FINAL CHAPTER!
Yey!
oOo
Rein tersentak sedikit. "Jangan bergerak," kata Rein dalam suara serak. Tangan Rein gemetar hebat dan dalam remang cahaya, Rain bisa melihat air mata Rein. Pisau itu sudah menggores lehernya. Perlu sedikit keberanian lagi untuk menusukkannya lebih dalam. Namun, itu tidak terjadi. Rein terisak lebih dalam.
Rain merebut pisau dari tangan Rein. Alih-alih marah, melawan, atau memedulikan darah yang merembes di lehernya, dia meraih pergelangan tangan Rein kuat-kuat lalu duduk.
Ragu, Rain mengulurkan tangan untuk mengusap air mata Rein. Seinci sebelum jemarinya menyentuh wajah Rein, Rain menurunkan tangannya. "Jangan menangis."
Kata-kata itu membuat air mata Rein semakin deras. Isaknya bersaruk-saruk upaya menarik napas lebih banyak. Susah payah dia mengumpulkan kata-kata, "Kenapa kamu nggak bertanya apa yang sedang aku lakukan?"
"Apa aku harus bertanya sesuatu yang sudah kutahu?"
Tangis Rein terhenti. Matanya yang melebar.
"Bagaimana kamu mau membunuh kalau belum apa-apa kamu sudah menangis?" Pertanyaan itu meluncur dengan begitu tenang dari bibir Rain.
Rain bisa melihat mata Rein berubah nanar. Saat Rain mengulurukan tangan untuk meraih jari Rein, dia bisa merasakan perempuan itu menggigil.
"Kamu tahu berapa hukuman yang diterima seorang pembunuh?"
Rein tidak menjawab. Dia masih menatap Rain dengan sorot terkejut.
"Bertahun-tahun. Bahkan seumur hidup. Padahal, seminggu di Rumah Perlindungan saja sudah membuatmu bosan, apalagi di penjara. Tidak akan ada monopoli, uno, ular tangga, dan sejenisnya."
"Rain, kamu... tahu?" tanya Rein nyaris tidak terdengar.
Anggukan singkat Rain membuat Rein memucat. Perempuan itu mencoba mundur, tapi genggaman Rain menahannya.
"Kenapa membunuh dengan tangan sendiri kalau kamu bisa memintaku melakukan dengan tangan sendiri?"
"Rain...." Rein menggigil. Suaranya gemetar lebih hebat.
"Kamu mau aku mati dengan ini?" Rain menunjukkan pisau yang tadi direbutnya dari Rein. Matanya menatap detail benda itu.
Kepala Rein menggeleng-geleng. Wajahnya yang kebingungan kini bercampur ketakutan. "Sejak kapan kamu tahu?" Napas Rein memburu. Kepalan tangannya menekan-nekan dadanya.
"Tugasku melindungimu. Seberapa banyak aku tahu adalah bagian perlindungan itu. Sementara keselamatanku, bukan tanggung jawabmu."
Rein tertunduk, tidak mampu menatap Rain yang begitu tenang menyambut ajal. Rein meremas selimut yang menutupi tubuh Rain kuat-kuat seolah sedang memunguti keyakinannya untuk membunuh yang kini diguncang perlahan.
"Kamu mau aku mati dengan tusukan di leher?" Rain mengusap lehernya yang berdarah. Bibirnya tersenyum lebih lebar. "Kamu terlalu baik, Rein. Tusukan di leher membuatku mati dengan mudah dan cepat, padahal menjalani kehidupan setelah kematian ayahmu pasti tidak mudah. Lukamu juga tidak akan sembuh dengan cepat."
Guncangan di tubuh Rein kini lebih kencang dari pada sebelumnya. Kini dia bahkan sudah menumpukan kepalanya di pangkuan Rain.
"Rein, kamu seharusnya berhati-hati padaku. Posisimu memudahkanku membunuhmu kapan saja."
Nasihat itu membuat Rein terisak parah. Tidak peduli lagi dengan pisau atau rencana membunuh. Bahkan jika orang yang seharusnya tidak dipercayainya, tapi telah merebut hatinya ini tiba-tiba menikamnya. Rein... tidak mau mendengar. Satu-satunya yang membuat tangis itu mereda adalah ketika Rain mengusap punggungnya lembut diiringi tepukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rain, Rein & Ruin (END)
Romance"Jangan jatuh cinta padaku." Suara Rein tidak keras, tapi jarak yang hanya tersisa sejengkal dari lawan bicara membuat kalimat itu terdengar jelas. "Kenapa?" "Supaya kamu tidak terluka." Rein tersentak dalam tawa. Tawanya renyah dan tampak terhibur...