Halo, ketemu lagi dengan cerita baru.
Kali ini cuma cerbung. Terdiri dari 6 chapter yang akan aku unggah seminggu dua kali (semoga nggak bolong).
Cerita ini aku selesaikan dalam tiga hari karena ngejar mood mumpung gloomy. Silakan nyalakan lagu yang aku sematkan supaya vibes-nya lebih dapat.
Semoga suka!
oOo
"Jangan jatuh cinta padaku." Suara Rein tidak keras, tapi jarak yang hanya tersisa sejengkal dari lawan bicara membuat kalimat itu terdengar jelas.
"Kenapa?"
"Supaya kamu tidak terluka."
Rein tersentak dalam tawa. Tawanya renyah. Dia tampak terhibur. "Kata-kata para buaya."
Rain mematung. Raut wajahnya tidak berubah. Sorot matanya dingin. Tatapannya berpindah pada gelas air putih di atas meja. Keduanya tengah menghabiskan sore, menikmati cokelat hangat, sambil menatap hujan di balik jendela kaca raksasa.
"Aku pernah membuat dua orang mati."
"A-pa?"
"Aku gagal melindungi mereka. Jadi, tolong jangan menyerahkan diri sebagai korban berikutnya."
Setelah mengatakan itu, Rain menarik jaketnya yang tersampir di sandaran kursi. Dia mundur dari Rein lalu melangkah pergi. Punggungnya menjauh dengan langkah tenang dan ketukan yang teratur. Seolah percakapan ini sama sekali tidak berarti. Tidak mengganggunya. Seolah, meminta orang meninggalkannya adalah kebiasaan yang dilakukan tiga kali sehari. Sepertinya, membuat wanita jatuh hati lalu meninggalkannya bukan sesuatu yang asing lagi baginya.
Rain melangkah di bawah hujan. Terus melangkah tanpa menoleh atau menutupi kepalanya. Payung merah yang tadi digunakannya untuk menyeberang pos pantau depan menuju ruang makan di bangunan utama ditinggalkan begitu saja. Rain mengabur dalam pusaran hujan.
oOo
Rain menurunkan tudung jaketnya yang basah ketika tiba di rumah tua peninggalan ayahnya. Namun kini, rumah itu mulai tidak terawat. Lampunya jarang menyala. Ilalang dan tanaman tumbuh liar di luar. Di salah satu sudut, terdapat sofa bed yang biasa dipakai Rain untuk tidur. Orang-orang sering bertanya padanya, sampai kapan menjalani kehidupan seperti ini? Rain tidak pernah tertarik menjawab pertanyaan itu secara lisan, tapi dalam hati dia selalu mengatakan, "Sampai mati. Bahkan, jika rasa bersalah itu tetap bertahan setelah mati, di kehidupan selanjutnya aku akan menjalani cara hidup yang sama. Terasing dan berjarak."
Sebatang rokok ditarik Rain dari saku jaketnya. Dia lantas menggantung jaket itu di sisi jendela. Saat siang tiba, cahaya matahari akan masuk sedikit dan jaketnya yang basah terkena hujan perlahan akan mengering. Jika pun tidak, dia tidak peduli. Jamur atau bakteri tidak membuatnya takut. Aroma tak sedap membuat orang lain menjauhinya dan itu sesuatu yang bagus. Jaga mendekatiku.
Rain duduk di atas meja dekat jendela yang berbeda. Ruangan ini punya penerangan, tapi Rain lebih suka menikmati cahaya jalanan merayap perlahan dan temaram dalam ruangan. Ruangan ini punya televisi dan komputer yang meski ketinggalan zaman, masih bisa digunakan. Namun Rein lebih suka duduk diam dalam kegelapan dan terjebak dalam rasa sepi.
Ralat. Tidak benar-benar sepi. Kepalanya selalu penuh dengan penyesalan dan pengandaian.
Setiap kali matanya terpejam, dimensi kehidupannya terseret ke waktu yang berbeda lima tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, Rein & Ruin (END)
Romance"Jangan jatuh cinta padaku." Suara Rein tidak keras, tapi jarak yang hanya tersisa sejengkal dari lawan bicara membuat kalimat itu terdengar jelas. "Kenapa?" "Supaya kamu tidak terluka." Rein tersentak dalam tawa. Tawanya renyah dan tampak terhibur...