Ala merasa ada yang aneh pagi ini. Sepanjang berjalan menuju kelasnya ia merasa semua orang memperhatikannya bahkan meskipun pelan ia samar-samar mendengar orang-orang itu menyebut namanya."Eh, Ala udah datang. Belajar yang bener bentar lagi ujian, malu nanti kalo enggak naik kelas lagi" baru memasuki kelas Ala sudah dibuat emosi mendengar ucapan Anya, teman sekelasnya. Entah ada masalah apa sejak berada di kelas yang sama tepatnya di tahun kedua sekolah menengah atas Anya seringkali bertingkah menyebalkan yang bisa menyulut emosi Ala, contohnya seperti pagi ini.
Dengan langkah lebar Ala berjalan mendekati Anya lalu menggebrak meja di hadapan gadis itu dengan kencang.
"Maksud lo apa bilang begitu, hah?" Tanya Ala berteriak marah.
"Loh bukannya itu fakta. Lo emang pernah enggak naik kelas 'kan Alana? Jujur aja deh enggak usah malu" ucap Anya melipat tangannya di dada sambil menatap Ala dengan sorot mata merendahkah. Emosi Ala semakin tersulut melihat tatapan Anya padanya.
"Terus kenapa kalo gue gak naik kelas? Masalah buat lo?"
"Ya artinya lo itu bego, Ala. Bego!" Ala yang tak terima dikatai dengan cepat meraih rambut panjang Anya yang tergerai, menjambaknya kencang membuat Anya berteriak kesakitan. Anya yang tak terima ikut balas menjambak rambut Ala.
Anak-anak kelas yang tadi hanya menonton beberapa mulai melerai aksi saling jambak antara Ala dan Anya.
"Udah, La" Inara, teman sebangku Ala juga coba melerai. Jangan sampai keributan ini sampai terdengar ke telinga guru-guru. Karena nanti bukan hanya Ala dan Anya yang mendapat hukuman, satu kelas bisa mendapatkannya juga.
Akhirnya setelah terlepas Ala menurut saja ketika Inara menariknya untuk duduk di bangkunya. Rambut Ala berantakan, nafasnya juga masih terengah menahan emosi. Sorot mata Ala menatap tajam Anya yang kini juga sedang balik menatapnya tajam.
Kemudian pandangan Ala beralih ke bangku pojok kanan yang ada di barisan paling depan. Melihat seorang pria yang masih setia dengan buku bacaanya seakan tak terganggu dengan keributan yang baru saja terjadi.
****
Karena malas dan juga malu bertemu banyak orang, meskipun bel pulang sudah berbunyi Ala sengaja berdiam diri di dalam kelas sampai keadaan sudah mulai sepi. Ia malu, gosip tentang dirinya menyebar dengan cepat. Selain tidak naik kelas mulai bermunculan juga gosip-gosip lainnya. Beberapa berita bahkan ada yang tidak sesuai fakta.
Ala memilih menunggu supir yang biasa menjemputnya di sebuah halte. Pak Arman bilang masih mengantri isi bbm. Ia sedang duduk melamun ketika merasakan seseorang menepuk pundaknya pelan. Ala menoleh menatap seorang wanita asing yang juga tengah menatap dirinya.
Itu yang terakhir kali Ala ingat sebelum kemudian ia terbangun di sebuah tempat yang sangat asing untuknya. Ia menatap sekitar, ini seperti area perumahan yang belum jadi terlihat dari bangunan-bangunan yang masih dalam tahap pengerjaan.
Ala mencoba bangkit, tubuhnya bergetar ketakutan tak tahu dimana saat ini ia berada. Ia tertidur di atas semak-semak dengan banyak nyamuk mengerubunginya. Ala mendongkak menatap langit malam yang sudah gelap. Benar-benar sangat gelap tanpa adanya bulan ataupun bintang di atas sana. Cahaya hanya berasal dari lampu di kawasan ini yang masih dipasang seadanya.
Kepalanya terasa berdenyut sakit ketika mencoba mengingat kenapa ia bisa sampai ada disini. Tapi, yang ia ingat hanya terakhir kali ia berada di lapangan sebelum seorang wanita asing menepuk bahunya. Setelah itu Ala tak mengingat apapun. Ia masih tak menyadari apa yang sudah terjadi padanya
Ala meraba kantung baju mencoba mencari ponselnya sampai kemudian ia menyadari sesuatu, ponselnya tidak ada. Bukan hanya itu tas, jam tangan dan barang-barang lainnya yang Ala juga tidak ada. Yang tersisa hanya seragam sekolah yang ia pakai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Slow Down
RomansaKejadian tak terduga membawa sepasang manusia untuk saling jatuh cinta, dengan perlahan. Sejak peristiwa yang hampir merenggut nyawanya, Ala jadi semakin dekat dan ketergantungan pada seorang pemain sepak bola bernomor punggung 8. Begitupun Johan s...