yang semalam ia tiduri.

Setelah beres Ala memilih langsung keluar kamar. Karena hari ini ia menumpang, niatnya ia ingin membantu Yuna membuat sarapan. Sambil meregangkan sedikit badannya yang terasa kaku Ala menuruni tangga. Saat hampir mencapai undakan tangga terakhir Ala dikagetkan dengan kehadiran kedua orangtuanya.

"Kak..." Ala memalingkan wajahnya saat sang Mama menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Ia berniat akan naik kembali menuju kamar tapi sang Papa menahan langkahnya. Ala tak bisa menolak ketika Papanya menuntunnya duduk di atas sofa, bersebelahan dengan sang Mama yang terlihat masih menangis terisak-isak.

"Maafin Mama ya, Kak" Oliv genggam tangan anak sulungnya yang terasa dingin. Semalaman ia mengkhawatirkan keadaan putrinya ini. Baru kali ini Ala marah sampai berani pergi dari rumah.

"Ucapan Mama pasti buat Kakak sakit hati"

"Mama enggak akan paksa Kakak lagi"

"Pulang, ya"

Ala yang sejak tadi menundukan kepala mencoba mendongkak, menatap satu persatu wajah kedua orangtuanya.

"Aku mau lanjut kuliah, tapi Aku mau tahun depan. Satu tahun ini Aku minta izin untuk kerja dulu" ucap Ala, semalaman ia sudah memikirkan keputusan ini. Ala tidak mau egois, jadi menurutnya mungkin ini adalah pilihan terbaik. Mungkin jika nanti Ala sudah merasakan pahitnya bekerja, bisa jadi ia akan menyerah juga.

"Semua keputusan ada di tangan kamu. Sekarang Mama dan Papa akan coba dukung apapun keputusan kamu" ujar Petra, sambil mengelus puncak kepala putri sulungnya penuh kasih sayang.

******

Ala tiduran telentang di atas kasur dengan buku paket yang menutupi wajahnya. Ia tidak benar-benar tertidur tapi ia sedang mencoba menghapalkan rumus-rumus untuk ujiannya nanti.

"Hafal rumus kalo enggak bisa digunainnya ya percuma" ucap Denish yang tiba-tiba masuk ke dalan kamar Ala.

"Enggak sopan masuk kamar orang sembarangan" Ala menatap adiknya itu sengit.

"Anterin gue ke tempat Bang Johan, kak" pinta Denish tak menghiraukan kekesalan Ala padanya.

"Males" balas Ala, ia kembali berbaring tapi kini menutup buku paketnya, tangannya beralih mengambil ponsel miliknya. Tampilan ponselnya masih sama dengan terakhir ia lihat, pencarian lowongan kerja di internet.

"Please, Kak" pinta Denish memelas, jika ia sudah diizinkan membawa kendaraan sendiri tidak akan sudi ia memohon seperti ini.

"Lo gak liat gue lagi belajar, lagian ngapain lo ke rumah dia"

"Ck, ya udah" Denish keluar sambil membanting pintu kamar membuat Ala mengumpat kesal karena kelakuan adik lelakinya sendiri.

"Dibutuhkan waitress untuk restoran Futtobōru" Ala membaca baris lowongan pekerjaan yang menarik perhatiannya.

"Lah, ini bukannya restoran si Johan" gumam Ala.

Dengan cepat Ala bangkit lalu mencari Denish. Terlihat adik lelakinya itu kini sedang memohon kepada Bella, sepertinya Bella juga sama seperti dirinya menolak permintaan Denish untuk mengantarkan lelaki itu pergi.

"Ayo sama gue!" Ajak Ala yang tanpa basa-basi langsung menarik tangan adik lelakinya.

"Tadi enggak mau"

"Gue ada urusan sama si Johan"

"Urusan apa?"

"Urusan gue sama Johan, bukan sama lo" Meskipun kesal mendengar jawaban sang Kakak, Denish memilih diam. Tidak mau membuat Ala sampai kesal yang ada nanti Ala marah dan tak mau mengantarnya pergi.

Slow DownTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang