[4] Rein #2

89 23 2
                                    

SELAMAT IDUL FITRI!

Mohon maaf lahir dan batin ya guys!

oOo



Tubuh babak belur Rain memancing pertanyaan rekan-rekan timnya. Namun, tidak satu pun kata keluar dari bibir Rain. Kakinya terpincang-pincang saat melewati gerbang. Persendiannya berdenyut ngilu setiap kali dijejakkan. Kakinya kesulitan menopang berat tubuhnya sendiri. Napasnya tersengal setiap dua tiga langkah, tapi tangannya terangkat ke atas menolak tawaran rekan timnya yang bermaksud membantu. Terakhir, gerimis yang jatuh mengenai lukanya memberi sengatan perih.

Rain pulang setelah salah satu rekannya mengabarkan bahwa Rein sudah kembali. Tanpa terluka. Tanpa kehilangan apa pun. Semua baik-baik saja.

Ternyata, kekhawatirannya sama sekali tidak berarti. Perempuan itu berdiri di bawah gerimis dengan payung merah di tangannya. Tatapannya lurus pada Rain. Melihat Rein utuh, hidup, dan berdiri tegak di sana rasanya melegakan dan bersyukur. Bagaimana jika Rain pulang dan Rein tidak ada di sana? Bagaimana jika dia pulang tidak bernyawa dengan luka di sekujur tubuhnya?

Saat itu juga, Rain sadar bahwa dia takut kehilangan Rein.

Seketika, Rain sadar bahwa kepeduliannya melebihi kewajiban seorang agen kepada klien.

Gerimis berubah lebih rapat. Rain memalingkan wajah dari Rein. Dia menyeret kakinya yang semakin berat. Dengan langkah gegas, Rein berjalan mengadang Rain. Langkah laki-laki itu terhenti ketika Rein berdiri setengah langkah darinya. Tangan Rein menggenggam payung untuk mereka. Kepala perempuan itu menengadah. Matanya memerah dan sembab. Menatap Rein dalam jarak sedekat ini. Melihatnya dengan mata kepala sendiri bahwa dia baik-baik saja. Memandang kedua mata yang terlihat putus asa, khawatir, dan terluka, Rain merasa tidak bisa menahan dirinya lebih lama untuk merengkuh Rein dalam dekapan. Sayangnya, hati kecilnya menolak melakukan itu. Tidak boleh. Dia tidak bisa melakukan ini. Jarak harus direntangkan.

"Mencariku?" tanya Rein. Suaranya serak.

"Keselamatanmu adalah tanggung jawabku setidaknya sampai persidangan berakhir. Setelah itu, kamu bebas ke mana pun. Bahkan ke neraka sekali pun!"

"Bisa berhenti bicara dengan kata-kata kejam begitu?"

"Sayangnya, sakit hati karena kata-kata nggak menjadi tanggung jawabku sebagai pengawal, Rein," kalimat itu meluncur pahit dari mulut Rain. Dia bicara tentang tanggung jawab menjaga keselamatan Rein, tapi apakah dia benar-benar mampu bertanggung jawab atas semua itu? Lihatlah, Rein baik-baik saja tanpa perlindungannya. Justru Rain yang bereaksi berlebih dan hancur karena sikap sok pahlawannya sendiri.

Rain merunut semua upaya yang selama ini dilakukan untuk bertahan hidup dengan keyakinan bahwa dia masih berguna di dunia ini. Detik ini, keyakinan itu harus dipertanyakan. Apakah keberadaannya benar-benar berguna atau itu hanya penghiburan untuk dirinya sendiri? Rain hanya membohongi diri sendiri untuk mengikis penyesalannya. Kini, titik-titik penyesalan merayap dari ujung jari lalu menyebar luas ke seluruh sel-sel tubuhnya. Dia memang harus menjalani hidup dengan penyesalan sebagai sebuah hukuman. Seharusnya, dia tidak boleh berpaling atau berusaha membuat hukuman itu lebih mudah.

Air mata menuruni wajah Rein. Kepalanya yang tegak kini tertunduk. Bahunya mulai berguncang. "Apa sulit mengatakan bahwa kamu peduli padaku?"

Rain mengatupkan rahang. Jangan teruskan. Ketika akhirnya mendongak, Rain bisa melihat kehancuran dan rasa sakit membayang di kedua bola mata Rein yang basah. Tangan perempuan itu menyentuhnya. Jarinya yang lembut mendarat di sisi wajahnya yang perih.

Mata Rein meneliti satu persatu luka yang bertaut di tubuh Rain.

Kabut mulai menyentuh pandangan Rain, bukan karena hujan, tetapi karena perasaan remuk yang menggelegak di dadanya. Apa yang telah dia lakukan pada Rein?

"Bagaimana bisa kamu melarangku untuk tidak jatuh cinta?" Pertanyaan Rein meluncur bersama dengan gelombang tangis. "Lihat sekarang, siapa yang terluka? Bukan aku, tapi kamu."

Rain diam. Dia tidak ingin mengatakan apa pun. Kepalanya sibuk menyalahkan diri sendiri. Lebih salah lagi ketika tanpa aba-aba Rein mengenyahkan jarak di antara mereka. Tangan Rein meraih Rain hingga tidak ada lagi jarak di antara mereka.

Di sana, di dada Rain, Rein membenamkan wajahnya.

Di sana, tepat di sisi jantung Rain yang semakin hari terasa semakin salah untuk terus berdetak dan hidup, Rein membaluri lebih banyak garam di atas luka dan penyesalan.

Semakin lama, situasi ini semakin menyesakkan. Perangkap-perangkap masa lalu memburu Rain dan dia tidak diizinkan keluar–karena inilah hukumannya.

Tangan Rain mengepal. Dia biarkan Rein memeluknya, tapi dia tidak akan menyambut rengkuhan itu. Namun, ketika tangis itu semakin memilukan. Guncangan bahu Rein semakin keras. Kehancuran di depannya semakin kentara. Terakhir, tangan Rein yang menggenggam payung meluncur jatuh demi bisa memeluk Rain dengan kedua tangan, Rain tahu bahwa dia tidak akan bisa menahan dirinya lebih lama tanpa membalas pelukan itu.

Ribuan jarum langit menikam tubuh mereka dengan rasa dingin. Namun, Rain menikam Rein dengan satu kalimat yang lebih menusuk.

"Apa aku terlihat sudi menambah hantu gentayangan yang setiap waktu menyumpahiku agar menderita seumur hidup?"

Kalimat itu diucapkan Rain sambil mengempaskan pelukan Rein. Tanpa menunggu reaksi Rein, dia menyeret langkahnya pergi, meninggalkan Rein seorang diri dirajam hujan dan kepedihan.

oOo

Rain, Rein & Ruin (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang